webnovel

In Memorian

2 Minggu sebelumnya.

Meski telah berlalu bapak mertua Diya belum sepenuhnya melupakan ibu mertuanya. Kematiannya terbilang mendadak. Tanpa mengidap penyakit berat, hanya terbentur setir mobil saat berusaha menghindari kucing yang tiba-tiba berlari menyeberangi jalan. Mobil keluar jalan lalu terperosok beberapa jam di hutan karet. Partinah mendapatkan mobil yang bisa mengangkut hasil ladangnya ke pengepul dengan menjual sepetak tanah. Ia sedikit tampil beda dari warga petani disekitarnya. Lagi pula itu wajar jerih payahnya bertahun-tahun harus bisa dinikmati sebelum mati. Sekalipun suaminya melarang cukup naik motor saja.

Untung ada beberapa Penderes karet yang membantu Partinah keluar dari area hutan karet yang terkenal sepi dan rawan begal. Suara anjing menyalak tak henti-hentinya. Tiba dirumah, Partinah mengabarkan ke suaminya kalau mobilnya barusan 'nyungsep' dihutan karet. Sejak itu ia mengeluh tak enak badan dan sering sesak nafas. Kardiman, suaminya membangunkan Partinah karena terlalu lama tidur siang. Awalnya ia tak menaruh curiga mungkin karena Partinah kelelahan menjemur gabah seharian. Tapi setelah Kardiman pastikan, nafas Partinah sudah hilang.

Diya paham perasaan kehilangan tak akan sirna dengan cepat. Seperti ada yang kurang, suara omelan ibu mertuanya yang makin cerewet seiring usia bertambah. Geger, ketika bapak mertuanya tak kunjung mencomot sarapan olahannya.

"Tangi isuk wes kesel-kesel dimasakne ora ndang dipangan" (sudah bangun pagi-pagi dimasakin tidak cepat dimakan)

Misuh mertuanya mangkel setengah mati.

Bayangan Partinah masih jelas berkelebatan dari dapur ke kamar menyuguhkan segelas kopi panas di atas meja kayu di sebelah dipan besi bercat hijau dengan kasur kapuk yang kempes ditengahnya sambil ngomel-ngomel. Kalau tidak ia selonjoran di kursi rotan mengawasi Kardiman memberi makan kambing-kambingnya sembari nyemil singkong rebus.

Diya maklum. Memang perlu waktu agar terbiasa melewati hal yang tak biasa.

Diya dan Ben putuskan mengajak Kardiman tinggal bersama mereka. Sebenarnya ide yang kurang baik karena Diya dianggap tidak peka terhadap kesedihan Kardiman selepas mendiang ibu mertuanya oleh keluarga Ben. Diya cuma berpikir mertuanya tidak berlarut-larut dalam duka. Show must go on.

Ben menyewa pick-up untuk mengangkut barang-barang pindah ke rumah barunya. Masih di kota yang sama hanya saja nuansa pedesaan lebih terasa. Belum ada jalanan aspal hanya tanah merah yang ketika hujan akan seperti sawah, melewati ratusan hektar ladang tebu dikanan-kiri. Rumah penduduk terbilang jarang ditemukan di pinggiran jalan jaraknya bisa puluhan kilometer.

"Induk Lampung"kata Ben memberitahu Diya. Wilayah yang terisolir dari listrik. Hampir 1 hari perjalanan mencapai kesana.

Dijok belakang Oline nampak kelelahan tidur memeluk bonekanya. Sementara Za ia sibuk membaca buku ceritanya sembari menyandarkan kepalanya di dinding mobil. Sesekali Za melihat ke arah luar mengusir kebosanan. Banyak penebang tebu mengayunkan goloknya. Dia tak banyak bicara seperti Oline mungkin karena sudah mulai remaja. Ia juga gampang mengalah terlihat saat Oline memaksanya berpindah kejok paling belakang.

"Ya ampun Oline!"seru Diya. "Kakak capek tidur saja" ia hanya bergumam membetulkan tangkai kaca matanya. "Perjalanan masih 3 jam lagi. Iya kan yah"

"Iya" jawab Ben singkat beberapa kali melirik spion memastikan mobil pick-up masih berada dibelakangnya.

Kardiman memilih naik bersama mobil pick up. Sebab ia tak tahan AC. Ia lebih suka udara alami. Meskipun tebalnya debu akibat terseret ban-ban truk pengangkut tebu yang hendak diperas menjadi nira dan gula kristal juga traktor. Kardiman tak peduli. Bagi Kardiman melewati kebun tebu seperti memutar kaset lama kembali. Ia dan Partinah bertemu pertama kali di penggilingan tebu saat ditempatkan di divisi yang sama. Tapi itu hanya seminggu Kardiman dipromosikan ke divisi lain.

"Rokok pak?"sopir pick-up menawari Kardiman rokok tapi ia menolaknya. Sudah lama ia tidak merokok sejak almarhum Partinah melarangnya merokok karena dianggap boros. "Itu bagus"kata si sopir. "Saya mau berhenti merokok belum bisa pak"

"Lah kenapa?"

"Kalau gak ngerokok kepala saya pusing pak. Kayak gak bisa mikir"jawabnya sedikit membela diri. Ia menghisap rokoknya penuh penghayatan. Ben memelankan mobilnya ketika sopir pick up menurunkan kecepatannya. Ia tidak mau kalau mereka kehilangan jejak di daerah yang sepi. Ben berharap sebelum magrib tiba mereka sudah sampai di tujuan.