webnovel

Tiba-tiba ke Dunia Lain (Indonesia)

Penerus Black Steel (Baja Hitam) termuda, Kitarou dan Destruction Witch (Putri Penyihir Kehancuran), Elizabeth Lou Felix IV. Mereka adalah musuh rival bebuyutan di antara kedua wilayah yang saling bertikai di medan peperangan. Hingga suatu hari kejadian misterius tiba-tiba menimpa mereka ketika dalam pertarungan hebat antara Black Steel dan Destruction Witch. Mereka tiba-tiba di panggil oleh seseorang ke Dunia Lain (isekai) di sana mereka harus bertahan hidup dan bersekutu untuk mencari cara agar bisa kembali kedunia asal mereka yang masih bertikai. Namun, hal tersebut tidak membuat perseteruan di antara mereka berakhir sampai di situ. Akankah mereka berhasil kembali ke dunia asal mereka? dan perseteruan di antara mereka berakhir? 100% Karya asli penulis Indonesia, berbentuk "Light Novel" sangat bagus untuk dibaca bagi semua audiens.

AuthorFantasy · Fantasy
Not enough ratings
20 Chs

Chapter 02 - Tiba-tiba tersesat di Dunia Lain.

Jilid 1 ¦ Chapter 02 - Tiba-tiba tersesat di Dunia Lain.

Beberapa waktu telah berlalu, kami berdua terjebak di dalam lingkaran cahaya misterius muncul secara tiba-tiba. Secepat mengedipkan mata, timbul sebuah ledakan cahaya jingga seperti kilat seakan menyambar seluruh tubuh kami berdua. 

Setelah itu, kesadaran kami memudar. Pada akhirnya, jatuh tak sadarkan diri.

Lintas waktu telah memindahkan kami memasuki ke Dunia lain. Keadaannya seperti memaksa kami berdua untuk mengalami fenomena misterius ini. 

Kesadaran kami mulai terbentuk seiring tubuhku bergerak. Ingatanku masih tetap ada, akan tetapi kepalaku terasa sedikit pusing. Kemungkinan akibatnya di sebabkan oleh cahaya kilat yang sangat menyilaukan menusuk tajam kedua mataku.

Perlahan-lahan aku mulai memaksakan untuk membuka kedua kelopak mata. Meskipun penglihatannya begitu tipis terasa samar-samar, aku bisa mencium bau yang tak asing. 

Bau yang menyegarkan namun sedikit pahit. Itu adalah bau-bau seperti rerumputan.

Dalam posisiku yang sedang terbaring, aku pun mencoba menggerapai ke tempat dimana aku tergeletak. Seperti bau penciumanku, ini memang merupakan rerumputan tumbuh di area yang sangat luas.

Aku pun mengangkat badanku untuk berduduk dan sejenak memikirkan tentang apa yang terjadi.

"Uuh…" sebuah tarikan napas yang dalam.

Setelah penglihatan kedua mataku terbuka sangat jelas, aku di terkesima melihat pemandangan hijau yang amat luas sembari merasakan tiupan angin-angin yang menyegarkan.

Rerumputan hijau itu saling bergesekan dan bergoyang seirama mengeluarkan bunyi seperti kresek. 

Ini adalah pemandangan yang luar biasa. Pemandangan yang sangat jarang sekali kulihat seumur hidup.

Sehingga aku melupakan sesuatu yang ingin kupikirkan sedari tadi. Aku mulai menoleh ke arah kiri dan juga kanan. Dimana sejauh mata memandang hanya terdapat sebuah pemandangan luas rerumputan.

Namun seketika pandanganku teralihkan tertuju pada seseorang yang familiar di mataku.

Orang itu adalah Putri Bangsawan Elizabeth. Nama aslinya sendiri adalah Elizabeth Lou Felix IV. Nama yang sangat fantastis sebagai seorang Putri bangsawan. Yang kutahu dari dirinya adalah Elizabeth merupakan putri ke-4 dari keluarga Lou. Elizabeth sendirilah yang menceritakan dirinya padaku pada saat di medan pertempuran kami yang ke-3.

Aku terkejut bercampur dengan rasa tidak nyaman melihatnya terbaring sambil tertidur. 

Badannya begitu ramping, dan dadanya kurasa lumayan menonjol untuk seukuran gadis sekalian putri bangsawan. Selain itu, wajahnya sangat cantik dengan rambut sedikit terurai. 

"A—Apa yang sedang kupikirkan. Ini bukan saatnya."

Aku pun segara menghampirinya untuk membangunkan dirinya. Dan juga mengajaknya untuk berbicara bersama mengenai kejadian ini. Sekitar jarak 3 meter dengannya aku berduduk menghadap ke arah Elizabeth.

"Hei kau, bangun. Hei, cepat sadarkan dirimu!"

Elizabeth tidak menjawab, ataupun menunjukkan sebuah reaksi.

"Hei— tidak bangun jugakah?" Aku berpikir ini akan sia-sia saja apabila membangunkannya dengan berbicara.

Aku mulai mendekati yang terbaring di rerumputan. Saat ini jarak aku dengannya berdampingan. 

Dengan bergetar perasaan yang kurang nyaman, aku berusaha mengangkat tubuh dan kepalanya di atas pangkuanku. Setelah itu, aku menggetil kedua pipinya yang sangat mulus. Dan menjepit pipinya dengan ujung jari telunjuk secara pelan beberapa kali.

"Elizabeth!? Hei, cepatlah bangun." 

"Hn?" Elizabeth mengeluarkan suaranya.

Matanya masih menipis. Dan sepertinya nyawa Elizabeth masih berada di ujung kaki. Dia berusaha membuka kedua matanya, dan menyentuh kepalanya sendiri.

"Hh... apa yang telah terjadi?" Elizabeth menanyakannya.

"Tidak. Aku tidak tahu."

"Begitu. Eng..." suaranya memelan.

Terlepas dari itu, Elizabeth telah membuka matanya terlihat melirik kearah sesuatu. Wajahnya terlihat memerah, dan ingin berucap tapi tidak bisa mengatakannya sesekali.

Awalnya aku terlihat bingung, dan baru menyadarinya. Saat ini aku sedang memangku dirinya, secara sadar mata kami kemudian saling bertemu satu sama lain.

Spontan aku langsung melepaskannya dan menyingkir mundur kebelakang secara perlahan.

"A—Ah!? Maaf." 

"Tidak."

Seketika wajah kami berdua saling memerah. Karena merasa malu.

Dengan inisiatif tinggi, aku langsung mengalihkan suasana dengan topik lain.

"Pe—Pemandangannya sangat luas ya?"

"H—Hm, ya kau benar." Elizabeth mengangguk cepat.

Sesaat pandangan kami menjadi kosong menatap keseluruhan keadaan sekitar. Mulai dari kejauhan, aku melihat jelas pegunungan yang memanjangan horisontal menuju arah timur. Dan di area sekitaran ini terdapat rerumputan yang tingginya hanya 20 cm di atas kaki.

Bahkan suasana di sini begitu tenang dan sepi.

"Omong-omong, tempat apa ini?"

"Benar juga... ini seperti kita sedang berada di Kota Netral. Namun, sebelumnya aku tidak pernah mendapati area rerumputan luas dan pegunungan. Apa jangan-jangan..."

Spontan Elizabeth menyorot matanya kepadaku.

"Apa?"

Sebelum mengatakannya. Aku ingin berspekulasi terlebih dahulu. 

Yang pertama adalah, aku dan Elizabeth tidak seharusnya berada di sini. Tempat seharusnya aku dan Elizabeth merupakan di medan pertempuran. Medan pertempuran merupakan tempat yang penuh kehancuran dan kobaran api. Sehingga tidak ada satupun tumbuhan ataupun hewan yang hidup di sana. 

Kedua adalah, dunia ini terlihat seperti Virtual Reality dalam Dunia game RPG[1]. Di kota Netral, aku pernah bermain sebuah Game RPG «Fantasy Four» Virtual Game kelas bawah yang tidak banyak orang yang tahu.

Terakhir yang ketiga. Sumber ketidaksesuaian yang sebenarnya adalah pemandangan panorama 360 derajat.

Sejauh mata memandang, padang rumput membentang ke cakrawala. Cuaca terlihat sangat cerah dengan suasana sepi sekaligus ketenangan. Maupun, pepohonan rimbun dan rerumputan yang hijau berkibas-kibas di terjang angin. Sehingga pikiran menjadi lebih relaksasi.

Itu merupakan keseluruhan dari pulau ini—tidak, mungkin lebih tepatnya adalah keseluruhan dari dunia tak di kenal ini. 

Sekarang aku sangat yakin. Bahwa dunia ini bukan tempat tinggal kami sebenarnya. Melainkan, orang yang tersesat ke dunia yang berbeda. 

"Glek!" 

Bersamaan dengan menelan air liurku, keringat dingin pun mulai bercucuran. Perlahan aku mengatakannya.

"Ini... Isekai."[2]

"Haa?!" Elizabeth mengeluarkan suara teriak dengan nada kejutnya terlalu tinggi. Suaranya sampai memantul kemana-mana mengelilingi padang rerumputan.

"Jadi, maksudmu kita sedang berada di dunia lain?"

"Yah... mungkin itu benar. Coba kau pikir, mana ada dunia seindah dan setenang ini? Pasti kau juga merasakannya,'kan?"

"Benar juga, sih. Kenapa kita tiba-tba berada di dunia ini ya...? Apa kita, sudah mati!?"

"Aku juga tidak terlalu mengerti. Eh?! Pertanyaan terakhir itu apa-apaan?" 

Tubuhku memundur kebelakang seperti refleks akibat terkejut. Aku tidak menyangka kalau akan secepat ini mati. Aku merasa itu kurang benar, sebenarnya jiwa kami masih ada. Itu artinya kami masih memiliki kehidupan.

Aku mencoba untuk berdiri, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya.

"Huh, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Kalau saja, ada seseorang di sekitar sini."

"Iya, aku setuju denganmu. Sebelum hari mulai gelap, kita harus cepat-cepat mencari tempat tinggal. Soalnya aku takut kalau sedang berada di luar malam hari." Angguknya paham dan berusaha untuk berdiri sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Memang benar, setelah aku menoleh ke atas langit, ternyata hari mulai berubah menjadi oranye. Itu merupakan tanda kalau hari telah senja sebelum malam tiba.

"Sekarang jam berapa? Apa kau membawa ponsel?" Tanyaku cepat.

"Apa kamu bodoh!? Bukankah kita sebelumnya berada di medan tempuran? Bagaimana bisa aku membawa ponsel pada saat ingin berperang. Hal kecil seperti itu, tidak sempat terpikirkan sama sekali olehku."

"E—Ehhh..." aku tidak dapat berucap. Kedua mataku mengarah ke lain semacam membuang wajah.

"Lagian, kamu juga pasti tidak membawa ponselkan?"

"Kau, benar." 

Kali ini kedua bahuku menurun. Dan memaksakan senyuman yang agak menjijikkan ini untuk di lihat. 

Meskipun aku mencoba untuk berbicara, aku mengerti perasaannya sekarang. Karena aku telah membawanya masuk kedalam dunia ini. Dia pasti merasa sedikit kebingungan dengan apa yang telah terjadi. 

Sedikit demi perlahan kami berdua terus berjalan menyisiri sepanjang jalan rerumputan. 

※※※

Di bagian barat ada pegunungan dan langit biru dengan awan berwarna kelabu melayang di atasnya.

Padang rumput yang terbentang sangat luas ini bersinar kekuningan oranye saat matahari berada di tepi barat. Di sana kami menemukan sebuah danau cukup luas yang berkilauan, di ujung seberangnya terdapat hutan. Aku dan juga Elizabeth masih dalam keadaan berjalan sembari mencari bantuan.

Akan tapi, kami berdua masih belum menemukan seseorang di daerah sekitar area ini. Aku merasa setengah jam berlalu, sejak kami memulai perjalanan. Tapi tidak membuahkan hasil juga.

Di tengah-tengah perjalanan, entah kenapa aku baru saja terpikirkan beberapa hal yang rumit. Dan aku segera membicarakannya dengan Elizabeth.

"Aku baru saja terpikirkan sesuatu."

Matanya melirik dengan wajahnya yang datar. Di balik itu, dia juga seperti penasaran.

"Katakan, apa itu."

"Apa kau menyadarinya? Sebelumnya tubuh kita penuh dengan luka tusukan dan goresan, di tambah bergelimangnya darah yang keluar menembus baju kita... kini, semuanya benar-benar telah menghilang. Terlebih rasa sakit sebelumnya juga tidak terasa lagi sekarang."

"Oh! Benar juga, pantas saja tubuhku terasa ringan sediakala."

"Pikirmu, apa ini semua berkat lingkaran sihir itu?"

"Aku sama sekali tidak tahu itu mantra sihir darimana. Di buku sejarah kam mengenai dunia sihir, tidak ada penjelasan yang tertulis tentang lingkaran sihir itu atau semacam sihir penyembuhan. Ini merupakan pertama kalinya aku melihat mantra sihir tersebut."

"Selain itu, untungnya pedang milikmu dan aku juga masih ada. Untuk sementara kita gencatan senjata dulu. Jika terjadi sesuatu, kita bisa langsung bekerja sama." 

Lanjut Elizabeth.

"Gencatan senjata, ya... itu artinya, pertarungan di antara kita masih belum berakhir."

"Itu benar."

"Terserah."

Sejujurnya aku sedikit tidak suka ini. Alasannya adalah aku sama sekali tidak ingin bertarung. Apalagi melawan sosok wanita cantik seperti sosok dirinya. Aku hampir saja mati, jika tidak terlalu menahan diri waktu itu.

Aku sangat menghormati sosoknya. Sebuah tekad ingin menciptakan perdamaian dunia itu, membuat hatiku tergerak. Meskipun dia merupakan sosok wanita, dia sangat kuat. Bahkan aku lelaki yang kekuatannya jauh berbeda darinya, sama sekali tidak bisa mengalahkannya.

Pertarungan kami selalu berakhir seri. 

Meski begitu, aku tidak bisa berterus terang kalau aku bilang 'itu membuatku kesal' bisa-bisa diriku langsung di bekukan olehnya. Ah, hal seperti itu kupastikan tidak akan pernah terjadi.

"Tunggu sebentar."

Elizabeth tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Begitu aku melihatnya, aku juga ikut berhenti sejenak.

Aku segera menanyakannya.

"Apa ada sesuatu?"

"Apa kamu dengar sesuatu?"

"Tidak."

"Coba dengarkan baik-baik. Bukankah itu terdengar seperti orang sedang berjalan."

Tidak salahnya juga untuk mendengarkan secara baik-baik. Aku pun mulai menajamkan pendengaranku. Mataku terlihat kesana kemari sambil mendengarkan bunyi apa itu.

Kalau di dengar secara baik-baik, itu merupakan suara yang di timbulkan oleh gemeresik. Bunyi "sik, cik" seperti bunyi yang terdengar bila orang berjalan di atas batu-batu kerikil.

"Kurasa asal suara itu dari di bawah kita, dekat danau."

Posisi kami sekarang tepat seperti sedang berada di dataran tinggi. Di bawahnya terdapat danau dan tepi yang merupakan batu-batuan kerikil.

Kami berdua pun segera mencari-cari dimana suara itu tepatnya berada. Karena hari terlihat mulai gelap dan juga matahari yang ada di sebelah barat mulai tenggelam.

"Berhenti." 

Elizabeth sendirilah yang mengatakan untuk berhenti. Jadi, aku hanya mengikutinya saja. Tiba-tiba tubuhku di paksa untuk menunduk agak kebawah di antara semak-semak. Elizabeth mendekatkan wajahnya mendekatiku.

"Lihat di sana." Suaranya membisik ku.

Mataku melirik kearah wajahnya. Tidak lama kemudian, aku memutuskan untuk tidak terlalu terpana oleh wajahnya. Dan melihat apa yang di suruhnya.

Tangannya menunjuk kearah tepi danau. Aku pun mengikuti jari telunjuknya tertuju.

"Apa itu? Menjijikkan." Mataku menyelingir.

"Sepertinya, itu adalah Monster yang dinamakan «Slime». Dilihat dari bentuknya, seharusnya Slime hanya berukuran kecil segenggam tangan. Akan tetapi, setelah melihat Slime sebesar itu, aku merasa ini sangat tidak normal."

"Bukannya Slime hanya hidup di air? Tapi, ini... dia hidup di daratan!?"

"Aku sangat yakin sekarang. Bahwa kita telah di pindahkan ke dunia lain, melalui lingkaran sihir itu."

"Aku juga berpikiran seperti itu. Rasanya mustahil, di dunia kita terdapat Slime yang hidup di daratan."

"Iya, kau benar sekali."

Kami sejenak terdiam melihat Slime itu berjalan secara melompat-lompat. Dan di bekas jalur di lompatnya terdapat banyak lendir yang tertinggal.

Sejujurnya, aku tidak suka melihat hal-hal menjijikkan seperti ini.

"Jadi, apa rencanamu?"

"Kita coba saja untuk menyerangnya. Bagaimana?"

"Entahlah, aku tidak begitu yakin."

"Kenapa?"

"Musuhnya kali ini berbeda daripada sebelumnya. Aku tidak terbiasa melawan makhluk berlendir seperti itu."

Elizabeth diam melotot kearah Slime tersebut. Pasti ada sesuatu yang sedang di pikirkannya. Aku bisa menebaknya, Elizabeth saat ini sedang menyusun beberapa strategi hanya untuk makhluk berlendir itu.

Aku tahu dia orang yang cerdas dan pintar. Tapi bukannya, ini terlalu ngotot banget atau berlebihan.

"Ayo." 

Elizabeth berdiri dan melompat kebawah mendahuluiku.

"O—Oy, sekarang? Ini terlalu cepat."

Dengan terpaksa aku juga menuruni dataran tinggi ini. Dan segera menuju sekitar tepi danau.

Aku melihat Elizabeth tengah berhadapan dengan makhluk berlendir itu, kalau tidak salah namanya adalah «Slime», di keluarkannya pedang «Rapier» dari wadah khusus berwarna putih keemasan. 

Sehingga keluar suara saling bergesekan "Sinnngg!" Dia mencoba melakukan persiapan. 

Di angkatnya ujung mata pedang ke atas, lalu menurunkan lagi secara horizontal.

"Ha ...!!"

Menarik napas dan menghembus. Berteriaklah dia dengan nada yang lembut. Dia berlari kedepan tengah mengambil kuda-kudanya dan mengangkat pedangnya sejajar di bagian tengah tubuh. Kali ini pedangnya benar-benar terlihat memancarkan sinar berwarna jingga. Dan aura biru muda yang keluar dari tangannya.

"Ha!"

Dengan teriakan kecil itu, dia melompat tepat di atas Slime. Tinnng!—sebuah tebasan horizontal mengenai bagian tengah tubuh makhluk itu. Slime yang merupakan makhluk hidup itu di tebas, lalu mengeluarkan cairan berwarna ungu yang mengalir. Pedangnya meninggalkan jejak sinar biru menyala di udara.

Kuekk! Slime itu mengeluarkan suara jeritan dan tubuh besarnya mulai terbelah menjadi dua.

Namun.

"Kuekk!"

"Apa!?" Aku terkejut ketika melihat Slime itu merubah wujudnya menjadi dua.

Makhluk monster itu belum mati sepenuhnya. Aku hampir tidak percaya ini, ketika tubuhnya di belah, Slime itu ternyata telah membagi tubuhnya menjadi dua. Di sisi lain, ukuran tubuhnya semakin kecil dari bentuk awalnya.

Aku kembali melihat ke arah Elizabeth. Dia terlihat seperti berkomat-kamit sesuatu yang sama sekali tidak bisa kudengar. 

Kemudian tidak lama, hawanya terasa sangat berbeda daripada sebelumnya. Suhu geografisnya tiba-tiba menurun menjadi 10° Celcius. Artinya suhu di sini menjadi lebih dingin daripada sebelumnya.

"Mungkinkah!?" Aku menyadari sesuatu.

Aura biru muda keluar dari tubuh Elizabeth . Bentuknya mungkin terlihat seperti uap yang melayang di udara. Tetapi, itu merupakan bentuk partikel-partikel «Crystal» yang sangat tajam—lebih tajam daripada mata pedang. Partikel tersebut dapat menembus zirah sekuat apapun. Melalui celah-celah organ tubuh seperti hidung dan mulut. 

Jika partikel kristal masuk melalui celah pernapasan maka, partikel tersebut akan saling berkecamuk di dalam tubuh. Dan orang tentu akan mati sebelum menyadarinya.

Dalam beberapa detik, partikel kristal itu akan menyebar keseluruh tubuh dan membeku.

"Ini teknik pelepasan sihir!—memangnya seberapa ngototnya dia  sih terhadap makhluk itu?"

Pedangnya mengeluarkan bentuk kristal es bermekaran. 

"Teknik pelepasan, mantra es. Bekukan dia!"

Kini aku mendengarnya merapalkan sebuah sihir tersebut. Hal yang sama juga terdengar sebelumnya. Saat di medan pertempuran, Elizabeth juga menggunakan Teknik itu untuk membekukan diriku. Namun waktu itu, dia terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Sehingga serangan waktu itu meleset dan dapat kuhindari.

Secara bersamaan aku refleks melompat ke atas setinggi mungkin sebelum es itu menyentuh kakiku.

Pelepasan merupakan kemampuan sihir tingkat atas satu kali serangan dalam skala besar. Kemampuan terlarang yang di perbolehkan hanya oleh «Mage» penyihir tertentu yang menggunakannya. Mage tersebut memiliki afinitas terhadap atribut «Zokusei/Atribut». Atribut ini adalah salah satu aspek yang membedakan satu penyihir dari yang lain.

"Begitu rupanya, serangan fisik tidak mempan terhadap monster itu. Jadi, dia merubah serangannya menjadi nonfisik."

Aku memahami rangkaian serangan yang di buatnya. Dia hanya menfokuskan serangannya terhadap Slime itu saja. Jadi, meskipun aku tidak menghindar tadi, serangannya juga tidak mengenaiku ataupun berdampak ke objek lain.

Pantas saja dia menancapkan pedangnya ketanah agar serangannya mengenai sasaran yang sudah di targetkan.

Kuekkk! Slime itu menjerit dan kedua tubuh yang sama mulai terpecah menjadi batu kerikil es.

Elizabeth berjalan meninggalkan tepi danau, dan menghampiriku yang tengah berdirian dari kejauhan.

"Kau terlalu berlebihan."

"Habis, slime itu tiba-tiba membagi tubuhnya menjadi dua. Aku tidak menyangka, monster seperti itu benar-benar nyata." 

Ucapnya sambil menyarungkan pedangnya di pinggang.

"Selain itu, kita harus cepat-cepat mencari tempat tinggal sementara untuk malam ini."

"Benar juga!? Hari sepertinya mulai gelap."

Kami berdua bergegas menaiki dataran tinggi sebelumnya yang merupakan padang rerumputan.

Padang rerumputan yang terbentang luas bersinar kemerahan saat matahari mulai terbenam. Di utara terlihat bayang-bayang hutan, danau yang berkilauan, dan aku bisa melihat pemandangan yang indah.

Di bagian barat ada langit yang tak terbatas dengan awan berwarna keemasan melayang di atasnya.

"Apa di daerah ini sama sekali tidak ada permukiman?"

"Huh.. tidak tahu. Aku sudah kelelahan."

Elizabeth berhenti sejenak sambil menghela napas.

"Itu dampak kau terlalu banyak menyerap energi kehidupan agar bisa menggunakan teknik pelepasan. Tentu saja, kau akan merasa lebih cepat letih saat dan setelah menggunakannya."

Matanya terbuka lebar bersamaan terdengar suara kecil "eh?—" yang di keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa dia sedikit tertegun ketika mendengarkan penjelasanku itu.

"Apa aku salah?"

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Bukannya kau sendiri yang menjelaskan padaku sebelumnya."

"Eeeh...!? sejak kepan itu—Oh, aku baru mengingatnya. Rupanya waktu itu, pada saat pertarungan ke-5 itu adalah pertama kali aku menggunakan kemampuan pelepasan sihir. Jadi, aku sedikit menyombongkannya waktu itu."

"Pada waktu itu, kemampuanmu hampir membunuhku. Tapi beruntung, pada saat itu kau terlalu banyak bicara sampai-sampai lengah terhadap musuhmu."

Bahunya menaik seakan terkejut tersengat listrik. Wajahnya mulai memerah bercampur dengan wajah kesalnya.

"Ja—Jangan mengingatkan diriku pada waktu itu!"

"Bukannya kau sendiri yang mengingatnya?"

"Berisik!"

Hph!—Dia berjalan menghentak mendahuluiku di depan. Melihatnya marah seperti itu membuatku tersenyum miris di belakangnya. Jika dia melihat wajahku yang sekarang, dia pasti akan menganggapnya najis.

Tapi aku benar-benar merasa sedikit lega. Dan bisa merasakan hidup senyaman ini meskipun hanya sebentar.

Berlanjut... 

[1] RPG (singkatan dari Role-Playing Game adalah sebuah permainan di mana playernya memainkan peran karakter dalam latar fiksi).

[2] Isekai (bahasa Jepang: 異世界, I' sekai. "Dunia berbeda atau Dunia lain").

Note; selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!

Di sini ZoelZack, apa kabar kalian? pastinya baik-baik saja ya.

Saya ingin mengatakan sesuatu, bahwa... ini Mustahil..! sama sekali tidak bisa di percaya. Menyelesaikan satu Chapter di tengah malam itu merupakan hal yang terlalu berlebihan. Tapi, sungguh saya merasa tenang dan lega daripada sebelumnya.

Jika kalian menyukai alur ceritanya, syukurlah. Akan tetapi, ini alurnya sedikit melenceng dari sinopsisnya. Karena ini adalah cerita yang berbeda sesuai dengan judulnya. Tetap beri dukungan ya!

AuthorFantasycreators' thoughts