1 Tanpa Dosa

Kekuatan di dunia lahir dari dosa dalam diri, semakin besar dosamu maka semakin besar kekuatanmu dapat tumbuh. Setiap orang melambangkan dosa yang berbeda-beda, mulai dari dosa ringan sampai dosa berat.

Legenda mengatakan, dulunya ada seorang yang mampu menyapu habis suatu benua sendirian dengan kekuatan dosanya.

Tak butuh satu minggu untuk membumi hanguskan semua tanda kehidupan di satu benua. Kejadian itu disebut sebagai 'tragedi hujan dosa' dan diceritakan turun temurun.

Orang yang mampu membumi hanguskan sebuah benua itu kemudian menghilang. Sampai ribuan tahun kemudian, tak ada seorangpun yang bisa melihatnya lagi.

Ia adalah pemilih dosa terbesar, ia melambangkan ... dosa 'kebencian'.

.

.

.

.

.

.

Kota Zenisteria memiliki tiga pilar yang menjadi kekuatan terbesar mereka. Setiap pilar itu berdiri kokoh dan merupakan perwakilan dari tiga keluarga terkuat.

Salah satunya adalah keluarga Norah, sumber dari para pendosa besar dengan para praktisi sihir di dalamnya.

Tak seperti keluarga lain yang bebas, keluarga Norah mewajibkan semua anggota keluarga untuk menjadi praktisi sihir. Apabila ada yang tertangkap melanggar, maka mereka akan dibunuh di tempat dan waktu yang sama.

Keluarga Norah selalu dipandang tinggi, bahkan oleh dua pilar lainnya. Terakhir kali, salah satu penyihir di dalam keluarga Norah berhasil menjadi penyihir elite kerajaan dan menduduki kursi yang tak rendah.

Di tengah semua kegemilangan itu ... Ren Norah, seorang keturunan dari keluarga Norah. Ia adalah pria berambut putih dengan mata merah crimson.

Sering melakukan dosa besar maupun kecil, setiap harinya ... ia selalu berjuang untuk mendapatkan poin dosa sebanyak mungkin.

Dibanding orang lain yang seumuran dengan dirinya, Ren adalah yang berjuang paling keras.

Membunuh hewan, mencuri, menipu, merusak dan masih banyak lagi ... namun semua itu tak ada artinya.

.

.

.

Ren duduk di dahan sebuah pohon yang terletak di puncak bukit, ini adalah bukit Lanternia. Dipanggil Lanternia, karena setiap tahun baru orang-orang akan menerbangkan lentera di sini.

Ketinggian bukit membuat Ren mampu melihat keseluruhan kota Zenisteria yang mulai disirami sinar matahari. Langit yang sebelumnya berwarna biru gelap, kini berubah menjadi semakin terang.

Mata Ren menatap ke langit, di mana ada dua ekor burung yang tengah terbang dan saling kejar. Kedua burung itu bagai sepasang kekasih yang tengah menikmati waktu pagi hari hanya berdua.

Rasa iri tersirat di mata merahnya, seakan ia tak rela melihat kedua insan itu bahagia di atasnya.

Sattt!! Jtakkkkkk!!

Ren melempar keras sebuah batu kerikil, benda itu melesat cepat bagai anak panah dan menembak jatuh satu dari dua burung indah itu.

Melihat pasangannya jatuh, salah satu burung melayang turun dan mendekati tubuh tak bernyawa yang terkulai di tanah.

Burung itu mematuk-matuk pelan, seakan meminta pasangannya untuk bangun. Harapannya percuma, karena sekarang ... tubuh itu tak lain hanya seonggok mayat yang tak akan pernah bisa bergerak lagi.

"Enak sekali memiliki orang yang bisa disayangi serta menyayangimu, kau akan dirindukan ketika hilang dan akan merindukan ketika kehilangan."

.

.

.

"Tak seperti diriku."

Ren menatap ke depan dengan sedih, ia melihat ke arah area taman kota di mana banyak orang tengah bermesraan di sana.

Ping!!

Muncul sebuah hologram, di mana nampak ada baris kalimat yang tertera padanya.

[ Anda mendapatkan 1000 poin dosa dari membunuh hewan tak bersalah ]

[ Poin dosa anda : 1000 ]

Ren baru saja menyaksikan bagaimana poin dosanya bertambah, namun tak ada ekspresi senang di wajahnya.

Seiring poin dosanya mulai tumbuh, perasaan hangat mengalir di sekujur tubuh Ren. Samar namun masih terasa, Ren yakin ... sekarang ia telah bertambah kuat.

Inilah yang disebut kekuatan dosa, tak ada satu poin dosa pun yang tak bisa membuat dirimu menjadi lebih kuat. Setiap dosa akan dihitung dan diaplikasikan menjadi sumber kekuatanmu.

Ping!!

[ Sesuatu misterius di dalam tubuh telah memakan seluruh poin dosa anda ]

[ Poin dosa anda : 0 ]

Melihat hal tersebut, wajah Ren berubah menjadi lebih gelap dari sebelumnya, ia menundukkan kepala dengan gigi yang gemeretak.

Tangannya mengepal erat dan membentuk sebuah tinju, dalam satu hempasan kuat ia memukul pohon sekuat tenaga.

Bammmmm!!

Pukulannya sama sekali tidaklah kuat, karena ia tidak memiliki satupun poin dosa, namun pukulan itu masih mampu membuat daun berjatuhan ke tanah.

Setiap daun yang berguguran bisa menyaksikan seberapa pria satu itu merasa murka, seakan ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya.

"Dari empat benua, tujuh samudra, lima kerajaan dan ratusan kota bersama jumlah nyawa yang tak terhitung tinggal di atasnya ... "

" ... kenapa harus aku?"

Ren menarik kembali tangannya yang kini telah berdarah hasil dari benturan keras barusan. Rasa menusuk segera memenuhi tangannya, namun ia sama sekali tak peduli dan hanya memilih untuk kembali duduk diam.

Hembusan angin kota sekali lagi menyapanya, namun kali ini angin tersebut entah kenapa terasa tidak bersahabat dan lebih dingin.

Ren menatap ke belakang, ia sudah memiliki perasaan buruk namun tetap berharap bahwa perasaannya tidaklah benar.

" ... "

Matanya menangkap lima orang tengah berdiri tak jauh darinya, orang-orang itu tersenyum penuh arti ke arahnya.

Dua dari mereka adalah pria lanjut usia dengan tongkat sihir sebagai penumpu tubuh renta mereka. Setiap satu dari mereka mengenakan baju ala penyihir dengan lambang naga tertera di dada.

Tiga sisanya adalah anak kecil berusia kisaran enam sampai tujuh tahun, mereka terlihat memasang senyum jahat yang sungguh menjengkelkan.

"Dua tetua, apa yang kalian butuhkan dariku?"

Ren berbicara dengan sopan, namun ia menunjukan bahwa itu hanyalah sebuah ejekan, karena nyatanya ia sama sekali tak memberi mereka hormat dengan tetap duduk di atas dahan pohon kala berbicara.

Salah satu dua orang lanjut usia itu menyipitkan mata karena merasa tersinggung. Satu ayunan tangannya mengirimkan pisau angin yang memotong pangkal dahan pohon yang Ren duduki.

Tap!!

Ren jatuh namun berhasil mendarat sempurna di atas tanah, ia berusaha tetap tersenyum meskipun saat ini kedua kakinya terasa sakit. Tak pernah ia mau membayangkan, betapa dirinya akan terlihat menyedihkan ketika terlihat kesakitan meskipun hanya jatuh dari sebuah pohon.

"Ren, kau tak terlihat menyambut kedatangan kami para tetua dengan baik. Hal semacam ini, bukankah akan menjadi penghinaan bagiku di hadapan yang lain?"

Fenill Norah, seorang tetua sihir elemen angin. Ia adalah yang paling arogan dari semua tetua, sekaligus yang paling membenci Ren.

Di samping Fennil ada Barton Norah sang pengendali tanah. Barton sama seperti Fenill, ia tak menyukai Ren, namun karena tak suka itulah dirinya tak mau berhubungan dengan Ren hingga tak ada masalah pribadi antara dirinya dengan sang pria berambut putih.

"Ren, seharusnya kau tau apa yang aku dan Fenill hendaki."

" ... ... "

Ren terdiam seribu bahasa, ia sungguh tau apa yang mereka maksud. Matanya menatap ke arah tiga anak yang berdiri di samping Fenill dan Barton, senyum jahat masih terlihat di wajah mereka ... bahkan sekarang lebih lebar lagi.

Ren mendengus keras, kemudian mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari bukit Lanternia.

"Angin menghendaki dan dosa berpusar di kedalaman jurang neraka [ Whirl Wind ]"

Pusaran angin muncul di area dalam cangkup luas dan mengurung Ren untuk tetap tinggal, sekarang pria itu tak bisa lagi melangkah lebih jauh dari ini.

Keringat dingin menetes dari dagu Ren dan membasahi rumput di tanah. Ia menatap ke belakang dan mendapati tetua Fenill tersenyum penuh kemenangan.

"Murid sekalian, nampaknya senior Ren memilih untuk tinggal, jadi sekarang adalah saatnya pelajaran dimulai."

Mendengar kalimat Fenill, ketiga anak kecil di sampingnya berseru kegirangan. Tanpa ada perintah lebih lanjut, mereka bergerak bersamaan menuju Ren yang waspada setengah mati.

Zatttt!!

Satu dari yang tercepat adalah pria kecil berelemen petir, ia muncul di atas Ren dengan telapak tangan terbuka ke arahnya.

Cahaya kekuningan melayang membentuk kalimat berbahasa kuno, itu adalah wujud dari mantra sejati dari sihir yang ia gunakan. Setiap mantra kuno itu akan diterjemahkan menjadi bahasa masa kini, sehingga mantra baru akan tercipta.

"Mata pedang langit menghujam kehidupan [ Thunder Clap ]"

Glarrrrr!!

Petir menyambar Ren, suara kencang serta cahaya menyilaukan muncul bersamaan dengan teriakan si korban.

Rasa sakit yang teramat sangat segera menjalar ke sekujur tubuhnya, Ren tau persis ... rasa sakit ini adalah awal dari penyiksaan yang selalu ia terima setiap minggu.

.

.

.

.

.

.

Tergeletak di tanah yang penuh dengan kerusakan, Ren menatap langit menggunakan matanya yang redup. Sekujur tubuh Ren penuh luka, ia bahkan tak bisa menggerakkan ujung jarinya tanpa ada rasa sakit.

Penyiksaan hari ini adalah bentuk dari latihan para generasi baru keluarga Norah. Tetua akan membawa murid yang mereka anggap berpotensi, mereka akan diberi arahan untuk menyerang Ren tanpa menahan diri sedikitpun.

Hasil dari menyerang Ren, mereka akan tau bagaimana sasaran hidup akan bereaksi terhadap pergerakan mereka, sehingga para murid itu bisa faham mana gerakan yang baik atau buruk.

Bahkan hasil paling minim sekalipun akan memberikan mereka poin dosa besar, sebab mereka melukai orang tak bersalah dengan sangat parah.

Semua pelatihan itu akan terus diulang setiap minggu, dengan kata lain ... Ren akan terluka parah di setiap minggunya tanpa terkecuali.

"Langit ... jika kau memiliki mata, apa kau tak kasihan melihatku seperti ini?"

"Langit ... jika kau memiliki mulut, apa kau tak akan membelaku di sini?"

"Langit ... jika kau memiliki telinga, apa kau tak sedih mendengar ratapanku setiap hari?"

.

.

.

Ren menatap langit, namun entah bagaimana ... ia bisa merasakan bahwa langit juga tengah menatap dirinya penuh kasihan.

Bagaikan suatu jawaban, hujan turun membasahi kota Zenisteria, seakan di hari itu ... langit menangis untuk Ren yang tengah mencurahkan kesedihannya.

"Hei ... kau boleh menangis, namun jangan tepat di atasku dasar sialan!!. Aku bisa sakit jika begini!!"

Ren berteriak, namun ia justru tersenyum bahkan tertawa karena merasa bodoh telah meneriaki langit seperti orang gila.

Bagaimanapun juga ... ia merasa lebih baik untuk mencurahkan hati pada langit, mereka akan mendengarkanmu sepenuh hati.

"Setidaknya kau tidak membenciku, ia kan langit?"

.

.

.

"Aku tak tau, jika kau juga membenciku ... maka siapa  yang tersisa di dunia ini yang tidak membenciku?"

Bersambung ...

avataravatar
Next chapter