webnovel

Alfa Dean

Pats!

Arthur mengerjap, menyesuaikan cahaya yang baru saja ia terima. Setelah beberapa saat merasa mengambang di antara udara, kini ia bisa merasakan kakinya menapak tanah. Rasanya sangat aneh, tapi juga nyata.

"Kita sudah sampai," suara Juliet seperti sedang menahan napas. Arthur menoleh bersama Eleanor, menatap wajah Juliet yang mendadak pucat. Seperti sel darah merah telah pergi meninggalkan tubuhnya.

"Astaga, Kau pucat sekali," Eleanor langsung memapah tubuh lemas Juliet. Efek samping dari teleportasi jarak jauh sangat menguras tenaga. Apalagi, Juliet tidak berpindah sendirian, ia bersama Arthur dan Eleanor. Pasti menghabiskan lebih banyak tenaga.

Mereka istirahat selama beberapa waktu. Dalam rumah lama Juliet, yang masih berada dalam wilayah kekuasaan werewolf. Satu-satunya tempat yang Juliet yakin aman, karena telah ditanami sihir oleh ibunya. Hanya ia yang bisa menerobos masuk, hanya dengan seizinnya.

"Beginilah caraku membawa William keluar dari desa ini, beberapa tahun yang lalu," gumam Juliet setengah sadar. Penyihir itu benar-benar kehilangan banyak kekuatan. Tangannya bergetar, begitu juga dengan kakinya. Taruhan besar mereka bisa sampai di sini dengan selamat, tanpa mengorbankan nyawa Juliet.

"Sudah, jangan banyak bicara atau bergerak. Fokus pada pemulihan tenagamu, kita akan bergerak malam ini!" putus Eleanor. Sejujurnya, ia juga merasa khawatir dengan keadaan William. Satu lawan seribu, begitulah istilahnya. William sendirian masuk dalam klan lamanya, tidak menyadari sebuah jebakan yang mungkin telah disiapkan.

"Kalian tetaplah di sini, aku akan menyelinap keluar dan mencoba melihat apa yang terjadi," tanpa menunggu persetujuan, setelah berkata demikian, Ele melangkah keluar. Dengan telinganya yang hampir sama sensitifnya dengan kaum werewolf, ia bisa menguping apa saja yang orang lain bicarakan di sekitarnya.

Arthur ingin menemaninya, tapi Juliet akan dalam masalah jika dibiarkan sendirian. Jadi, ia mengurungkan niat. Duduk kembali di sisi Juliet.

"Apa setelah sampai di desa Airy, Kau akan tinggal dan membiarkan Ele pergi?" pertanyaan yang terlalu tiba-tiba. Sampai Arthur tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Meski jawaban sudah jelas, tapi ia butuh alasan yang tepat.

"Apa aku terlihat seperti seseorang yang akan melepaskan apa yang ditakdirkan menjadi miliknya begitu saja?" ada senyum pedih di bibirnya. Arthur mendesah pelan, memainkan ranting patah yang entah bagaimana bisa masuk dalam rumah tua ini.

"Aku akan pastikan, kami tak akan berpisah meski sudah sampai di desa Airy. Aku, tidak akan membiarkan ia sendirian, melihat orang yang ia sukai melabuhkan hati pada wanita lain."

Juliet terperanjat, hampir duduk jika ia tidak terhalang kekuatannya yang tinggal sedikit. Ia menatap Arthur dengan pandangan bingung. Apa mungkin Arthur menyadari sesuatu?

"Tidak usah memasang wajah seperti itu, Kau membuatku geli!" Arthur melambaikan tangan di depan wajah. Ia tertawa, tapi tidak dengan matanya. Ada kesedihan yang terselip di sana, yang ia usahakan agar tidak terlihat oleh siapa pun.

"Sekali lihat saja, aku sudah bisa menebak. Kalau William bukan sekedar rekan perjalanan biasa, William lebih dari itu. Baik dari sudut pandangmu, atau dari sudut pandang gadis yang seharusnya menjari takdirku." Ada hela napas panjang setelahnya, ia meremas ranting di tangannya hingga hancur.

"Tapi tidak apa, William milikmu. Dan aku, aku berjanji, akan mengambil kembali takdirku yang salah jalan!" senyumnya terukir penuh tekat. Membuat hati kecil Juliet berdesir. Tanpa sadar ia juga tersenyum, menepuk pelan punggung Arthur yang berada cukup dekat dengannya.

Mereka baru saja akan melanjutkan pembicaraan, jika saja suara langkah kaki tidak datang dengan tergopoh-gopoh. Derap kaki yang biasa halus terdengar begitu kasar dan berat. Seperti bukan Eleanor saja.

Mata Juliet menatap pada tangan Arthur, yang masih menggenggam ranting kering. Ia membelalakkan mata. Memaksakan diri untuk duduk, dan kali ini berhasil.

"Di mana Kau mendapatkan ranting itu?" tanya Juliet setengah menahan diri. Membuahkan rasa bingung pada benak Arthur. Lelaki itu mengerjap, lalu membuka genggaman tangannya.

"Di dekat kakiku ini, kenapa?" tanyanya polos. Yang mana semakin membuat Juliet merasa cemas.

"Sihir yang ibuku tanam, adalah jenis yang tidak mungkin dimasuki debu sekalipun. Kecuali udara, dan juga aku! Apakah, itu artinya?" matanya melebar, menyadari suatu hal yang ganjil.

Arthur ikut terkejut, dengan segera ia menggendong Juliet di punggung, membawanya berlari ke arah di mana Eleanor menghilang sebelumnya. Sial! Mereka dijebak!

Mereka baru saja sampai di depan pintu, ketika mereka menemukan Eleanor tergeletak di lantai. Dengan cepat mereka berhenti, hanya untuk mendapati jika beberapa werewolf tengah mengepung. Sialan! Mereka benar-benar masuk dalam perangkap!

"Sudah aku duga, tikus yang aku kirim pasti mampu membawa kucing-kucing liar seperti kalian kemari! Ah, aku senang sekali!" seorang lelaki keluar dari balik barisan. Seorang yang tampak begitu besar, kuat dan juga, bengis!

Menyadari jika Arthur hanya memasang waspada tanpa ada niat membalas ucapannya, lelaki itu bersedekap. Tersenyum ramah yang justru terkesan menyeramkan.

"Perkenalkan, aku adalah Alfa Dean. Selamat datang di desa tempat kelahiran dan juga, kematian William,"

Jdar!!

Kilat menyambar di langit yang gelap. Warna api terlihat menyala-nyala, membentang panjang dan tidak beraturan. Warna terang yang mengerikan memberikan efek cahaya pada ruangan yang seharusnya gelap gulita.

Arthur berusaha untuk tidak merespons, atau melakukan apa pun yang sepertinya memang dipancing keluar oleh sang tuan rumah. Ia masih berwajah datar, meski degup jantungnya berpacu tak normal. Apalagi, di hadapannya, takdirnya tengah terbaring lemah tak berdaya.

"Kau masih tak bergeming? Kuat juga! Bagaimana kalau aku tunjukan sesuatu yang menarik? Seperti, kepala sahabatmu mungkin?" bersama itu, seseorang datang. Membelah barisan, dengan menyeret tubuh seseorang.

"William?" gumaman Juliet bisa didengar jelas oleh semua yang ada dalam ruangan. Bahkan William yang seharusnya tak mampu lagi menggerakkan jarinya, menoleh. Dengan wajah penuh darah, juga robekan dan lebam yang menghiasi.

"Kembalikan dia, dia tidak ada lagi masalah denganmu. Dia sudah meninggalkan desa ini sejak lama kan?" Arthur berupaya membujuk, meski tak dapat menahan gemeletuk pada giginya yang beradu.

"Hahaha!" tapi Dean justru terbawa. Terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. Seperti sedang mendengarkan sebuah lelucon, lelaki itu memegangi perutnya yang kram.

"Menurutmu, apa aku kelihatan seperti orang yang akan melepaskan mangsanya begitu saja? Padahal susah sekali menangkap anjing liar seperti dia," tanpa rasa bersalah, ia menendang kepala William yang telah terluka.

Arthur refleks maju satu langkah, hanya untuk kembali terhenti. Seseorang tiba-tiba muncul, menginjak kepala Eleanor yang tak sadarkan diri.

"Berani menyerang, akan aku hancurkan kepala gadis cantik ini!" ancamnya dengan seringai di bibir. Membuat Arthur menggeram, menahan kesal dan amarah.

"Berani Kau menyentuhnya, aku akan membunuh dan mencabikmu hingga hancur!"