webnovel

Chapter 01

Aku dilahirkan untuk persembahkan pada, Tuan Cloonely.

-Sarah Murphy-

--

Rudesheim am Rhein, Jerman

Disaksikan kebun anggur terbentang luas, angin sepoi-sepoi, daun-daun saling berbenturan dan ranting-ranting kecil melambai. Hati Sarah Murphy dipatahkan oleh lelaki bertubuh besar, mata bulat, rambut ikal dan bulu-bulu halus di dagunya.

Seharusnya hal ini tidak terjadi. Sarah sudah memiliki kekasih. Meskipun tidak terlalu tampan, dia baik dan setia, setidaknya itulah penialain Sarah mengenai, Marc Keller.

Bermimpi menikah dengan kekasih pujaan, sudah pasti. Bahkan seringkali merasuki tidur lelapnya. Marc, berdiri di altar pernikahan mengenakan jas ... mungkin sebagian orang kaya berpikir bahwa itu bekas. Ok, tak masalah. Yang terpenting bisa bersanding, menyandang status sebagai Nyonya Keller, impian terbesarnya.

Tapi ... ah, sudahlah. Sarah sudah terlalu muak memikirkan masa depannya. Hutang-hutang ayah-nya harus dibayar dengan sebuah perjanjian rahasia bersama seorang, Cloonely. Perjanjian gila yang akan segera mengikat kebebasannya, mengubur mimpi-mimpinya.

Gambaran paling tepat mengenai kehidupan Sarah selanjutnya, mengerikan. Mau tidak mau, suka tidak suka harus menghabiskan sepanjang waktu bersama lelaki yang sama sekali tidak di inginkan, lelaki dengan track record buruk.

"Hai, ada apa ini? Apakah kau sedang menangis?" Mark bertanya dari seberang telepon.

"Tidak."

"Jangan bohong."

"Aku tidak berbohong."

"Sekarang beritahu aku, apakah kau sedang di perkebunan?"

"Memangnya kau pikir di mana lagi selain di sini?" Ketus Sarah.

"Jangan sinis. Aku mau berangkat bekerja, setidaknya beri aku satu kecupan."

Sarah tersenyum, menghadiahi sang kekasih dengan kecupan singkat, melepas perbicangan hangat. Ini kejam, sejoli yang saling mencintai harus terpisahkan oleh kekejaman, keadaan atau mungkin … malah takdri. Entahlah, hanya alam semesta yang bisa menjelaskan.

Dihembuskannya nafas berat beriringan sapuan angin sepoi-sepoi. "Aku masih tidak habis pikir bahwa masa depanku begitu buruk." Setidaknya itulah yang terbersit dalam benaknya ketika sebagian besar teman-temannya yang masih waras, yang bekerja di pabrik anggur mengatakan keburukan pria yang sebentar lagi menjadi Suami-nya.

Bukan rahasia umum bagaimana track record, Cloonely. Begitu buruk di mata semua wanita? Tidak juga. Hampir seluruh wanita dari belahan Dunia memuja ketampanannya. Mata biru seindah deburan ombak di laut lepas, hidung mancung, rambut tebal dan yang paling memikat, bibirnya yang sedikit tebal. Para wanita bertubuh molek rela mengantri panjang demi bisa merasakan betapa menakjubkannya ketika mata biru nya menggeliat tajam, aksen suara beratnya yang mendebarkan dan ya, masih banyak lagi hal-hal menakjubkan lainnya mengenai kelebihan seorang, Liam Cloonely.

Itu dia titik permasalahannya. Para pemuja Cloonely rela meneteskan air liur, mereka itu tunduk pada dua kata, tampan dan kaya. Di belakang itu, masa bodoh.

Sarah mencibir. "Menjijikkan!"

Sekali pun bergelimang harta, dikelilingi pernak pernik silau tak bisa meluluhkan hati wanita sederhana, yang bermimpi menjadi desainer terkenal, Sarah Murphy. Ia sangat membenci yang namanya penindasan. Prinsip kuat di dalam dirinya, wanita memiliki tahta tertinggi di sudut hati kaum Adam. Dihormati, disanjung, itulah kodrat dari Tuhan.

Berbagai prasangka buruk menyelam jauh ke kedalaman hati mengiringi jari telunjuk menghentak-hentak pada tanah kering. Tatapan mata selurus bujur panah seolah Marc sedang menatapnya penuh cinta. "Aku membutuhkanmu," lirihnya sendu.

Oh, ini malapetaka. Udara sedang terik-teriknya, tapi tanah dibawahnya basah.

Astaga, Sarah. Cloonely, pasti tertawa terbahak-bahak merutuki kebodohanmu. No, no, no. Ini menyedihkan sekali. Mendongaklah ke atas, tataplah langit dan tersenyumlah, setidaknya itu lebih baik, bisa sedikit mengurangi kesedihanmu.

Sial, Sarah mengikuti kata hati. Akibatnya, matanya silau. Namun, cukup ampuh. Air mata mengering seketika. "Tidak buruk." Cibirnya ... ehm, pada diri sendiri ... mungkin.

Sekali lagi melakukan kebodohan, menatap langit. "Shittt, silau sekali."

Kebodohan tidak hanya berlaku bagi Sarah. Sahahat baik, Markisa, melakukan hal yang sama. "Tidak ada apa-apa selain silau. Kenapa kau menatapnya? Siapa yang kau lihat?" Suara Markisa memenuhi pendengaran, memaksanya menolehkan wajah ke belakang. "Sejak kapan kau berdiri di situ? Kemarilah." Menepuk ruang kosong disebelahnya.

"Apa yang kau lihat di atas tadi? Sepertinya kau sedang menatap sesuatu yang-"

"Aku sedang menatap, Tuhan." Potong Sarah cepat.

Cemoohan datang silih berganti. Lalu, harus peduli? Tidak. Ia sedang curhat pada, Tuhan. Meminta keadilan.

Dilahirkan ke Dunia, ditaburi kasih sayang, dibesarkan hingga usia menginjak 20 tahun, apa gunanya? Kehadirannya tak lebih dari pion, harus mengikuti permainan lelaki tak berhati nurani, Daniel Murphy.

Kepingan-kepingan kecil dari tanah yang mulai menggumpal menyerupai kerikil, ia lemparkan, terjun bebas di antara dedaunan. Seandainya saja bisa sebesas itu menjalani hidup.

"Di sini sangat terik. Aku lupa memakai topi. Bagaimana kalau kita berteduh ke rumahmu?"

Hening sesaat.

Markisa menghembus nafas lelah, mendorong kuat bahu ramping hingga membentuk arah bujur sangkar. "Kau mengacuhkanku. Aku benci ini."

"Aku sedang menikmati terik. Di rumah ada, Mom. Elena, juga ada. Pergilah ke sana."

"Meninggalkanmu sendirian di sini, tidak."

Mengangkat bahu acuh tak acuh. "Tidak ada paksaan."

Para pekerja terlihat menepi pertanda bahwa sudah waktunya istirahat. "Sebaiknya kita pulang, ayo." Mengulurkan tangannya pada, Markisa.

"Bukankah aku sudah mengajakmu dari tadi. Kau sengaja membuat kulitku hitam kelam, ya? Huh, menyebalkan." Ketusnya.

"Tidak perlu marah. Kulit hitam lebih manis." Mengalungkan lengannya ke pundak Markisa.

Mendekati rumah yang tidak terlalu besar, terbuat dari kayu. Senyum mengembang menghiasi bibir tipis. Inilah Surga-Nya. Mungkin kalimat itu lebih tepat di sematkan untuk beberapa hari yang lalu. Sekarang ini, rumah ini, bagai Neraka.

"Kau masuk saja. Ada sesuatu milikku tertinggal diperkebunan."

"Aku ikut."

Sepasang manik hazel menggeliat tajam. Kau di sini saja! Itulah kalimat yang tergambar jelas di sana.

Markisa berdiri mematung. Sarah menolehkan wajahnya sejenak. "Masuklah, aku akan segera kembali." Teriaknya seraya menyipitkan mata akibat silau.

Ragu? Sudah pasti. Tapi, tetap mendorong pintu sehingga menimbulkan suara khas. Tidak ada siapa-siapa. Biasanya di jam segini, Daniel Murphy, sedang duduk sambil menyandarkan kepala pada sandaran kursi di iringi putaran musik pada jamannya. Ehm, seperti itulah kebiasaan yang seringkali dia lakukan setelah lelah bekerja seraya menunggu makan siang tersaji di atas meja.

Elena Murphy, si bungsu sedang pergi bermain. Apalagi yang dilakukannya selain bermain. Ia itu manja dan sedikit menyebalkan. Bagi orang lain sedikit menyebalkan. Bagi Sarah, sangat menyebalkan! Bahkan kalau boleh mengumumkan pada Dunia, akan tertulis besar-besar di papan pengumuman, tidak sudi memiliki saudara seperti dia!

Kalau Maria, wanita paruh baya itu sedang berada di dapur sesuai tebakan Markisa. Wanita yang tak lagi muda itu terlihat sibuk menyiapkan menu makan siang. "Perlu bantuan?"

Maria terkesiap. "Kau mengagetkanku saja. Kau mencari, Sarah? Dia sedang di perkebunan." Melirik jam tua yang menggantung di dinding. "Seharusnya dia sudah pulang. Kau tunggu saja."

"Kami sudah bertemu."

Maria mendongkkan wajah kemudian tersenyum. "Bagaimana dengan pekerjaanmu di Kota? Ku dengar kau bekerja di-"

"Aku ke sini meminta makan. Kau malah membahas pekerjaan, membosankan."

Maria menerobos di belakangnya, mengambil sesuatu. "Sarah, suka sekali mendesain baju. Aku pernah melihat hasilnya ... cukup bagus." Bukan berarti, memuji kehebatan Putri-ku sendiri. Lanjutnya dalam hati.

"Hm, dia layak menjadi desainer terkenal. Bakatnya sudah ada, tinggal di asah. Coba sekali-sekali aku membawanya ke Kota. Ku kenalkan dengan Bos-ku. Siapa tahu saja ada kecocokan."

Maria menjatuhkan sendok di tangan. Ini kabar buruk. Tidak boleh terjadi. Daniel, bisa murka.

"Aku tidak berniat menjodohkan Sarah dengan, Bos-ku. Dia bisa muntah bersanding dengan pria tua, botak, perut buncit, kaki besar, otot-otot mengendur. Sudah tidak terasa nikmat di ranjang. Tapi, masalah desain ... hm, tidak ada tandingan."

Kau membuatku berpikir ... astaga, aku terlalu berburuk sangka.

"Bagaimana kalau kau makan siang bersama kami? Sekali-kali kau harus mencicipi masakanku."

"Kebetulan aku memang sedang lapar."

"Tata ini ke atas meja."

Menu makan siang sudah tertata rapi, tinggal di santap oleh Tuan rumah. Naas, menu-menu ini harus menunggu antrian dari panas sampai dingin. Markisa menatap sendu. Uh, kasihan sekali kalian. Bersabarlah, aku akan segera menyantapmu sampai ke tulang sum-sum.

Menunggu, itu membosankan. Maria belum juga kembali. Seharusnya kan sudah. Perkebunan berjarak tak jauh, seharusnya tidak memakan waktu lebih dari 30 menit, tapi ini ... menyebalkan.

Tidak tahu diri, lancang, kurang ajar. Mungkin lebih pantas di sematkan untuk Markisa. Menaruh sebagian makanan ke atas piring kemudian menyantap lahap. Bunyi dahaga memenuhi pendengaran, sebagai salah satu pertanda, kekeyangan. "Ah, nikmat sekali." Mengelap mulut dengan punggung jemari.

Sarah yang baru saja tiba di rumah langsung menyerang dengan kata-kata sarkastik. "Kau ini menyedihkan sekali. Menyantap makan siang tanpa Tuan Rumah."

Maria menengahi. "Sudah, tidak perlu bertengkar." Meminta kepada Markisa untuk duduk menemani mereka menyantap makan siang.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Yezta_Auroracreators' thoughts
Next chapter