1 Prolog

"Kutuliskan segala kisah ini dalam lembaran kertas putih, bertajuk HARAPAN. Semoga rasaku rasamu juga, semoga harapku harapmu juga, semoga doaku doamu juga, dan semoga takdirku takdirmu adalah kita."

"I write all these stories in white paper, titled HOPE. I hope my feel is your feelings too, i hope my hope is your hope too, i hope my prayers is your prayers too, and i hopefully my destiny and your destiny are us."

Sederhana. Kata yang ringan didefinisikan dalam lingkup suatu pekerjaan dan tampilan. Tapi kata sederhana jika dilibatkan dalam pengertian rasa ternyata memiliki makna yang tidak sesederhana kelihatannya. Sederhananya ia bisa diartikan sebagai rasa menerima, namun untuk menumbuhkan makna itu ternyata terlebih dahulu melalui langkah antonim dari kata sederhana itu sendiri yaitu rumit. Rumitnya bangkit dari keterpurukan, rumitnya melawan ego, rumitnya memperbaiki diri, dan rumitnya melupakan. Bagi Binay, ia sudah cukup berhasil melaluinya, kecuali satu, melupakan. Tidak ada satu selpun diotaknya melupakan rasa cintanya pada Juang, sel-sel itu hanya bertransformasi menjadi ASA.

"Sayang, kamu belum tidur yaa?" Teriakan itu sampai pada telinga Binay, terdengar cukup nyaring dari lantai satu ke lantai dua, biasanya tak sekeras itu jika siang, namun ini malam hari tepatnya sudah masuk pukul 23.30 WIB.

"Iya maa, bentar lagi nay tidur kok," sembari turun dari jendela kamarnya, mengembangkan senyum simpul, menyapa langit, bulan, dan bintang dengan serangkai kata "Hallo langit dan segala isinya, malam ini sampaikan salam rinduku kepadanya yaa". Malam ini sudah cukup untuk Binay menyampaikan segala unek-uneknya, asanya tetap sama ia tuliskan di dalam buku harian bersampul kuning bertajuk "HARAPAN". Semoga mimpi indah.

Seberkas cahaya mulai masuk pada sela-sela cendela kamar, aroma menyengat khas masakan Jawa menggugahnya untuk bangun, perlahan ditarik kedua kelopak matanya membuka dan melirik jam weker disamping bantal yang sekarang menunjukkan pukul 08.40 WIB. Binay terperanjat dari tempat tidurnya, menarik handuk, dan "Brakk" masuk ke kamar mandi. Tak lama, terhitung hanya 5 menit ia menyelesakan ritual membersihkan badan, yang kemudian dilanjutkan memoles bedak tabur dan memakai lipstik mate warna maroon kesukaannya. Tergolong simpel namun tetap elegan dipadupadankan dengan midi dress sepertiga lengan warna kuning motif bunga lili merah pada bagian lingkar bawahnya.

"bruk, bruk, bruk, bruk" binay berlari sekencangnya menuruni anak tangga menuju dapur dan segera membuka penutup makanan dimeja. Seperti dugaannya hari ini sang mama memasak soto kesukaannya. "Hemmm, mama memang the best mom" sembari memeluk mamanya yang masih mencuci piring dari belakang. Memang benar, punggung itu terasa amat nyaman dijadikan sebagai sandaran. "Ngak usah ngerayu, udah cepet makan, udah ditungguin Reihan tuh di depan" reflek tangan Binay melepaskan pelukan itu dan segera makan secepat kilat.

"Jangan buru-buru, nanti kesedak! Pantainya masih buka. Gue sabar nunggu kok." kata-kata itu dilontarkan oleh Reihan dari sisi punggung Binay, yang bukannya membuat Binai nyaman, tapi sebaliknya malah membuat Binay tersedak karena kaget. "Ini minum" menjulurkan tangannya menerima segelas air yang diberikan oleh Reihan.

Reihan Anjarhadi Pangestu, pria tampan anak konglomerat. Ayahnya seorang anggota DPR sekaligus pengusaha, tak tau pengusaha apa karena Binay memang tak pernah bertanya dan tidak ingin tau mengenai itu, yang pasti Reihan sering sekali datang kerumahnya, terbilang akrab dengan keluarganya, karena memang Reihan adalah sahabat Binay sejak SMA. Sekedar sahabat, setidaknya itu yang difikirkan Binay hingga saat ini, berbeda lagi dengan yang difikirkan oleh Reihan.

Bagi Binay orang yang paling dicintainya setelah keluarga adalah sosok lelaki berpunggung bidang yang ia kenal pertamakali dibawah tiang khas ukiran bercat hijau dengan tulisan Malioboro. "Perkenalkan namaku Juang, Satya Juang. Kamu cantik, kamu pasti Binay" sembari mengulurkan tangannya yang disambut dengan uluran tangan Binay "Iyaa, Abinaya Ayudisa".

avataravatar
Next chapter