webnovel

The Twin Lions

Aslan, seorang petarung jalanan yang besar di pinggiran kota Jakarta. Mendadak dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita muda di sasana tempatnya berlatih. Wanita itu mengaku sebagai sahabat Leon, kembarannya. Dia meminta Aslan untuk menggantikan posisi Leon setelah ia mengalami kecelakaan hebat dan kini terbaring koma. Akankah Aslan menerima tawaran wanita tersebut dan berpura-pura sebagai Leon yang sangat jauh berbeda dengannya? Ikuti kisahnya hanya di The Twin Lions. ***** Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa tambahkan ke dalam daftar bacaan dan berikan dukungan kalian dengan memberikan vote, review dan komentarnya. Terima kasih.. ^^

pearl_amethys · Realistic
Not enough ratings
471 Chs

Tempestuous

Aslan tiba di rumah kostnya setelah semalam ia tidak pulang dan tidur di sasana. Begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah kostnya, entah mengapa beberapa orang melihatnya sambil tertawa-tawa pelan. Awalnya ia tidak peduli dengan tatapan mereka namun matanya membelalak begitu melihat sebuah kertas terpasang di depan pintu kamarnya.

Ia buru-buru merobek kertas tersebut. "Bangsat," umpatnya. Ia meremas kertas tersebut hingga menjadi sebuah bulatan kecil dan membuangnya ke tong sampah. Aslan kemudian menoleh ke arah penghuni kost lain yang sedang berkumpul di ruang TV. Ia kembali memungut kertas yang baru saja ia buang dan membawanya sambil berjalan ke arah ruang TV.

Ketika Aslan sampai di ruang TV, para penghuni kost lain sedang tertawa-tawa. Tatapannya langsung tertuju pada satu orang yang sempat membicarakannya pada pagi sebelum ia dipecat. Ia berjalan menghampiri orang tersebut yang sedang tertawa geli.

"Ini kerjaan lu, kan?" Aslan menunjukkan kertas yang ia ambil dari pintu kamarnya.

Orang itu mengerjap-ngerjapkan matanya. "Maksud lu?"

Aslan membuka kertas yang tadi ia remas-remas dan memperlihatkannya pada orang itu.

Orang yang sedang berhadapan dengannya berdecak pelan. "Oh, sekarang lu udah jualan di kostan juga?" Ia lalu menatap para penghuni kost lain yang sedang bersama dengannya. "Ada yang mau sewa dia, ngga?"

Tangan Aslan kembali meremas kertas yang ada di tangannya. Napasnya sudah naik turun merasakan amarah yang siap ia tumpahkan kapan saja. Tiba-tiba saja ia menyeringai. "Bagus." Ia lalu mengalihkan perhatiannya pada penghuni kost yang tiba-tiba sudah berkumpul menonton keributan yang terjadi. "Gue bisa ngegilir kalian sekaligus."

Orang yang ada di hadapan Aslan tiba-tiba tertawa kencang sembari bertepuk tangan. Aslan kembali menoleh padanya dan dalam sekali pukul tawa pria itu berubah menjadi rintih kesakitan. Pria itu memegangi hidungnya yang kini mengeluarkan darah segar. Tidak cukup sampai disitu, Aslan meraih wajah pria itu dan menjejalkan kertas yang tadi sudah ia buang ke tempat sampah ke dalam mulut pria tersebut.

"Mulut lu kaya tong sampah," gumam Aslan setelah selesai menjejalkan kertas yang dipegangnya ke mulut pria tersebut.

Penghuni kost yang lain membeku di tempatnya. Begitu Aslan menoleh kepada mereka semua, mereka sontak mundur. Orang-orang yang tadinya sedang tertawa bersama pria tersebut di ruang TV juga tidak berani membela pria tersebut.

Aslan mendengus sembari memandangi penghuni kost yang lain. "Siapa lagi yang mau gue bikin kaya gini?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Aslan. Mereka hanya diam terpaku. Tiba-tiba seseorang muncul dari balik kerumunan itu dan menyuruh mereka semua untuk bubar. Satu per satu penghuni kost meninggalkan ruang TV dan berjalan menuju kamar masing-masing.

Kini tersisa tiga orang di ruang TV. Aslan, pria yang baru saja ia pukul dan pria yang membubarkan kerumunan penghuni kost. Pria yang membubarkan kerumunan tidak lain adalah teman dari pria yang baru saja Aslan pukul.

"Sory, Lan. Temen gue udah keterlaluan," ujar pria itu pada Aslan.

"Kenapa lu yang minta maaf?" Aslan berdecak pelan. "Harusnya tong sampah ini yang minta maaf." Ia menunjuk pada pria yang sedang terduduk memegangi hidungnya.

Pria yang ditunjuk Aslan mendengus kesal melihat Aslan yang berani menunjuk-nunjuk wajahnya.

Aslan menghela napasnya dan menatap pria yang sudah membubarkan kerumunan. "Lu urus deh, tuh, temen lu. Gue ngga bikin idungnya patah, kok." Ia kemudian pergi meninggalkan dua pria tersebut di ruang TV.

Pria itu mengangguk seraya melihat Aslan yang berjalan pergi ke arah kamarnya. Ia kemudian menatap rekannya yang masih memegangi hidungnya. "Lu ngapain, sih, cari gara-gara sama si Aslan?"

Temannya tertawa pelan. "Lu sendiri kenapa kayanya takut banget sama dia?"

Pria itu berjalan mendekati rekannya. "Masih untung idung lu ngga dibikin patah sama Aslan. Jangan gangguin dia lagi atau bukan cuma idung lu yang dibikin patah sama dia."

"Parno aja lu. Emang bisa apa, sih, dia?"

Pria itu akhirnya duduk di sebelah rekannya dan mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan sebuah rekaman video yang ia dapatkan dari grup teman-teman SMA-nya. "Liat, tuh, siapa yang menang."

Teman pria tersebut membelalakkan matanya. "Itu si kampret barusan."

"Iya. Dia selama ini buka jadi Gigolo kaya yang lu bilang. Dia itu Petinju."

"Bisa aja, kan, Petinju rangkap jadi Gigolo?"

"Terserah lu, deh. Yang penting gue udah ngasih tahu. Jangan macem-macem lagi sama si Aslan." Pria itu kemudian beranjak pergi meninggalkan rekannya yang masih terduduk di ruang TV.

Sementara rekannya hanya berdecak pelan. "Emangnya kalo dia Petinju, terus gue harus takut sama dia." Ia mendengus kesal sembari bangkit dari kursi ruang TV dan kembali ke kamarnya.

-----

Aslan melemparkan tas selempangnya dengan kesal. Sembari mendengus kesal, Aslan merebahkan dirinya di atas kasur. Ia menutupi wajahnya dengan satu tangannya. Kelebat bayangan masa lalunya kembali muncul di ingatannya.

Masa ketika ia harus menjadi sasaran perundungan teman sebayanya. Hidup bersama seorang Ayah yang pengangguran dan ditinggal pergi oleh Sang Ibu membuatnya harus bisa mengurus dirinya sendiri sejak ia duduk di sekolah menengah. Teman sebayanya selalu mengoloknya karena penampilannya yang kumal tidak terawat.

Guru-guru pun tidak dapat berbuat banyak. Meskipun mereka tahu Aslan menjadi korban perundungan, namun mereka bersikap seolah itu adalah kenakalan remaja biasa. Terlalu biasa sampai membuat Aslan bermalam di toilet sekolah yang lembab dan bau.

Selepas sekolah menengah, bukan berarti kehidupan Aslan membaik. Memasuki sekolah tinggi, perundungan yang ia alami semakin parah. Tidak jarang ia pulang ke rumah dalam keadaaan babak belur karena dipukuli senior-seniornya. Tidak ada yang membelanya. Bahkan ayahnya menyuruhnya untuk pasrah menghadapi perundung tersebut karena mereka berasal dari keluarga berada. Jika Aslan melawan, justru mereka yang akan kena masalah.

Disaat orang-orang tertidur, Aslan terbangun dan kerap memeluk erat kakinya di sudut kamar rumah kontrakan yang ia tempati bersama ayahnya. Ia berdiam diri untuk menelan semua kesialan yang menimpanya. Di saat seperti itu, ia terpikirkan nasib dirinya yang lain. Dia yang bahkan tidak ia ketahui ada dimana. Di tengah heningnya malam, ia selalu berharap agar dirinya yang lain tidak bernasib serupa dengannya.

Aslan berguling di tempat tidurnya. Tangannya meraih kaca yang ada di atas meja lipatnya. Sambil berbaring miring, Aslan memandangi wajahnya yang ada di cermin. "Hai, Leon."

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys

and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..

Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^

pearl_amethyscreators' thoughts