webnovel

Sad Boy

Jdar!!

Kilat saling menyambar, bergemuruh di atas langit yang terasa dekat. Awan hitam berkumpul, menciptakan gelap yang pekat. Langit menangis, menjatuhkan bulir air matanya yang membasahi daratan Gaia.

Ele menatap wajah Arthur yang kini memejamkan mata. Dengan darah yang menggenang bersama air dalam kolam. Tangannya terkepal kuat, belati itu telah menancap.

William dan Arthur sampai di belakang Ele dan langsung melompat ke dalam air. Dengan Juliet yang menarik Eleanor ke tepi pembatas. Dan William mengangkat kepala Arthur dari dalam air.

Seketika noda merah ikut mengotori tubuh setengah telanjang milik William. Werewolf itu menepuk pipi Arthur, mencoba untuk menyadarkan lelaki yang mungkin telah meregang nyawa.

Tak ada respons, ia memeriksa napasnya yang lambat. Lalu pada lukanya, yang ternyata paling besar ada di pundaknya. Ia mencabutnya dan meletakkannya di sebelah Arthur, belati Eleanor yang terhunus tajam. Sepertinya, Ele tidak berhasil membunuh Arthur. Entah karena alasan apa. Karena kini, William bisa melihat tangan Eleanor yang gemetaran.

Tanpa banyak kata, Wiliam membawa Arthur ke tepi. Memanggil Juliet untuk membantu memulihkan tenaga Arthur. Ia sendiri mendekati Ele, tak lagi ingin ter curangi oleh kelicikan sang peri. Bisa saja peri itu tiba-tiba melompat dan menghabisi Arthur dalam sekali serang.

Tubuh Arthur yang terluka parah, tapi Eleanor yang pucat pasi. Tubuhnya dingin, seperti baru saja beredam dalam kolam es. Tangannya juga gemetar, dan tatapannya kosong.

"Aku sudah menikamnya dengan sangat dalam, seharusnya ia sudah mati. Kenapa kalian bersikeras ingin menolongnya? Dia bukan bagian dari kita kan?" gumam Ele setengah sadar. Bibirnya pucat, dengan mata yang memerah.

William ingin marah, tapi sadar jika itu bisa membuat suasana semakin memburuk. Jadi ia menghela napas, menatap wajah sang peri yang seperti akan mati kapan saja.

"Dia takdirmu Ele, jika dia mati, Kau akan merasakan akibatnya juga. Lagi pula, dia tidak ikut terlibat dalam masa lalumu. Apa Kau tidak kasihan padanya?" William menatap Ele dalam. Peri cantik itu menunduk, mencengkeram ujung pakaiannya yang basah. Kulinya yang putih semakin terlihat pucat saat ini.

"Aku, tidak peduli. Dia sama saja, aku tidak peduli apakah dia terlibat atau tidak. Bagiku, mereka sama saja. Sama-sama tidak bisa dipercaya. Tidak memiliki belas kasihan, jadi, mengapa aku harus mengasihi orang-orang seperti mereka?" tatapan matanya beralih pada William. Sirat putus asa juga kecewa, terpancar jelas di sana. Seperti luka tikaman yang masih berdarah, luka itu mengalir pada William. Yang kini ikut merasakan pedihnya.

"Aku tidak akan memaksamu untuk menerima takdirmu sekarang. Tapi, tolong bertahanlah sebentar lagi. Jangan jadikan dirimu sama seperti mereka. Melukai seseorang karena egois, aku tahu Kau lebih baik dari mereka," William mengusap puncak kepala Eleanor yang basah. Hujan mulai mereda, tapi rintiknya belum juga sirna. Seperti seakan ikut bersedih, dengan apa yang pasangan itu alami.

***

Keheningan yang terjadi, terasa sangat menyesakkan. Eleanor duduk di sebuah kursi, berseberangan dengan Arthur yang masih terlelap akibat kelelahan.

Keadaan lelaki itu baik-baik saja. Juliet datang tepat waktu. Menolongnya yang hampir jatuh dalam jurang kematian. Bukan karena parahnya luka secara fisik. Tapi karena luka yang ditancapkan oleh Eleanor, belahan jiwanya.

Luka yang didapat karena pasangan, memang hanya bisa disembuhkan oleh pasangan. Eleanor merasa sedikit bersalah, tapi ia tak akan mengakuinya. Jadi, ia hanya duduk dalam jarak yang tal bisa dijangkau dengan sekali gerak. Tapi masih bisa saling menatap satu sama lain.

Keberadaan mate saat terluka, adalah sebuah obat yang sangat manjur. Mereka bisa sembuh dengan cepat, baik secara fisik atau mental.

Tapi dalam kasus Eleanor dan Arthur, ini menjadi sangat berbeda. Ketika pasangan mate yang memberinya luka, maka tingkat kesembuhan juga menjadi sangat kecil. Kecuali, jika memang ada perasaan yang lebih dalam dari luka yang diberikan.

"Aku berharap Kau mati. Tapi aku juga tidak bisa melihat prosesnya, bagaimana caranya aku bisa melenyapkanmu?" gumam Ele. Peri itu menatap Arthur dengan kosong.

Setiap luka, juga darah yang mengalir di sana. Ele yang menciptakannya. Ia ingin menghabisi takdirnya sendiri. Tapi, di saat terakhir, ia justru tidak sanggup menancapkan belatinya ke dada Arthur. Ikatan mereka, sepertinya mulai terbentuk secara tidak sadar.

"Kenapa kita tidak membicarakannya secara baik-baik lebih dulu Lea?" suaranya rendah dan serak. Eleanor yang setengah melamun, langsung terperanjat. Ia berdiri dengan terburu, menatap Arthur yang perlahan membuka matanya.

Untuk sesaat mereka saling bertatapan, debaran emosional mengalir dengan deras. Memenuhi setiap rongga kosong yang tersisa. Bahkan jika itu berada pada napas mereka.

"Kenapa Kau ingin sekali menghabisiku, padahal aku bukan bagian dari mereka?" bibir kering Arthur terbuka. Terdengar jelas rasa pedih dari tiap kata yang ia lontarkan. Eleanor ingin menampik, tapi jantungnya terasa diremas saat melihat wajah tak berdaya itu di hadapannya.

Menarik napas cepat, Ele memantapkan hatinya. Menatap Arthur dengan tajam, ia menyisihkan rasa simpati yang sempat hinggap pada dirinya.

"Apa Kau pikir, dengan terlahir di tempat yang berbeda, Kau juga akan berbeda dengan rasmu? Kau pikir, luka lama yang sudah kering itu bisa sembuh tanpa bekas? Naif sekali," tak ingin membiarkan dirinya tenggelam, Ele memutuskan berbalik setelah melempar ungkapan. Ia harus meninggalkan tempat ini. Atau ia bisa saja melukai Arthur lebih banyak.

"Aku bisa menjadi apa saja untukmu, jadi tolong beri aku kesempatan. Untuk membuktikan, bahwa aku pantas, dan aku mampu menyembuhkan luka lamamu!"

Ele berhenti, menggenggam tangannya kuat-kuat. Kalimat permintaan Arthur, terdengar sangat penuh perhatian. Tapi ia tak boleh lengah, jadi ia menggeleng. Memutuskan untuk tidak peduli, ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari sana.

Tepat ketika Eleanor menutup pintu, Arthur menghela napasnya. Menutup matanya pelan, ia mendesah. Debaran jantungnya berdetak tak normal. Begitu cepat juga menyakitkan.

Ia pikir, ia tidak akan menemukan takdirnya dengan cara seperti ini. Ia hanya manusia, tapi memiliki takdir seorang peri. Dan yang paling menyedihkan, ia bahkan langsung ditolak dikali pertama mereka mengetahui ikatannya.

"Jika aku bukan manusia, apa Kau akan berubah Lea? Seperti pasangan mate pada umumnya?" ia bergumam pedih. Setitik air mata meluncur turun ke rambutnya yang lepek.

Bayangan bagaimana Ele berusaha membunuhnya beberapa waktu lalu, datang sekilas. Menghantui juga memburunya bagai anak panah beracun. Cepat atau lambat, ia pasti akan terbunuh. Entah itu dengan luka fisik, atau luka hati. Atau bisa juga mati mengenaskan, dengan sebuah sindrom yang sering makhluk immortal sebutkan yaitu, sindrom patah hati.

Ah, mengapa nasibnya seperti ini? Sangat menyedihkan sekali bukan?