webnovel

Human

"Akan aku habisi Kau!" teriaknya dengan sebilah pedang yang diayunkan tinggi. Bertumpu pada sebuah batu besar, ia melayang di udara. Mengincar seekor monster berbentuk banteng. Mata pedangnya berkilat tajam di tengah sorotan sinar rembulan.

"Graah!" Banteng besar itu menggeram buas, napasnya yang seperti uap panas menyembur keluar dari hidung. Seakan tak memiliki rasa takut, ia justru berlari menyambut tebasan pedang milik sang ksatria. Bersiap menghantam lawannya dengan kepala yang sekeras batu.

Trang!

Seperti dua logam yang bertabrakan, suara itu terdengar begitu nyaring di tengah heningnya malam. Lelaki berpedang itu meringis menahan kekuatan pedang dalam genggamannya. Langkahnya terdorong mundur, banteng raksasa ini sangat luar biasa! Ia mulai tak yakin akan mampu bertahan dalam waktu yang lama.

Dan benar, dalam waktu singkat, ia sudah terpojok. Tubuhnya terpaku pada batang pohon besar, tak bisa melarikan diri. Sementara hidungnya mengeluarkan darah akibat hantaman tanduk emas yang menjadi incarannya.

"Sudah waktunya aku mati sepertinya, tanpa membayar hutang," gumamnya sambil menutup mata. Dengan senyum di bibir, ia hanya mampu berpegangan pada batang pohon agar tak ambruk. Kakinya patah, tandukan banteng itu tak main-main. Suara kaki banteng yang berlari terdengar, menimbulkan getaran pada tanah yang ia duduki. Sudah pasrah, ia yakin ini akhir hidupnya. Tewas dalam rangka mencari barang yang bisa melunasi hutangnya.

Hingga suara geraman banteng kembali terdengar, menyentaknya untuk membuka mata. Dengan terkejut, ia menemukan salah satu tanduk besar itu sudah terpotong, jatuh ke tanah. Banteng besar itu meraung ganas, membuka mulutnya yang bergigi besar.

"Ayo Ele, habisi saja!" teriak seorang wanita dari atas pohon, di tangannya terlihat memegang sesuatu yang berkilau. Arthur, lelaki yang sebelumnya sudah pasrah akan kematian, menyipitkan mata ke sekeliling. Mencari seseorang yang dipanggil dengan nama Ele.

Hanya dalam waktu kurang dari satu kedipan, sebuah bayangan terbang di kegelapan. Siluetnya tampak begitu mengagumkan ketika diterangi cahaya bulan. Bersama pedang dan jubahnya yang berkibar diterpa angin malam.

Crash!

"Graaah!" raungannya memekakkan telinga, tubuhnya ambruk tanpa tenaga. Gadis yang tampak baru menapaki tanah itu berdiri di sisinya, masih dengan pedang yang terulur di dekat perut banteng yang kini meregang nyawa.

Arthur terkejut dengan gerakan seseorang yang ia duga perempuan itu, sangat cepat dan gesit. Ia tak bisa menangkapnya dengan jelas. Tahu-tahu, banteng itu sudah kalah di tangannya.

"Hai, Kau tidak apa-apa?" kemudian seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh cepat, menemukan seorang lelaki dengan dua anak di balik punggungnya. Arthur mengangguk, memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

"Aku baik-baik saja, terima kasih!" dengan usaha penuh, ia berdiri. Berjalan terpincang mendekati tanduk emas yang tergeletak. Mengangkatnya, dan berseru kepada mereka yang berdiri di lain tempat.

"Apa kalian membutuhkan ini? Jika iya, aku tidak akan mengambilnya!" suaranya cukup kencang untuk ukuran seseorang yang hampir mati. Perempuan yang berdiri paling dekat dengannya, yang baru saja menghabisi seekor banteng raksasa memutar bola mata. Berdecap meremehkan.

"Ambil saja, kami tidak butuh barang seperti itu!" Mengibaskan bagian belakang jubahnya, ia berbalik untuk menghampiri satu yang berdiri di atas dahan. Arthur kini bisa melihatnya terbang dengan jelas, bukan dengan mata berkunang-kunang. Ia tampak seperti seorang peri yang langka, sangat indah!

"Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih, sangat tidak sopan! Manusia memang sangat memuakkan!" ia mengomel, mengambil alih lentera di tangan perempuan cantik yang menontonnya menghabisi monster. Perempuan itu Juliet, tertawa manis. Mengusak kepala gadis yang sedang merengut sebal.

"Jangan pikirkan itu, Lucy dan Lucky juga manusia. Tidak semua sama seperti dia," suaranya begitu renyah. Kadang Ele berpikir, apa kakak cantiknya ini jelmaan malaikat? Kenapa baik hati dan sangat menenangkan begini?

"Terima kasih ya! Sudah menolongku! Aku akan pergi, sampai jumpa!" sebuah teriakan menginterupsi percakapan antara Ele dan Juliet. Mereka menoleh, menemukan pemuda yang baru ia tolong tengah melambaikan tangan.

"Dia mengucapkan terima kasih, Kau dengar itu kan?" Juliet berbisik, tangannya ikut melambai pada pemuda yang baru saja mereka tolong. Ele hanya bisa mendengus, baginya lelaki itu tetap tidak sopan.

"Oh, apa dia terluka? Kenapa jalannya pincang?" Juliet menggumam, menarik perhatian gadis di hadapannya. Ele menoleh, hanya untuk melihat lelaki itu jalan dengan terpincang-pincang. Bahkan, dari jarak sejauh ini, kelihatan sekali kalau ia sedang menahan sakit.

"Kak, jangan menolongnya! Yak!" ia memekik, dan Juliet sudah turun ke tanah untuk mengejar pemuda tadi. Mengabaikan teriakan Ele yang mencoba menghentikannya. Ia tetap menyusul pemuda yang belum jauh langkahnya.

"Kau terluka?" mengabaikan teriakan Ele, Juliet bertanya pada lelaki yang baru ditolongnya. Lelaki itu kembali menoleh. Ada lesung di pipinya saat ia tersenyum.

"Ya, sedikit. Sepertinya tulang kakiku patah. Tapi tak apa, aku akan mengobatinya nanti!" jawabnya yang disertai ekspresi baik-baik saja. Padahal, Juliet tahu ia sedang terluka dan butuh pertolongan segera. Jadi ia menghela napas.

"Aku bisa mengobatinya, aku bisa sihir penyembuhan. Akan fatal jika Kau terlambat mengobatinya," suaranya terdengar agak cemas. Arthur menunduk, melihat tulang kakinya yang memang butuh pertolongan. Akhirnya, ia mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, maaf sudah merepotkan!" Ia membungkukkan badan sedikit. Dan kini, Juliet bisa tersenyum lega. Tanpa ragu ia melangkah membawa Arthur bersamanya. Lelaki itu melangkah pelan di belakangnya.

William, lelaki yang tadi menyapanya lebih dulu melirik sinis. Entah ke mana aura baik yang tadi ia bawa, sepertinya ikut mengalir dalam darah banteng yang baru saja tewas. Wajahnya suram sekali, terlihat tidak suka dengan apa yang Juliet lakukan.

"Will, ayo! Anak-anak akan kedinginan jika terlalu lama berada di luar," panggilnya halus. William mendengus, kesal sebenarnya. Tapi Juliet benar, anak-anak yang ada di belakangnya ini akan kedinginan jika mereka tidak segera kembali. Jadi, dengan berat hati ia menggendong keduanya di pinggang. Mengabaikan raut polos yang mengerjap penuh tanda tanya.

"Semuanya, ayo kembali ke tenda!" teriaknya dengan suara nyaring. Dan satu per satu orang-orang yang tadi berpencar kini berkumpul. Seperti sebuah magnet, yang menarik benda logam di sekitarnya. Itulah Juliet, penyihir cantik dan baik hati yang menyatukan sifat-sifat yang berbeda.

Next chapter