1 Double Sided Mirror 1

Menjelang tengah malam, sebuah bangunan tua terbengkalai di pinggir kota Jakarta mendadak ramai. Semua orang memadati bagian bawah bangunan tersebut. Dengan diterangi cahaya dari lampu sorot dengan penerangan berpuluh-puluh watt. Dua orang petarung bersiap di tengah arena. Seorang wanita berjalan sambil membawa papan yang menunjukkan ronde pertama pertarungan tersebut. Begitu bel dibunyikan, dua orang petarung itu maju dan mulai menyerang lawannya.

"Aslan, Aslan."

Suara riuh penonton yang sedang menyaksikan seorang juara bertahan yang mereka juluki sebagai 'Singa Lapar' karena kebiasaannya yang selalu menyerang lawannya dengan serangan terarah dan mematikan. Tatapan tajam Aslan ketika berhadapan dengan lawannya membuat lawannya gentar, namun disaat bersamaan membuat para penonton wanita berteriak mengelu-elukan dirinya.

Penonton akan semakin menggila ketika Aslan mulai menyeringai. Itu adalah tanda ketika ia akan menghabisi lawannya dan menyelesaikan pertarungan tersebut. Meski dengan wajah yang sudah dihiasi oleh bulir-bulir keringat dan luka pada sudut bibir dan pelipisnya, nyatanya pesona ketampanan Aslan semakin membuat kaum hawa tergila-gila dan semakin berteriak mengelu-elukan dirinya.

Sementara itu, di sisi lain dari arena tempat Aslan bersiap menghabisi lawannya. Dua orang Bandar yang mempertaruhkan pertandingan tersebut berdiri tegang menyaksikan pertandingan tersebut.

"Si Aslan emang ngga ada matinya," ujar seseorang yang berdiri di sebelah Bandar yang jadi penyelenggara tinju ilegal tersebut.

"Berkat dia, tempat gue jadi rame terus," sahut Bandar tersebut.

Mata Bandar yang menjadi tuan rumah pertarungan dua jawara itu berbinar-binar ketika ia melihat Aslan yang mulai kembali menyerang lawannya.

----

Di dalam mobil yang sedang berjalan melintasi kepadatan lalu lintas kota New York, Nadia kembali membacakan jadwal kegiatan yang harus didatangi oleh Leon. Sambil duduk di sebelah Nadia, Leon mendengarkan jadwal yang sudah disusun oleh Nadia dengan wajah dingin tidak peduli dan tatapan mata yang hanya tertuju pada layar ponselnya.

"Did you listen what I thought to you?" tanya Nadia yang merasa diabaikan oleh Leon.

"Hmmm," gumam Leon tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponselnya.

Nadia menghela napasnya dan mengetes Leon. "Kita bakal ketemu siapa pas makan malam nanti?"

Leon akhirnya mengangkat wajah dari layar ponselnya dan menatap Nadia. "We meet Mr and Mrs Widjaya. Mereka calon mitra kita di Jakarta nanti, kan?"

Nadia kembali menghela napasnya. "Gue pikir lu ngga dengerin."

"Gue denger, kok. Semua omongan dari mulut lu yang kaya orang lagi siaran radio itu." Leon lalu kembali mengalihkan perhatian pada layar ponselnya.

Nadia hanya berdecak pelan mendengarkan ucapan Leon. Bukan pertama kalinya Leon menyebutnya penyiar radio ketika ia membacakan jadwal kegiatan Leon yang seakan tidak ada habisnya. Dari pagi hingga malam jadwal kegiatan Leon diisi dengan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat bersama dengan para Investor yang menawarkan kerjasama pada perusahaan telekomunikasi milik keluarganya.

"Lu mau lanjut denger siaran radio, ngga?" tanya Nadia.

"Go ahead. Biar suasana di dalam mobil ini ngga sepi," sahut Leon tanpa menoleh pada Nadia.

Nadia melirik kesal pada Leon dan kembali membacakan jadwal kegiatannya sampai malam nanti.

-----

"Tiga."

"Dua."

"Satu."

Wasit membentuk tanda silang dengan tangannya. Tanda bahwa lawan Aslan sudah tidak sanggup berdiri lagi.

Seketika penonton bersorak. Wasit sudah memberikan tanda bahwa lawan Aslan sudah kalah. Ia kemudian meraih tangan Aslan dan langsung mengangkatnya ke udara. Penonton kembali meneriakkan nama Aslan.

Aslan tersenyum lebar sembari memukul-mukul badannya. Bandar yang menjadi penyelenggara acara tersebut ikut tertawa lebar. Sekali lagi Aslan membuatnya kembali meraih keuntungan. Ia menatap Aslan yang masih merayakan kemenangannya untuk yang kesekian kalinya.

Sementara Bandar lain yang menelan kekalahan hanya memandang sinis ke arah Aslan yang kembali memenangkan pertandingan sambil membuang puntung rokoknya. Ia menginjak puntung rokoknya yang masih menyala dan berjalan pergi meninggalkan arena tersebut.

Selesai dengan selebrasi kemenangannya, Aslan segera keluar dari arena dan mendatangi Bandar yang bertaruh untuknya. Bandar itu tersenyum ketika Aslan berdiri di depannya. "Lu emang ngga pernah mengecewakan."

Aslan mengangkat sudut bibirnya sembari berdecak pelan. "Udah, ngga usah banyak omong. Mana bagian gue?" ia menengadahkan tangannya pada Bandar tersebut.

Bandar itu menyeringai pada Aslan sembari menghitung uang yang ada di tangannya. Ia kemudian memberikan seperempat dari penghasilannya malam itu kepada Aslan.

Aslan tersenyum menerima uang tersebut. "Kapan ada pertandingan lagi?"

Bandar yang ada di hadapannya tertawa. "Santai dulu, Lan. Baru juga menang. Jangan serakah gitu, lah. Kasih kesempatan dulu buat yang lain."

Aslan tertawa mendengar ucapan Bandar tersebut. "Ngga usah sok gitu, lah, Bang. Gue tau, lu lebih untung kalo gue yang berantem. Ngaku lu?"

"Iya emang lebih untung kalo lu yang berantem. Tapi, lu itu aset gue. Kalo lu keseringan tampil, yang ada nanti lama-lama ngga ada yang mau pasang taruhan sama gue. Aset terbaik harus dijaga dengan baik juga," ujar Bandar tersebut sambil menepuk lengan Aslan. "Badan lu juga harus dijaga."

Aslan kembali tertawa mendengar ucapan Bandar tersebut. "Ya udah, gue pulang dulu."

Seseorang berperawakan kurus tiba-tiba berlari menghampiri Bandar tersebut dan Aslan. "Gawat, Bang."

Bandar itu menoleh. "Gawat kenapa?"

"Polisi udah tau tempat ini," seru pria kurus tersebut. "Mereka lagi di jalan mau ke sini."

Tiba-tiba terdengar suara sirine mobil patroli Polisi dari kejauhan dan semakin lama semakin mendekat. Sontak orang-orang yang ada di arena tersebut berhamburan untuk melarikan diri. Tidak terkecuali dengan Aslan. Sambil mengenakan jaket jeansnya, Aslan berlari ke arah motor trail miliknya. Ia segera naik ke atas motornya dan segera mengenakan helmnya. Sedetik kemudian, Aslan sudah memacu motornya meninggalkan arena tersebut.

-----

"Knock, knock," seru Nadia ketika ia melihat Leon yang tiba-tiba terdiam.

Leon langsung terkesiap dan menoleh pada Nadia. "What?"

"I need your sign," ujar Nadia. "Here." Ia menunjuk pada kolom dimana Leon harus membubuhkan tanda tangannya.

"Oh, sure." Leon langsung meraih ballpoint berwarna hitam dengan ukiran kepala singa pada bagian penutupnya. Ia kemudian membubuhkan tanda tangannya pada bagian yang ditunjuk Nadia.

"Kayanya lu butuh sedikit liburan," seru Nadia setelah Leon membubuhkan tanda tangannya.

Leon menggeleng sambil menutup dokumen yang baru saja ia tanda tangani dan memberikannya kembali pada Nadia. "Belum waktunya kita mikirin liburan. Target tahun ini belum tercapai."

Nadia memutar bola matanya. "Lu selalu bilang begitu dari tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Gue heran, target apa yang lagi lu kejar."

Leon melirik dingin pada Nadia. "Jangan banyak omong. Kerja yang bener."

Nadia sedikit memanyunkan bibirnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Leon di ruangannya. "Padahal dia sendiri yang tiba-tiba bengong," gerutunya sembari menutup pintu ruangan Leon.

-----

Motor yang dikendarai Aslan akhirnya tiba di kawasan pesisir Utara Jakarta. Ia memarkirkan motornya di pinggir pantai dan berjalan ke arah dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Malam sudah larut dan air laut mulai pasang. Namun lampu-lampu di rumah yang ada di perkampungan Nelayan masih menyala. Kehidupan mereka baru akan dimulai.

Aslan duduk di ujung dermaga dan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya yang sudah belel. Sambil menikmati semilir angin laut yang dingin menusuk luka di ujung bibir dan pelipisnya, Aslan menghirup dalam rokoknya. Sembari menghembuskan asap rokoknya, mata Aslan memandang jauh ke ujung lautan, seolah sedang bertatap muka dengan seseorang yang entah ada di mana.

*****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys

and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

avataravatar
Next chapter