6 Kilang Minyak Maluku

Lintang tak henti-hentinya mencelos dalam hati seiring langkahnya yang memasuki bangunan nan teramat asing. Dokter itu bahkan masih tak percaya bahwa hari pertamanya di Indonesia harus disambut dengan pemandangan dan pengalaman yang sama sekali tak terbayangkan. Lintang hanya melangkah hambar, bahkan kedua kakinya terasa seperti tak menapak di lantai Rumah Tahanan Kelas Satu itu.

Setibanya tadi disana, Lintang hanya mengikuti Sandy. Entah kemana pengacara itu menuntunnya, yang Lintang lihat sepanjang perjalanan hanyalah bilik-bilik ruangan dengan pintu bertiang besi agak berkarat dan rangkaian jaring kawat sebagai pengisi bidangnya. Instingnya sebagai tenaga medis masih bisa mengkritik dalam hati bahwa ventilasi bilik-bilik ruangan itu sangat tidak baik, lantaran hanya mengandalkan celah kawat di pintu sebagai satu-satunya jalan keluar-masuk udara.

Lalu lihat orang-orang di dalam ruangan itu, menatap kedatangannya dan Sandy bersama dua petugas Rutan dengan pandangan aneh. Lintang hanya meneguk salivanya sendiri, apakah Papanya akan tinggal di tempat seperti itu juga?

"Silakan, waktu Anda berdua satu jam." Petugas Rutan di depan berhenti di salah satu bilik ruangan yang agak jauh, bahkan nyaris seperti terpisah dengan yang bilik-bilik yang Lintang amati sepanjang perjalanan tadi.

Itu dia, Juan disana.

Pria itu duduk tertunduk bingung sendirian diatas tempat tidur sempit beralaskan selembar kain tipis berpola batik warna coklat. Saking melamunnya, Ia sampai tak menyadari kedatangan Lintang dan Sandy hingga beberapa detik.

"Lintang?" Matanya agak menunjukkan semangat begitu Lintang dipersilakan masuk ke bilik tahanan. Putra kesayangannya itu tak ragu memeluknya segera, menyalurkan kekuatan seadanya tanpa bicara.

"Maafkan Papa ya, Nak." Bergetar Juan berbicara, matanya berkaca-kaca sembari tetap memeluk Lintang erat, membuat Sandy dan petugas rutan di luar bilik ikut terharu.

Lintang akhirnya melepas pelukan mereka, "Jelasin, Pa. Gimana ceritanya? Aku gak pernah percaya kalau Papa melakukan itu," bisiknya penuh penekanan.

Juan mengangguk, kemudian memberi kode pada Sandy untuk mendekat dan berdiskusi, "Papa rasa ... Papa dijebak, Lin. Pun dengan yang lain, Bu Marisa dan Pak Archy."

"Hm, sesuai dugaan," angguk Lintang. Tentu saja, Ia bukannya tak berpikir sama sekali sepanjang perjalanan dari Sierra Leone ke Jakarta kemarin, "Bagaimana kronologi dan skenarionya menurut Papa?"

"Ini berawal dari tender proyek pembangunan dua kilang minyak di Maluku, di perbatasan dengan Filipina yang diberikan ke perusahaan Kita empat tahun lalu. Perhatikan, empat tahun lalu ..." Juan mengawali penjelasannya, Lintang mengangguk menyimak. "Proyek itu baru disetujui realisasinya tengah tahun kemarin, dan Kita secara progresif sudah melaksanakan sesuai timeline yang disepakati. Kamu juga tau itu kan?"

"Ya, Aku tau."

"Celakanya, Kita tidak tahu kalau sumber pendanaan proyek itu adalah dari dana dingin, dana saving Kementrian Energi dan Lingkungan Hidup. Seharusnya anggaran seperti itu tidak dialokasikan untuk proyek apapun berdasarkan Undang Undang ..." lanjutnya.

"Astaga. Jadi, perusahaan Kita ini bertindak sebagai pelaku teknis?"

"Ya, tapi tetap saja KPK menganggap Kita yang menyerap dana itu. Disitu letak dugaan korupsinya."

"Apa sepenuhnya anggaran itu sudah direalisasikan dalam proyek?"

Sandy dan Juan terdiam, membuat Lintang melirik mereka bingung bergantian, "Sudah direalisasikan, atau belum?" ulangnya.

"Sayangnya sudah, dan ... salahnya Kita adalah juga terlalu percaya dengan pihak kedua tanpa perjanjian hukum," ujar Sandy, mewakili Juan yang masih terdiam.

"Maksudnya bagaimana?" Lintang gemas sendiri, tak sabaran mendapat cerita yang setengah-setengah.

"Pemberi proyek meminta Kita membangun empat plant produksi biofuel di NTB dan Jatim. Kedua proyek itu menelan setengah anggaran yang diberikan dan tidak sesuai dengan TOR dan MoU awal, dimana ... hanya ada dua proyek yang direalisasikan, yaitu dua kilang pengeboran di Maluku," ujar Juan akhirnya, sukses membuat Lintang memejamkan matanya frustasi.

Pantas saja, kesalahan perusahaan keluarga pimpinan Ayahnya itu tetap harus dibilang fatal meski pengakuannya tak sengaja.

"Pak Sandy, Saya pikir akan rumit. Pertama, anggaran yang turun dari dana yang katakanlah 'ilegal' itu, apakah sudah diusut siapa yang menyetujui dan mencairkan? Menurut Saya itu tidak bisa dilimpahkan ke Kita kesalahannya," tanya Lintang setengah menggebu, cepat mencari solusi sebisanya.

"Di kasus seperti ini, pemberi dan penerima akan sama-sama diperiksa, dan bisa disimpulkan menjalin kerjasama untuk pencairan, Mas Lintang. Akan sulit berkilah karena Pak Juan ... secara de facto menandatangani MoU."

Lintang menghembuskan nafasnya berat, "Baik. Tapi bukankah masih bisa dijelaskan melalui bukti-bukti dokumen kerjasama yang tidak atau sesuai TOR dan MoU itu? Terus juga perjanjian return investasi, bukankah itu bisa menjadi bukti?"

"Tentu belum ada return investasi, Lintang. Proyek ini baru direalisasi, yang ada anggaran itu habis delapan puluh persen untun pembangunan dan produksi," bantah Juan. "Tidak akan bisa dibela dengan peramalan keuntungan bisnis," lanjutnya.

"Jangan putus asa dulu, Pa. Aku akan cari cara."

"Lin ..."

"Pak Sandy, sebaiknya Kita pindah tempat ke kantor Papa. Diskusi strategi hukum di sini Saya rasa tidak memungkinkan," ujarnya seraya berdiri. Ekspresi serius setengah marahnya itu masih tampak jelas, membuat Juan semakin tak enak hati, "Lin, biar Pak Sandy yang urus. Sesuai janji Papa, Kamu hanya perlu menggantikan posisi Papa untuk menjalankan bisnis dan mempertahankan ekonomi keluarga, tidak perlu membela Papa kalau Papa memang salah, Lintang ..."

Lintang memicingkan matanya, "Kenapa Papa menyerah?"

"Papa bukan menyerah, Papa memang salah." Juan sepertinya sudah pasrah.

"Enggak, Pa! Aku akan buktikan di depan hukum kalau Papa gak bersalah!"

****

Gayatri tak bisa menghentikan gerak kakinya di bawah meja sedari tadi, membuat kedua rekannya kesal sendiri. Kebiasaan gadis itu tak berubah kala berpikir; kaki menghentak-hentak sanggahan bawah meja, menggigiti kulit dan kuku jari. Sudah lama Ia seperti itu, mungkin ada sejak seperempat jam yang lalu, sepulangnya mengikuti dua mobil dari gedung KPK ke Rutan Kelas Satu dan tak berhasil mengungkap siapa pria dalam sedan putih mewah.

"Cacingan sih, Tri. Jorok banget kelakuan," tegur Anas akhirnya, si penyuka kebersihan dan alergi air liur manusia itu terganggu sekali dengan perilaku Gayatri yang tidak ada anggun-anggunnya sebagai wanita.

Gayatri melepaskan jarinya yang masih basah itu dari mulut, "Tadi liat gak? Dia kayak antisipasi gitu takut diikuti. Iya gak?" tanyanya.

Anas meringis, sungguh jijik dengan telunjuk yang baru saja dikulum dan digigiti di depannya itu, "I-iya, tapi mungkin dia emang lagi nunggu Juan masuk duluan, kan administrasinya lama."

"Iya sih, tapi kenapa gak turun nemenin?"

"Emang harus? Belum terbukti juga dia orang penting buat Juan Erlangga atau bukan. Mungkin aja dia asistennya di perusahaan? Pembantu? Kenapa Kamu penasaran banget sama orang ini?"

Gayatri menghela nafasnya sejenak, berpikir kembali dengan tangan yang dibalut tisu kali ini, "Saya sedang mencari orang-orang terdekatnya. Saya curiga ... laki-laki itu adalah keluarganya."

"Anak?" Anas mulai menebak-nebak.

"Mungkin?"

"Memungkinkan."

"Kalau gitu Kita cari tau."

"Lewat apa?"

"Saya ada fotonya. Sebar ke imigrasi, kependudukan, perpajakan, asosiasi pebisnis, dan ... Saya akan minta tolong juga ke informan pribadi Saya."

avataravatar
Next chapter