5 Kembali ke Indonesia

Rhea menatap aneh Lintang disampingnya. Dokter itu makan dengan tatapan mata kosong, semakin aneh karena tangannya bahkan begetar meski tak terlalu kentara. Tak ada yang menyadari perubahan Lintang itu selain Rhea, lantaran rekan-rekannya yang lain asik bercanda sembari makan di beberapa tempat berbeda.

"Kamu sakit, Lin?" tanyanya kemudian, Lintang hanya menggeleng pelan, "Enggak kok."

"O-oh ..." Rhea hanya mengangguk, enggan bertanya lebih lanjut. Namun matanya masih menangkap Lintang gusar dengan ponsel sejak tadi. Entah siapa yang terus menerus menghubungi lalu ditolaknya itu.

GRRK!

"Aku istirahat sebentar ya, Rhe. Kita ke distrik tiga nanti jam dua kan?" tanyanya, berdiri dari kursi, mengangkat piring bekas makan.

"Iya, Lin. Istirahat aja dulu," jawab Rhea seadanya.

Lintang akhirnya benar-benar pergi, menyisakan Rhea yang masih khawatir. Tentu saja, siapa lagi yang paling memahami dokter itu selain Rhea disana? Bukan hanya karena persamaan negara asal dan bahasa, tapi lebih dari itu.

Bagi Rhea, Lintang selalu istimewa.

Rhea menghela nafasnya berat, "Yaudah lah, mungkin lagi butuh sendiri."

Sementara itu, Lintang membuka pintu ruangannya di dekat tangga, mendudukkan diri kasar di kursi kerjanya, memejamkan mata. Ponselnya di tangan terus bergetar, karena Naira kembali menghubungi, bergantian dengan pemanggil lain yang turut Ia kenal sebagai bawahan Papanya.

Lintang sampai saat ini tidak percaya dengan apa yang dikatakan Naira tadi pagi soal Papanya. Semakin enggan percaya lagi Lintang dibuatnya ketika tautan demi tautan berita dalam bentuk teks dan video dikirimkan padanya, menunjukkan fakta autentik yang menegaskan bahwa Ayahnya, Juan Erlangga Hardianto, memang telah diringkus KPK dalam OTT yang dilakukan kemarin sore di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali.

Media sosial Twitter dan Instagram ramai, wajah Ayahnya ada dimana-mana bersama beberapa orang lainnya. Mereka digiring memasuki gedung KPK, lengkap dengan rompi khas warna oranye nan menyedihkan.

"Ya Tuhan, Papaa ..." sebutnya lirih. Lintang tak percaya, Ia menolak percaya.

Sekali lagi ponselnya bergetar, singkat-singkat kali ini, tanda hanya pesan yang masuk, bukan panggilan seperti tadi. Ragu-ragu Lintang membuka pesan itu.

[iMess]

(Mama Sayang)

Lintang, pulang ya, Nak

Mama bingung disini sendirian

Mama minta tolong, Lintang

Mama tau Kamu kaget, Kamu marah, tapi Mama juga sama, gak tau apa-apa, Lin

Kita tetap dukung Papa dalam proses hukumnya, ya

Mama mohon pulang, Lintang

Lintang menghembuskan nafasnya berat, berapa kali Mamanya itu menulis kata 'tolong'? Mungkin wanita kesayangannya itu tengah menangis sendirian disana, membuat Lintang merasa bersalah dalam kemarahannya sendiri.

Paham benar Lintang, jika Mamanya itu tak tahu apapun mengenai bisnis yang dilakoni Juan. Profesi Naira adalah dosen dan peneliti fisika di universitas negeri ternama, hanya itu, tidak lebih. Naira sama persis seperti dirinya yang memilih jalur karir berbeda alih-alih yang sudah ada menawan mata.

Lalu berita seperti ini datang bagaikan badai, merusak kepercayaan dan keharmonisan keluarga mereka yang selama ini aman-aman saja antigaduh.

Apa yang terjadi pada Juan selama ini? Apa yang dilakukannya? Kenapa sampai seperti ini? Apa yang dikejarnya? Semua pertanyaan itu terputar di kepala Lintang tanpa henti.

Lagi, ponselnya bergetar beruntun. Pesan lain masuk.

[iMess]

(Sandy Triadi - Lawyer Kartasena)

Mas Lintang, Saya tahu Anda pasti terkejut dengan pemberitaan yang sudah meruak

Itu semua benar, maka Saya meminta Anda untuk pulang ke Indonesia

Juga selama Anda berpikir, tetap jaga identitas Anda

Beberapa jurnalis mungkin akan mencari tau siapa dan dimana keberadaan Anda, dan itu berbahaya

Jadi tolong bersikap seperti biasanya Anda bersikap sampai berita mereda

Lintang hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak punya sepatah kata pun untuk membalas pesan Naira atau Sandy. "Kenapa membicarakan aset disaat begini? Sepenting apa memangnya?" geramnya mengeraskan rahang.

"Hahhhhh!" Lintang menghembuskan kembali nafasnya berat, "Harus gimana, Ya Tuhaaan?" tanyanya bingung pada diri sendiri. Proyek besar di Sierra Leone bahkan baru saja dimulai, bukankah sangat tidak bertanggungjawab jika Ia pergi meski tetap dapat kembali?

Apa juga alasan yang bisa menjelaskan kepergiannya nanti? Identitasnya sebagai pewaris Kartasena bahkan harus disembunyikan. Pun, tak mungkin tiba-tiba Ia mengaku bahwa Ia adalah anak dari seorang Juan Erlangga, terduga koruptor besar.

DRRRRTTT! DRRRRRRT!

Ponselnya kembali bergetar panjang.

Zevanya Louise is calling ...

Lintang mengerutkan dahinya, "Gak mungkin kan?"

Akhirnya dengan ragu Lintang menjawab panggilan dari tunangannya itu, "Halo, Zeva?" tanyanya, tak hangat seperti biasa.

"Dokter Lintang sakit?"

Lintang tersenyum tipis, "Rhea ngadu sama Kamu ya?" tebaknya.

"Iyaa. Dokter sakit apa sih? Kok gak bilang sama Aku?" tanya Zeva mengimutkan suara, membuat Lintang lekas kembali tersenyum, meski tak penuh pusingnya terobati.

"Gak apa-apa kok, Aku gak sakit. Cuma ngantuk, butuh istirahat."

"Bohong."

"Kok gak percaya? Bener kok."

"Aku khawatir loh, Dokter. Udah makan belum?"

"Udah kok. Tenang aja, Zevaa."

"Ish, beginilah gak enaknya kalau LDR. Biasanya kan Aku rawat Kamu, kenapa sih Kita gak nikah aja cepetan? Biar Kamu berhenti jalan-jalan ke luar negeri terus mentang-mentang masih single," kesalnya.

Lintang menurunkan bahunya, ubah ekspresi sendu kembali, "Ze ..."

"Hm, kenapa?"

"Kalau ... rencana pernikahan Kita undur tahun depan, Kamu marah gak?" tanya Lintang akhirnya. Pikiran dan perasaannya terlalu berkecamuk, berbelit-belit, bersaut khawatir akan berbagai hal termasuk hubungannya dengan Zeva.

Tunangannya itu bahkan belum tahu menahu perihal siapa keluarga Lintang sesungguhnya. Selama ini Lintang tak pernah membahasnya. Setiap bertanya, Zeva hanya diminta menunggu waktu yang tepat. Namun sayang sekali, ketika waktu yang tepat itu hampir tiba, semua hal tak terduga ini malah terjadi.

"Kamu ragu sama Aku, Lin?"

Lintang menggeleng cepat, "Bukan. Aku cuma ... belum siap."

Hening kemudian, tak terdengar apapun dari sisi Zevanya, membuat Lintang cemas, "Maafin Aku, Ze."

Zevanya masih diam.

Lintang paham, Zevanya marah padanya.

Gadisnya itu sudah berharap besar akan janji Lintang untuk menikah pertengahan tahun ini sepulang Lintang dari Sierra Leone. Lalu kini, Lintang merasa jahat akibat ingkar.

"Ze?"

"Alasannya apa, Lin?"

Lintang ganti terdiam.

"Kamu ada masalah? Bilang Lin kalau Kamu mau Aku berubah atau apa, jangan diam aja."

"Gak gitu, Ze. Aku ..." ujarnya tertahan berat, "Ada hal yang harus diselesaikan sampai tahun depan."

"Iya, tapi apa?" kekeuh Zevanya. Lintang bingung, haruskah Ia memberitahukan yang sebenarnya pada Zeva? "Kamu gak pernah melibatkan Aku kalau Kamu ada masalah, Lin. Kenapa begitu sih?"

Lintang memejamkan matanya kembali, "Soal yang ini, Aku benar-benar gak bisa ... kasih tau Kamu."

"Yaudah, Aku juga gak bisa terima kalau begitu," tegas Zevanya, "Kamu selalu ngajarin Aku buat berpikir sebelum bertindak, beralasan sebelum memutuskan, kenapa sekarang Kamu yang begini?"

Lintang meneguk salivanya sendiri, bingung, terpojok, seba salah. Tapi sudah final, Ia tak mungkin menceritakan masalah keluarganya yang baru menyeruak memalukan pada Zevanya. Ia tak bisa, sedikit-banyak rasa malu itu tiba-tiba datang merasuk, meski Juan belum tentu dinyatakan bersalah.

"Maaf Ze, sekali lagi Aku minta maaf ..."

"Seberat apa, Lin? Aku yakin Kamu ada masalah dan Kamu gak mau berbagi," potong Zevanya cepat, mulai bergetar bicaranya, "Aku sedih ya Kamu ngomong gini, Aku kecewa sama Kamu ..."

"Ze ..."

TUT!

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Zevanya. Lintang ekmbali menundukkan kepalanya, pusing. Zevanya, gadis berhati lembut itu sudah pasti menangis setelah menutup panggilannya.

Terus seperti itu, hingga Lintang akhirnya lelah berpikir dan membuat keputusan cepat. Dibukanya kembali ruang percakapan dengan Sandy.

[iMess]

(Lintang Aji)

Saya akan pulang dalam tiga hari

Tolong disiapkan agenda pengalihan aset dan seluruh dokumen yang harus Saya tangani

Saya akan tinggal di Indonesia maksimal satu minggu

avataravatar
Next chapter