1 Awal mula..

Hana..

Yang artinya satu..

Aku pernah bertanya pada ibuku, mengapa beliau memberikanku nama itu?

Hana.

Park Hana..

Apakah nama itu sengaja diberikan karena aku adalah anak pertama yang lahir dari pernikahan ayah dan ibu?

Bukan,

Bukan itu jawabannya,

Melainkan ibuku selalu berkata bahwa aku hanyalah satu-satunya anak ayah dan ibu, putri semata wayang yang begitu berharga dimata mereka..

Setidaknya kalimat itu masih berlaku beberapa tahun yang lalu, sampai pada akhirnya sebuah tragedi merenggut semuanya.

Kebahagiaan yang aku dapatkan, nyatanya tidak bersifat abadi..

Jalanan terjal penuh dengan bebatuan tajam yang biasa orang sebut sebagai cobaan hidup harus aku lalui dan entah sampai kapan ini akan berakhir..

Hingga aku menyadari dengan lelaki asing inilah ikatan takdir itu telah Tuhan gariskan didalam hidupku.

°°°

Bel apartemen berbunyi..

Ahra mengernyit heran, siapa gerangan yang datang bertamu hampir tengah malam begini?

Gadis cantik yang sudah mengantuk itu meletakkan kembali setumpuk buku tebal yang tadinya dia bawa diatas meja ruang tamu, baru rampung mengerjakan tugas kuliahnya.

Ceklek~

Kedua mata Ahra membulat sempurna.

"Hana?!" pekiknya.

"Ahra-ya.. hiks.."

"Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?" serbu Ahra panik melihat keadaan berantakan sahabat karibnya itu.

Wajah pucat dan menggigil ketakutan, kaos putih tipis yang Hana kenakan terkoyak dibeberapa tempat, rambut panjangnya acak-acakan, juga sudut bibir yang tampak terluka mengeluarkan sedikit darah.

"Masuklah.."

Ahra memapah Hana kedalam setelah gadis itu tak kunjung menjawab, cukup sulit bagi Hana untuk mengeluarkan sepatah kata ditengah isakannya.

"Siapa yang sudah melakukan hal ini padamu? Kau kemana saja selama ini? Aku terus mencoba menghubungimu tapi ponselmu tidak pernah aktif." serbu Ahra.

"Ayahku.. diaㅡhiks.."

Hana mencoba membuka suara setelah Ahra membawa mereka duduk di sofa ruang tamu.

"H-hari itu aku pulang ke Busan, ayahkuㅡ"

Tanpa penjelasan lebih lanjut Ahra sudah cukup mengerti kemana arah bicara sahabatnya itu.

Ketakutan Hana selama ini pada akhirnya benar-benar terbukti, Ahra pikir ayah kandung Hana tidak mungkin tega berbuat hal sejauh ini pada darah dagingnya sendiri.

Tangisan Hana semakin terdengar pilu disela pelukan Ahra, teringat sosok mendiang ibunya ketika harus dihadapkan dengan betapa kerasnya cobaan hidup yang dia lalui.

Ahra mendekap tubuh Hana semakin erat.

"Kau sudah aman sekarang.. Jangan merasa takut lagi, ayahmu tidak akan pernah bisa mengusikmu selama ada aku disini."

"A-aku takut.."

"Aku bersamamu, Hana-ya.." Ahra mengusap lembut punggung Hana, mencoba membuatnya tenang.

Isakan Hana semakin lirih dan tak lagi terdengar setelah beberapa saat.

Ahra segera dilanda panik mengetahui kepala gadis itu jatuh lemas dibahunya.

"Hana, bangun!"

Menggoncang tubuh itu sedikit kasar, berharap Hana akan kembali membuka kedua matanya, namun percuma..

Kelelahan fisik dan tekanan batin yang sudah dia alami beberapa hari ini membuat tubuh kurus itu ambruk tak sadarkan diri.

°°°

"Aku akan mencari pekerjaan." celetuk Hana.

"Aku tidak setuju."

"Ayolah, Ahra-ya.. Ini sudah lebih dari dua minggu aku menumpang di apartemenmu. Aku tidak ingin menjadi bebanmu lebih lama lagi."

"Aku tidak merasa seperti itu." balas Ahra cuek.

"Please~" rengek Hana lengkap dengan tatapan polos andalannya.

Ahra menatap lama kedua mata yang terlihat lucu itu, berusaha menimbang.

"Baiklah, terserah kau saja." putus Ahra pada akhirnya, meski dalam hati sebenarnya dia tidak setuju.

"Aku akan segera mencari rumah sewa dan melamar pekerjaan setelah ituㅡ"

"Hei, bukankah itu mobil Jun?" potong Ahra, menunjuk sebuah mobil yang baru berhenti di dekat gerbang kampus.

Senyum Hana segera mengembang. "Aku bahkan tidak tau jika dia akan datang hari ini."

Jun tersenyum melihat Hana dan Ahra yang berjalan mendekat, mengacak lembut rambut Hana setelah berada dalam jangkauannya.

Hampir mengecup bibir gadis itu jika saja Ahra tak berulah dengan menarik kerah belakang kemeja yang Jun kenakan.

"Kita masih berada di area kampus jika kau lupa dimana tempat kita berdiri saat ini." sindir Ahra.

Jun mengedarkan pandangannya, baru menyadari jika ada banyak orang yang melintas didekat mereka. Sejenak pemuda itu tertawa canggung.

"Baiklah, bolehkah aku meminjam kekasihku sebentar?"

"Kembalikan dia sebelum jam tujuh malam." jawab Ahra cepat.

"Aku akan tepat waktu." tangan Jun terulur menyambut jemari lentik Hana, membawa gadis itu memasuki mobil.

Jun sudah duduk di kursi kemudi dan memasang seat belt setelah tadi sempat menawari Ahra untuk diantar sekalian, namun gadis itu menolak karena ingin mampir ke toko buku dulu sebelum pulang.

"Pasang seat belt-mu, Hana-ya." ucap Jun melihat Hana yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Ini hanya perjalanan dekat." jawab Hana acuh.

"Ck! Kau ini sedang sibuk dengan apa sebenarnya, eum? Lelaki lain?"

Jun berdecak sebal, merasa Hana lebih memilih ponsel ketimbang mereka yang sudah hampir dua minggu tidak bertemu.

Itu semua karena kesibukan Jun sebagai presiden direktur sebuah perusahaan cabang milik keluarga, sedangkan induk perusahaan berada di China dan dikelola oleh tuan Wen, ayahnya.

Jabatan penting itu membuatnya tidak memiliki banyak waktu luang sekedar bertemu dengan Hana, gadis yang sudah hampir satu tahun ini resmi menjadi kekasihnya.

Hana segera sadar jika Jun tengah merasa terabaikan, gadis itu segera memasukkan ponselnya kedalam tas.

"Tadi Jiyoo mengirim pesan hasil tugas minggu kemarin, aku tidak bermaksud mengacuhkanmu, maafkan aku."

Jun mengangguk dengan senyum mengembang, begitu mudah menerima maaf kekasihnya, membuat Hana bisa menghela nafas lega.

Bagaimana tadi jika Jun benar-benar marah?

Mungkin apa yang Hana pikirkan sedikit berlebihan, nyatanya selama menjalin hubungan belum pernah sekalipun mereka terlibat pertengkaran serius, mungkin itu juga salah satu faktor jarang bertemu.

Tubuh Jun condong mendekat, Hana tidak berbohong, dia gugup. Apa Jun akan menciumnya setelah ini?

Oh, pikiran bodoh ini!

Dekat dan semakin terhapus jarak diantara keduanya.

Hana mulai meremas jari-jarinya tanpa sadar, merasa was-was dengan yang akan terjadi selanjutnya.

Bicara tentang ciuman, tentu saja mereka sudah pernah melakukannya beberapa kali meski begitu Hana tetap saja merasa gugup.

Saat ini jarak Jun terlalu dekat hingga Hana dapat melihat dengan jelas setiap detail wajah tampan penuh kharisma kekasihnya itu.

Mungkin benar apa yang Ahra katakan jika inilah cinta..

Ketika jantungmu berdebar kencang saat berada didekatnya, membuatmu tak dapat mengontrol tubuhmu sendiri hingga kau tampak seperti orang bodoh.

Oke, abaikan!

Ahra sekalipun belum pernah berpacaran, jadi mengapa dia seolah berperan sebagai guru percintaan bagi Hana? Hal inilah yang masih menjadi misteri sampai sekarang dan entah sampai kapan akan terpecahkan.

"Huh?" Hana mengerjap, menyadari Jun baru saja menarik seat belt untuknya.

Ugh, apa yang sudah aku pikirkan? batinnya.

Jika saja Jun mempunyai kelebihan untuk mampu membaca pikiran, maka habis sudah riwayat seorang Park Hana.

"Kau kenapa?"

"Tidak." jawab Hana cepat dengan senyum canggung.

Jun terkekeh pelan. "Aku tahu apa yang tengah kau pikirkan, ekspresimu itu mudah sekali terbaca."

"A-aku tidak memikirkan apapun." sangkal Hana, mengalihkan pandangannya kearah luar jendela mobil, apapun itu yang penting tidak bertatap muka dengan Jun.

"Hana-ya.." suara lembut itu lagi, Hana yakin Jun tengah menatapnya sekarang.

"Hm?"

Sreett~

Cup

Hana terbelalak, Jun baru saja meraih dagunya, dengan cepat mengecup lembut bibir tipis itu.

"J-jun.."

Jun terkekeh membayangkan sebentar lagi Hana mungkin akan protes berteriak, Hei! Mengapa kau tiba-tiba menciumku seperti itu? dan berakhir dengan memukul bahu Jun.

"Hampir dua minggu tidak bertemu hanya kecupan seperti ini saja yang kau berikan padaku?"ㅡdi luar dugaan justru kalimat ini yang Jun dengar.

"Siapa yang mengajarimu berubah menjadi genit begini, eum?" tangan Jun terulur mengacak rambut panjang Hana dengan gemas.

"Hei, hentikan! Kau membuat rambutku berantakan." protesnya, bibir Hana mengerucut sebal dengan tangan bersendakap didepan dada membuat tawa Jun meledak seketika.

Sungguh ajaib, wajah yang selalu terkesan dingin dan angkuh itu kini tertawa lepas hanya karena melihat ekspresi kesal kekasihnya.

Entah mantra apa yang Hana miliki hingga membuat Jun sejenak dapat melupakan masalah seperti pekerjaan yang sering kali membuatnya sakit kepala. Merasa sebagian bebannya melebur ketika mereka tengah menghabiskan waktu bersama.

"Hutangku akan kubayar setelah kita pulang dari rumah sakit nanti." ucap Jun setelah tawanya reda.

"Hutang apa?"

Jun menyeringai, sementara Hana mengernyit heran.

"Kita bisa melakukannya selama satu jam nonstop."

Hana menelan ludahnya kasar, baru menyadari maksud perkataan Jun.

"Apa kau berniat membunuhku?"

Lagi-lagi tawa Jun terdengar. "Tidak. Aku hanya sangat merindukan kekasihku." jawabnya sebelum mulai menjalankan mobil meninggalkan area kampus.

°°°

Bruk~

Ahra melirik sebentar kearah Hana yang baru saja menjatuhkan dirinya di atas ranjang.

"Kepalaku rasanya pusing sekali, tubuhku juga lemas."

Ahra menatap Hana prihatin, segera beranjak dari atas ranjang, meraih gelas berisi air putih juga sebutir tablet penambah darah diatas meja nakas yang memang sengaja dia siapkan sebelumnya. "Minumlah.." dia membantu Hana bangun dari posisinya.

Hana menurut, memasukkan butir obat itu kedalam mulut kemudian mendorongnya dengan air hingga tertelan dan kembali membanting diri setelahnya.

"Lihatlah, kau tampak mengerikan. Apa Jun benar-benar sudah menjelma menjadi vampire sekarang?" gerutu Ahra.

Meraih kaki Hana untuk mulai melepaskan kedua sepatunya yang masih terpasang disana.

Kepalanya yang terasa semakin berdenyut-denyut membuat Hana enggan sekedar membuka mata.

Oh, ayolah!

Orang mana yang tak risih jika harus tidur mengenakan sepatu?

Ahra sudah tahu jawabannya adalah Hana.

Begitu hafal pada Hana yang selalu beralasan jika dia takut tiba-tiba ambruk di dekat rak penyimpanan sepatu, lebih baik terjatuh diatas kasur yang empuk dengan masih mengenakan sepatu daripada harus merasakan tubuhnya berhantaman dengan kerasnya lantai apartemen Ahra.

"Apa salahnya aku membantu adik dari kekasihku sendiri?" guman Hana namun tidak dapat meredakan rasa kesal Ahra begitu saja.

Bagi Ahra, Jun hanya memanfaatkan Hana. Pemuda itu jarang menampakan batang hidungnya, sekalinya terlihat dia hanya akan membuat Hana pulang dengah wajah pucat pasi, nyaris kehabisan darah.

Gadis itu bernama Jia, penderita thalasemia yang membutuhkan donor darah rutin untuk bertahan hidup.

Golongan darah Jia termasuk langka, entah ini sebuah kebetulan atau memang skenario yang sengaja dibuat Tuhan menunjukkan Hana dan Jia memiliki golongan darah yang sama.

"Aku sangat beruntung bisa memiliki kekasih seperti Jun." ucap Hana lirih.

"Kau selalu saja berkata seperti itu!"

Hana mencoba menulikan indra pendengarnya karena Ahra pasti akan mengomel panjang setelah ini.

"Dia memang baik karena sudah bersedia membiayai seluruh kebutuhan hidupmu selama ini, tapi bukan berarti kini hidupmu menjadi haknya, kau hiksㅡ"

Hana tersentak mendengar isakan Ahra, dia segera membuka matanya dan bangkit, mengabaikan pening dikepalanya yang belum juga mereda.

Hana baru menyadari wajah sembab Ahra, dia yakin jika Ahra sudah menangis cukup lama.

"Kau menangis? Ada apa denganmu?" tanya Hana tidak bisa menutupi rasa khawatirnya.

Air mata Ahra akan tumpah lagi, namun sebelum hal itu sempat terjadi dia segera menyembunyikan wajahnya diantara kedua lengan. "Kau tidak mengerti, Hana-ya." ucapanya teredam.

"Itu karena kau belum menjelaskan apapun padaku." protes Hana.

"Tolong katakan sesuatu, jangan diam begini. Kau membuatku khawatir."

Mengenal betul akan sifat Ahra, Hana mengerti untuk tidak memaksa lebih jauh lagi, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu sebentar lagi, meskipun sebenarnya dirinya tidak cukup sabar.

Ahra mulai bergerak setelah tangisnya perlahan mereda, menghela nafas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita.

"Tadi ayahku datang kemari, beliau mengatakanㅡ" bibir gadis itu mulai bergetar, hampir kembali terisak namun berusaha keras untuk menahannya.

"A-aku akan bertunangan dengan seorang putra dari salah satu rekan bisnisnya."

Hana menganga tanpa sadar setelah mendengarnya.

Ini perjodohan?

Yang benar saja?

Hana sangat mengenal bagaimana Ahra, gadis itu sudah pasti akan menolak.

Berpegang teguh pada keyakinan untuk tidak memulai sebuah hubungan sebelum berhasil menyelesaikan pendidikannya, Ahra mengakui dia tipe seseorang yang agak sulit untuk memberikan cintanya pada orang lain.

Akhir-akhir ini Ahra sempat mengatakan jika dia sudah menemukan seseorang yang mampu menarik perhatiannya, namun ketika Hana meminta untuk diberitahukan siapa orangnya Ahra hanya menjawab jika ini belum saatnya.

"Jika aku menolak, perusahaan ayahku akan bangkrut dan jatuh ditangan Tuan Kim."

"Tuan Kim?"

"Iya.. dia rekan bisnis ayahku." jawab Ahra.

"Apa yang harus aku lakukan, Hana-ya? Aku belum siap memulai sebuah hubungan, masa depanku akan hancur."

Hana tidak mengerti mengapa Tuan Lee begitu tega mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri demi harta?

Apa beliau tidak mengerti jika pernikahan itu bukanlah sebuah permainan yang dapat dia tentukannya semaunya? Apalagi tanpa dasar saling mencintai, jelas akan sulit.

"Aku sudah berusaha menolak tapi ayahku tidak mau mendengar apapun. Aku ingin mati saja."

"Apa yang kau katakan?!" bentak Hana tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

Ahra kembali terisak.

"Tidak ada gunanya aku hidup seperti ini, orang tuaku bahkan tak peduli laㅡ"

"Lee Ahra!! Hentikan!"

"Coba bayangkan saja jika kau berada diposisiku! Dari dulu aku tidak bisa melawan kehendak ayahku! Sekalipun ibu membelaku, itu tidak akan pernah bisa merubah keputusan yang telah ayah buat!"

"...hanya kematian yang bisa membuatku keluar dari masalah ini!"

Plak!

Ahra seketika bungkam.

Rasa panas segera menjalar dipipi kanannya setelah tangan Hana mendarat tepat dibagian itu.

Apa salah yang telah Ahra perbuat, Tuhan?

Pagi tadi dia masih memulai hari seperti biasa. Suasana hatinya juga cukup baik. Bahkan kemarin malam dia juga tak mendapatkan firasat buruk melalui mimpi, namun kini tak lebih dari lima jam semuanya berbalik pada keadaan yang tak Ahra mengerti.

"Mati?" Hana menatap Ahra terluka.

"..mudah sekali kau mengatakannya, Ahra-ya? Dangkal sekali pikiranmu itu! Aku kini ragu pada setiap pujian dari teman-teman yang mengatakan jika kau ini pintar, nyatanya kau sama sekali tidak seperti itu."

Ahra menatap Hana tajam, merasa tersinggung.

"Kau pikir dengan mati semua masalahmu akan selesai? Begitu?ㅡtentu saja tidak!" tekan Hana.

"Jika kau benar-benar nekat mengakhiri hidupmu, aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang pengecut yang memilih melarikan diri dari masalah ini."

Ahra segera buang muka, enggan menatap Hana, dia merasa sakit hati.

"Aku akan berbicara pada paman Lee." lirih Hana yang segera mendapat tatapan terkejut dari Ahra.

"Bukankah itu akan percuma saja?! Tidak perlu melakukan hal yang mustahil!"

"Setidaknya kita harus mencoba terlebih dahulu!"

Ini kali pertamanya mereka bertengkar hebat hingga saling membentak.

Saling mendiamkan satu sama lain selama hampir sepuluh menit berlalu, pada akhirnya Hana kembali bersuara.

"Maafkan aku, Ahra-ya.. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, tolong jangan katakan mati lagi. Aku sudah cukup merasa begitu menderita ketika Tuhan mengambil ibu dari sisiku, aku tidak mau hal itu juga terjadi pada dirimu. Jika kau pergi, aku harus bagaimana hidup di dunia ini?"

Ahra mendesis, menatap Hana remeh. "Kau bahkan masih memiliki Jun! Jangan katakan apapun jika itu hanya untuk sekedar menghiburku."

Tangan Hana terkepal erat, merasa geram. "Kau beribu kali lipat jauh lebih berharga daripada Jun!"

Ahra dapat melihat tatapan penuh emosi itu dikedua mata Hana.

"Aku memang sangat mencintai Jun, tapi itu berbeda dengan hubungan yang terjadi diantara kita berdua. Kau sudah seperti sosok saudara perempuan yang sangat berarti bagiku, aku akan jauh lebih menyesal jika harus kehilanganmu."

Ahra menunduk menyesal, baru menyadari jika Hana tidak memiliki maksud untuk melukai perasaannya, dia hanya mencegah Ahra untuk tidak bertindak bodoh.

"Maaf.."

Wajah tegang Hana perlahan melembut mendengar satu kata itu keluar dari bibir Ahra, emosinya perlahan surut.

°°°

"Ahra-ya, aku pulang.." teriak Hana setelah memasuki apartemen.

Jarum jam masih menunjuk pukul sepuluh pagi ketika Hana kembali, perasaannya tak tenang setelah meninggalkan Ahra sendirian di apartemen yang mengeluh sedang tidak enak badan tadi pagi ketika hendak berangkat ke kampus.

Terhitung sudah dua hari ini Hana mencoba berbicara pada paman Lee.

Hari pertama Ahra memutuskan ikut berkunjung ke rumah orang tuanya, namun hanya makian yang mereka dapatkan, bahkan paman Lee tak segan mengancam. Hal itu yang menyebabkan Ahra enggan datang di hari kedua.

Ketika Hana kembali datang dia hanya akan pulang tanpa membawa kabar baik karena paman Lee mengecapnya sebagai seseorang yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain.

"Sepi sekali." guman Hana tak mendengar sahutan dari Ahra.

Hana memasuki kamar Ahra namun kosong, sempat berpikir jika Ahra pergi ke dokter sebelum semua anggapannya itu terpatahkan oleh suara gemercik air dari arah kamar mandi.

"Ahra-ya, kau didalam?" Hana mengetuk pintunya, mencoba memastikan.

Melakukannya berulang kali setelah tak mendapat sahutan apapun. Mungkin Ahra tidak dapat mendengar dengan jelas karena suara air yang turun dari shower itu cukup berisik.

"Eh, tidak dikunci?" Hana cukup merasa terkejut ketika tanpa sengaja membuat daun pintu sedikit terdorong.

Hana sengaja membuat sedikit celah, takut Ahra akan marah saat mengetahui Hana tengah mengintip kegiatannya didalam kamar mandi.

Namun sedetik kemudian ketakutan Hana berubah menjadi kenyataan, bukan karena kemarahan Ahra melainkan sebuah pemandangan yang mengerikan disana.

"AHRA-YA!!"

°°°

"Kenapa kau melakukan ini, Ahra-ya? Bodoh hiksㅡkau sangat bodoh!" rancau Hana.

Tubuh gadis itu basah kuyup serta noda darah yang telah menjadi samar pada sweater putih yang dia kenakan.

Satu jam hampir berlalu namun pintu ruang operasi belum juga terbuka.

Hana tidak pernah berhenti memanjatkan do'a, memastikan dokter didalam sana akan segera keluar dan menyampaikan berita jika Ahra telah berhasil diselamatkan.

Serangan panik itu kembali terjadi ketika dia mengingat gambaran tubuh Ahra yang tengah sekarat dibawah guyuran air dengan luka sayat cukup dalam di pergelangan tangan kirinya.

Bagaimana jika Ahra tidak selaㅡ"Hana-ya!"

Hana segera menoleh, menemukan sosok wanita dengan wajah panik berjalan terburu kearahnya.

"Bibi Lee." Hana reflek berdiri dan menghambur kepelukan wanita itu.

"Aku takut hiksㅡmereka belum juga keluar sejak satu jam yang lalu." isak Hana, dia dapat merasakan tubuh wanita itu bergetar samar, bibi Lee menangis dipelukannya.

"Tuan Lee, aku tidak tahu apa yang terjadi disini, tapi bukankah kau mengatakan jika putrimu sudah menyetujui perjodohan ini?ㅡwaktu hanya tersisa tiga hari lagi. Kalian membuat lelucon denganku!" desis lelaki paruh baya yang turut hadir disana.

Hana tersentak, baru menyadari kedatangan lelaki asing itu diantara mereka.

"Batalkan saja perjodohan ini. Putriku jelas-jelas tidak pernah menginginkannya." lirih bibi Lee.

Lelaki asing itu tampak tidak terima.

"Tidak bisa semudah itu, Nyonya Lee! Aku sudah memberi bantuan pada perusahaan suamimu seperti yang dia minta!"

"Maafkan aku, Tuan Kim." ucap paman Lee.

"Jelas bukan hanya sekedar kata maaf yang ingin aku dengar darimu!" terdengar dengusan kesal dari lelaki asing yang mereka panggil Tuan Kim itu.

"Keadaan sudah seperti ini. Apa kau pikir perjodohan ini masih dapat diteruskan sementara keadaan putrimu tampaknya tidak akan memungkinkan?"

"Apakah acaranya bisa ditunda untuk sementara waktu?" tanya bibi Lee.

Tuan Kim menggeleng. "Aku sudah mempersiapkan segalanya, untuk pengunduran sudah tidak mungkin bisa dilakukan."

"Jangan khawatir, Tuan Kim. Akan aku pastikan Ahra bisa keluar dari rumah sakit sebelum hari pertuㅡ"

"Apa kau sudah gila, Paman?" sela Hana cepat yang segera mendapat delikan tajam dari tuan Lee namun dia tidak peduli.

Hana berjalan mendekati tuan Kim dengan amarah yang jelas ketara, tangan bibi Lee terulur berusaha mencegahnya namun Hana dengan sigap menepisnya.

"Apa kau tidak punya hati, Tuan? Sahabat karibku tengah sekarat didalam sana dan kau masih saja memikirkan perjodohan sialan ini? Dimana otakmu?!"

"Hana, hentikan!" bentak Tuan Lee.

"Kau tidak berhak menyuruhku diam!" balas Hana sinis.

"Ayah macam apa kau ini? Tega mengorbankan anakmu hanya demi harta, tidak kusangka kau tipe orang yang cukup rendahan!" sindirnya telak.

"KAU!" Tuan Lee sudah hampir melayangkan tamparan keras diwajah Hana ketika tangan seseorang mencegahnya hal itu terjadi.

Mereka semua terkejut mengetahui Tuan Kim yang melakukan hal itu.

"Aku tidak menyukai sikap kasar." dengan itu Tuan Kim menyentak tangan Paman Lee.

Hana menatap Tuan Kim remeh. Lelaki seperti dia mana mungkin memiliki sikap lembut? Hana pikir akting Tuan Kim sangat mengesankan!

"Sekarang katakan apa maumu!" tantang Tuan Kim, cukup merasa risih oleh tatapan tajam Hana.

"Kau bertanya mauku?"

Tuan Kim menjawab dengan anggukan samar.

"Maukuㅡ"

Pandangan Tuan Kim tak pernah luput dari sosok Hana yang kini perlahan mulai menundukkan kepalanya, menghela nafas panjang dan..

Bruk!

Tiga orang dewasa itu terkejut melihat apa yang baru saja terjadi.

Hana berlutut tepat dibawah kaki Tuan Kim, membuat lelaki itu sedikit mundur tersentak.

Mengira Hana akan memaki juga mengucapkan sumpah serapahnya namun diluar dugaan hal ini yang justru terjadi.

"Apa yang kau lakukan? Berdirilah!" pinta Tuan Kim.

Hana mendongak, tatapan tajam penuh amarah yang tadi dia pertahankan kini terganti dengan wajah sirat akan rasa putus asa.

"Tu-tuan, aku mohonㅡbiarkan hiks.. biarkan aku menggantikan posisi Ahra."

-to be continued-

avataravatar
Next chapter