1 Prologue ; A Throne

The Royal ; A throne.

Satu-Satunya yang Kayari Manayaka inginkan adalah menjadi ratu. Sangat menginginkannya bahkan ketika dia harus menyingkirkan segala hal yang menghambatnya.

Lantas harus berada di antara dua orang yang sama-sama berlomba merebut takhta kerjaan, Royce Manayaka dan Jeremiah Reign. Yang satu memberikan kenyamanan bahkan dalam hal mustahil. Dan yang satu memberikan kebahagiaan di tengah kegilaan sekalipun.

Namun akisah lain yang belum terselesaikan antara Kayari bersama Chatal Percival dan Luciel Ok. Bukan kekuasaan, tetapi tentang perasaan yang mungkin akan menjadi lebih membahayakan.

Sebagai satu-satunya wanita di tengah para penyamun, Kayari dan sifat gilanya, berusaha mengontrol segalanya agar mendapatkan sesuai yang dia mau.

Tetapi, bagaimana jika salah satu dari pria itu membuatnya jatuh cinta?

***

Kayari Manayaka.

Kalau ada yang mengatakan Jeremiah Reign adalah wujud kesempurnaan, aku akan mengiyakan paling lantang dan nyaring. Tanpa celah. Mempesona. Sosok yang diagungkan persis seperti status stratanya –seorang pangeran. Calon penerus raja yang dielu-elukan. Semua orang menyuarakan suara menunggu dia menduduki takhta berikutnya. Sistem Monarki konstitusional yang menjadi dasar Wilayah Abel Wood. Membayar pajak tinggi yang diberikan untuk kerajaan dan keturunan mereka yang tidak akan ada habisnya. Seluruh negeri yang masih menganut sistem kerajaan selalu seperti itu. Namun selaras atas apa yang akan dilakukan dan bagaimana para penghuni kerajaan memimpin. Mengatur Abel Wood.

Dan Jeremiah Reign adalah sosok yang paling cocok untuk menggambarkan pekerja keras, baik hati, ramah dan bijaksana. Memikirkan keadaan sekitar. Sungguh kriteria paling tepat, bukan?

Setidaknya itu semua yang aku pikirkan sebelum pagi ini. Menemukan diriku terbangun di sebuah kamar asing dengan interior yang begitu mewah. Tidak jauh berbeda dengan kamarku, kecuali mungkin detail membuatnya lebih besar. Lampu kekuningan dengan kasur berlapis emas. Yang paling mencolok adalah harum ruangan ini. Citrus yang menyerbak memberikan kenyamanan sensual.

Pemilik kamar ini adalah pria yang sekarang sedang berbaring di sampingku. Telanjang dengan tubuh tertutup selimut kecuali setengah punggungnya menampakan kulit putih yang menggoda. Tengkurap menenggelamkan kepalanya di bantal namun menghadap ke samping. Tangannya merenggang acak, setengah memeluk bantal.

Aku bangkit dan segera menghela napas begitu berat. Menyisir rambutku frustasi dengan keadaan tubuh sama dengan pria di sampingku. Bergegas menuruni kasur dengan terburu-buru, namun masih sangat hati-hati. Sangsi pada keadaan Jeremiah. Berharap dia tak membuka mata dan mendapatiku yang sekarang sudah memakai pakaian dengan segera. Bergegas keluar dari kamar itu. Pergi sejauh mungkin. Sangat jauh. Menjauh dari Jeremiah Reign—pangeran dari bagian negara berlawanan denganku.

***

Masih ingat jelas bagaimana semua ini terjadi. Di penghujung sore, tengah bersiap pergi ke bagian selatan. Bergegas dengan malas—enggan. Kalau saja ratu cerewet itu tidak menceramahiku seharian hanya karena fotoku menjadi sampul depan surat kabar. Padahal menurutku itu adalah hal bagus. Kemajuan. Dapat mendukung promosi bagian utara menjadi dominan dalam penyatuan bagian negara yang sebentar lagi terjadi, kita dapat unggul untuk memimpin.

Tapi ratu bawel yang lebih cocok di panggil nenek sihir itu. tak berpikir demikian. Dia bilang fotoku mencemarkan nama bagian utara hanya karena di sana aku terlihat menghancurkan kap mobil seorang pria dengan tongkat baseball. Padahal melakukan itu karena mobilnya benar-benar mengganggu ketenanganku. Dia membuatku sulit memarkir mobil mahalku karena menghalangi.

Oh ayolah, sekalipun mobilnya aku bakar, tinggal menggantikan mobil murah itu. Tidak seberapa harganya.

Sungguh membuatku kesal saja.

"Hei putri manja yang bar-bar, mau kemana?"

Aku langsung memandang pria yang sedang merokok itu dengan tatapan muak. Memutar bola mata jengah sambil melipat kedua tangan di dada. "Berisik pangeran berengsek."

Pun pria itu dengan asalnya meniupkan asapnya di depan wajahku. Membuatku batuk-batuk –tesedak. Rasanya aku bisa mati saat itu juga. Aku benci sekali asap rokok. Sementara dia malah tertawa sinis, merendahkanku.

"Kau sama berengsek nya dengan ayahmu!" ujarku geram.

"Kau juga anaknya, Kayari. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya."

Aku memutar bola mata lagi. "Kalau begitu kau sama bangsatnya dengan Ibumu," tambahku dengan wajah angkuh penuh kemenangan.

"Dan kau sama jalangnya dengan Ibumu," ujarnya tak mau kalah.

"Royce Manayaka berengsek, jangan bawa-bawa Ibuku! Dia sudah mati."

Royce malah mengedikan bahunya santai. "Jadi kau tidak boleh menghina Ibuku juga, kalau dia meninggal?"

"Itu sih yang kau harapkan," sarkasku. Tak dibalas apapun oleh Royce. Aku tahu jelas apa yang dia pikirkan. Membuatku tersenyum sinis. "Berikan rokoknya, aku juga ingin."

Royce memandangku dengan tatapan aneh mengejek. "Kau tidak bisa merokok. Jangan bandel."

Seperti biasa. Sok bertindak seperti kakak, padahal cara dia memperlakukan kadang nyaris membuatku seperti sampah. Sama seperti aku memperlakukannya. Kami bahkan bersama bukan karena keinginan kami. Kami berdua terjebak dalam keadaan di mana harus membantu satu-sama lain.

"Aku pusing. Muak. Aku harus jadi ratu."

"Aku juga harus jadi raja."

"Kalau kau jadi raja, aku tidak akan bisa menjadi ratu. Selama-lamanya terjebak dalam panggilan bodoh ; Tuan Putri. Terdengar sangat lemah."

"Bisa saja," jawabnya santai.

"Mengigau? Kau tak lihat bagaimana ibumu sekarang itu menjadi sang ratu? Cih padahal dia dulu hanya selir. Dia sangat ingin membuat bagian utara berkuasa. Jadi setidaknya ketika penyatuan bagian, kau yang jadi raja, atau aku yang menjadi ratu. Tentu saja maka itu sekarang aku harus menemui Pangeran Reign itu."

"Merayu? Seperti jalang begitu? Wah Ibuku pintar sekali. Dia tahu jelas keahlianmu."

Aku memukul perut Royce dengan sikuku. Terdengar bunyi pelan. Membuat dia mengaduh sakit. Tubuhnya kurus. Bagaimana pun, aku dapat merasakan tulangnya. "Bentuklah otot. Kau menyedihkan. Nanti tak ada yang mau denganmu." Tidak menutup kenyataan bahwa jika Royce berolahraga, tubuhnya akan lebih terbentuk dan kekuatannya pasti lebih besar, mengingat dia memiliki ambisi untuk menjadi raja. Tidak bisa dipungkiri, penampilan adalah salah satu yang penting untuk membuat kepercayaan rakyat.

"Kata siapa? Banyak gadis yang siap kugilir di kasur," kata Royce percaya diri. Dia benar dan aku tahu itu. Royce tampan, darah ayah kami mengalir pada dirinya.

"Ya. Yang murahan. Tak berkualitas. Menjijikan," kataku. Tentu kata murahan di sini bukan karena mereka adalah pekerja seks komersil, aku tidak pernah masalah dengan itu. Hanya saja bagaimana wanita-wanita itu kadang melakukan hal yang teramat buruk, membuatku bergidik. Selebihnya, aku hanya menyindir Royce, sebab siapa pun yang bersama dia, akan menjadi buruk.

"Iya, beda dengan kau ya? Mahal. Jadi kau harganya berapa?" balas Royce tidak mau kalah. Sarkastik. Kami sepertinya memang bersaudara sekalipun berbeda ibu. Ada beberapa persamaan dalam diri kami yang tidak dapat diganggu gugat seperti saat ini, terutama ketika sedang berdebat. Sedang melempar hinaan.

"Berengsek kau, Royce Manayaka!" geramku.

Royce terkekeh. Sama sekali tidak merasa bersalah. Malahan terkesan puas karena dapat merebut satu nilai dari perdebatan kami sehari-hari. Saat ini skornya sama, walaupun aku tidak terlalu memikirkan. Yang ada di dalam kepalaku adalah pertemuan dengan Pangeran Reign.

"Argh menyebalkan aku harus bersikap manis di depan Pangeran Reign itu. Menghadiri makan malam kerajaannya!" keluhku. Sebenarnya aku kerap bersikap sangat baik dan elegan, tentu dengan keangkuhan. Aku tahu, aku jauh sekali dari kata Tuan Putri lemah lembut yang manis. Namun lahir dan besar di kerajaan, membuatku terbiasa dengan semuanya. Hanya saja bersama Royce aku bisa menjadi jauh berbeda. Dia selalu dapat menyulut emosiku.

Mengingat berita terakhir adalah tentang aku yang menghancurkan kap mobil, jangan bayangkan aku menjadi tomboi dan berteriak-teriak. Aku masih memakai dres cocktail dengan hak tinggi, menghancurkannya. Mungkin karena setengah mabuk, tetapi setengahnya lagi karena pria pemilik mobil itu benar-benar menyebalkan.

"Iya, harus. Karena kalau dia tahu bagaimana dirimu sebenarnya, dia akan lari." Lagi-lagi Royce tertawa merendahkanku. Aku sudah terbiasa dengan mulut pedasnya itu. Walau aku masih sering memikirkan bagaimana caranya membunuh calon raja. Saudara tiri sendiri.

"Kalau dia tak menyukaiku, tamatlah aku. Aku harus jadi ratu. Dan lagi, dengar Royce Manayaka, menyerahlah. Kau tidak boleh jadi raja karena harus aku yang jadi ratu."

"Begitu ya? Bagaimana kalau kita berdua saja jadi raja dan ratu?"

[]

avataravatar
Next chapter