webnovel

The Rosemary

Di dunia dimana kekuatan super muncul dalam diri manusia dan dianggap lumrah, mereka harus belajar untuk mengendalikannya. Academy for Superpower Training and Study (ASTRIS) adalah sekolah yang masih baru, tetapi sudah memiliki reputasi yang cukup baik. Sekolah ini memiliki sistem yang cukup unik. Setiap murid akan dikelompokkan dengan seorang kapten dari murid tingkat tertinggi untuk dilatih dan menjalankan misi. Sonia adalah murid kelas satu SMP di sekolah ini. Ia masuk ke dalam 'Kelompok 5' yang dipimpin oleh Sifari Danar. Seorang murid kelas dua SMA yang merupakan salah dari 'Empat Raja Langit', yaitu empat orang terkuat di sekolah. Bergabung pula dengannya beberapa teman satu tim yang unik-unik dan aneh-aneh. Dengan tujuan untuk menjadi tim terbaik di sekolah, akankah mereka berhasil?

Faris_Ranadi · Urban
Not enough ratings
27 Chs

Chapter 10: Malice at the Palace

Aku mengepalkan tinjuku dengan keras. Melihat Beni di hadapanku, membuatku kesal. Orang ini telah berbuat banyak kerusakan. Pada kampung ini, pada keluarga Kak Putri, dan banyak orang lainnya. Dia melihat kami dengan senyuman mesumnya itu.

"Ayo, kemari sini. Lu pengen balas dendam, kan?" ejek Beni.

"Sonia, jangan-"

"ICE SHOT!"

Peluru-peluru es meluncur ke arah Beni. Dengan satu sapuan tangan, Beni menghalau seluruh peluruku. Hah?! Bagaimana bisa? Oke, kita coba lagi. Aku menyentuh tanah sambil mengeluarkan energiku.

"ICE SPIKES!" Paku-paku es muncul dari dalam tanah mengincar Beni. Lagi-lagi, dengan satu sapuan tangan seranganku dapat dihalau oleh Beni.

"Lagi?!" kataku terkejut. Apa rahasianya? Mantra? Sepertinya bukan. Dia tidak merapal apapun.

"Heh, cewek brengsek! Karpet gue jadi rusak tahu!" bentak Beni. Ia melakukan gerakan meninju ke arahku.

Seketika badanku seperti terdorong ke belakang. Bukan, bukan hanya terdorong. Rasanya benar-benar seperti ditinju. Aku membuat dinding es di belakangku agar aku berhenti mundur. Aku terengah-engah. Satu serangan tadi kuat juga. Kurasa aku tidak kuat lagi. Sial! Apa hal yang sama terulang lagi? Seperti waktu Kraken? Waktu di kampung? Apa aku memang tidak bisa menyelamatkan siapapun? Tidak! Tidak akan terulang lagi! Aku harus berhasil, walau sekali saja!

Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri. Ia menyatu dan mengeluarkan energi. Tanpa sadar, aku menciptakan sabit es besar. Ini sama seperti waktu latihan tarung melawan Kak Sifari. Sabit ini selalu muncul ketika aku sedang terdesak. Tapi, kenapa selalu sabit?

"Anak cengeng yang dulu sudah besar, jadi kuberikan sedikit kekuatanku."

Hah? Suara siapa itu? Aku melihat ke sekelilingku, tidak ada siapa-siapa. Melihat dari ekspresi dari Kak Putri dan Beni, sepertinya mereka tidak mendengar apa-apa. Apakah aku saja yang merasa? Ah, sudahlah. Dengan sabit ini, pasti aku bisa menang!

Aku mengayunkan sabit ini ke samping untuk menebas Beni. Ayunan itu melintasi ruangan secara menyeluruh. Beni mengangkat tangan di depan dadanya. Kali ini, bajunya robek. Bukan hanya itu, dinding di belakangnya juga hancur. Meninggalkan bekas tebasan yang lebar. Beberapa kaca jendela juga ikut pecah. Aku terkejut, begitu juga Beni. Namun, dia juga geram.

"Dasar cewek bajingan! Seharusnya lu gue hancurin aja dari tadi," kata Beni geram. Lagi-lagi dia melakukan gerakan tinju, tapi kali ini dengan tenaga lebih.

Aku memutar sabitku seperti kincir di atas tubuhku, tunggu… aku bisa melakukan ini!? Sejak kapan!? Ingin rasanya aku berteriak girang, tapi rasanya tidak tepat waktunya. Begitu aku merasakan hawa-hawa energi, aku mengayunkan sabitku ke samping. Ia tertahan, ayunannya tidak menyeluruh seperti tadi. Aku mengalirkan energi ke sabitku. Kemudian, ia seperti membekukan sesuatu. Sesuatu yang berbentuk tangan dan lengan. Aku mengalirkan energi lebih banyak. Untuk membekukan lebih banyak lagi. Ternyata, ia membentuk manusia raksasa. Astaga, kekuatan macam apa ini?!

"Ah… ketahuan, deh. Enggak asik, nih, SO-NI-A," kata Beni dengan nada meledek.

"Jangan sebut namaku!" teriakku kepadanya. "Kekuatan apa ini!?"

Beni menyeringai lebar, "Oh, ya, begini Sonia, ini adalah kekuatan dari orang-orang yang dipilih oleh Dewa," ujarnya, "kau juga bisa mendapat kekuatan seperti ini, kalau kau menyerahkan dirimu kepadaku, jiwa dan raga. Yah, terutama raga, sih! Ahahaha!"

"BOHONG! Nggak mungkin!" teriakku.

"Hahaha, kita buktikan saja itu, oke?" Beni menampakkan telapaknya, "Mantra Serang nomor 1, Collisio!"

Tubuhku terasa terdorong lagi. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Collisio padahal mantra tingkat dasar. Anak SD kelas 4 di sekolahku dulu juga bisa merapalnya. Tapi, Beni membuatnya lebih kuat, walaupun dia tidak merapal Premise-nya. Dinding es yang kuciptakan di belakangku pecah. Aku terdorong sampai menghantam pintu.

"Sonia!" teriak Kak Putri sambil menghampiriku. "Kau nggak apa-apa?"

Nafasku tersengal-sengal. Aku mengangguk, "Iya, aku nggak apa-apa." Aku bangkit kembali, "Aku…harus…mengalahkan dia! Uhuk! Uhuk!"

"Sonia, nggak apa-apa. Kau nggak usah bertarung, hidupmu lebih berharga daripada kebebasan kami!" kata Kak Putri sambil berusaha untuk menahanku.

Aku melihat Kak Putri sambil tersenyum, "'Nggak apa-apa'. Itu yang selalu kita katakan justru ketika sedang diterpa masalah. Karena kita nggak mau orang lain khawatir dan ikut susah. Justru, hidupku yang lebih tidak berharga daripada kebebasan kalian. Tenang saja, aku tidak akan kalah."

Aku memutar-mutar sabitku dan bersiap-siap menyerang. Aku menghela nafas. Beni melihatku dengan senyumnya yang meremehkan dan menantang. Aku berjalan ke arahnya, kemudian berlari. Aku melompat. Beni mengangkat lengan di atas kepalanya. Tanpa jeda, aku langsung mengayunkan sabitku dari atas. Lengan Beni teriris. Karena seranganku dialiri energy, lengannya tidak langsung berdarah, tapi es muncul bekas irisan itu. Es itu menusuk dari dalam luka.

"AGGHHH!" erang Beni kesakitan. "ANJING! Sakit banget, tai!"

"Kau menyesal sekarang?" kataku dengan nada mengancam.

"Kan sudah kubilang ini adalah kekuatan dari Dewa," kata Beni sambil menyeringai lebar.

Dia menggerakkan tangannya ke bawah. Tiba-tiba, tubuhku terasa ada yang menekan dari belakang. Aku ditekan ke lantai. Badanku serasa remuk. Aku berusaha untuk melawan, tapi tak ada guna.

Beni menjilat bibir bagian atasnya, "Selamat tidur, Sonia."

"A-A-AAAAAAAAHHHHH!!!"

***

Barqi, Eriza, dan Yura sedang mengendap-endap di sebuah lorong. Di lorong itu, mereka melihat ke sebuah jendela panjang di kiri. Orang-orang banyak yang bekerja secara paksa. Ada yang mengatur mesin. Ada yang membungkus botol berisi cairan merah. Ada pula yang mengangkut kardus berisi botol-botol itu. Mereka semua dijaga oleh beberapa preman disekeliling ruangan. Preman-preman itu ada yang memegang golok, cambuk, atau pun senapan.

Eriza gemetar melihat ini semua. Yura hanya bisa melihat dengan sedih. Sementara Barqi berusaha untuk menahan amarahnya.

"Ayo, semakin cepat kita menemukan Sonia, semakin cepat kita dapat membantu mereka," kata Barqi.

Eriza dan Yura mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan, Eriza menggigil. Yura kebingungan melihat tingkah kakak kelasnya itu.

"Kak Eriza, kau tidak apa-apa?" tanya Yura, "Memangnya disini dingin sekali, ya?"

"E-eh, i-iya, disini dingin banget!" jawab Eriza dengan kilat. "Apa kau tahu kalau vaksin harus berada dalam suhu ruangan yang sejuk? Karena kalau ia kepanasan, maka vaksinnya akan rusak. Mungkin Euphoroid juga sama!"

"Hmmm… yah, di Indonesia tidak terlalu dingin, sih. Tidak seperti di rumahku," kata Yura dengan riang, "tapi, di Kyoto juga masih kalah dinginnya dibanding Hokkaido. Wah, aku senang sekali kalau ke Sapporo bareng… kakakku… dan adikku. Mungkin kapan-kapan kita bisa kesana bersama?"

"Sapporo, ya?" celetuk Barqi, "asik juga, tuh. Tapi, aku belum pernah ke sana, cuman diceritain Ayahku. Heh, jangankan Sapporo, Tokyo saja aku belum pernah."

"Oh, ya, Kak Barqi, klan Kirikaze ada dimana?" tanya Yura.

"Hm, kami adalah penjaga daerah Kanto," jawab Barqi. "Rumah besarnya sendiri ada di Kamakura. Setidaknya itulah yang dikatakan Ayahku. Aku sama sekali belum pernah kesana. Keluarga Ayahku di Jepang saja aku tidak tahu."

"O-oh…"

Akhirnya mereka tiba di sebuah persimpangan. Di depan mereka terdapat dua pintu besi. Tidak ada tanda nama pada kedua pintu itu. Mereka berpandangan satu sama lain.

"Bagaimana ini, Barqi?" tanya Eriza, "Satu dari dua pintu ini mengarah ke Sonia, tapi yang mana?"

"Yang pasti pintu yang kiri ini pasti mengarah ke pabrik, kalau melihat dari denahnya," ujar Barqi. "Hmmm… begini saja, kalian pergi ke pintu kiri ini, aku akan pergi ke pintu yang satunya."

"Apa benar tidak apa-apa? Kalau ternyata pintu yang kanan ini isinya penuh dengan preman bagaimana?" tanya Eriza khawatir.

"Akan kulawan mereka," jawab Barqi.

"Tapi-"

"Kalau kau sudah lama bersama Kapten, kau akan tahu bahwa dia adalah orang paling nekat untuk hal seperti ini. Bahkan di antara Empat Raja Langit, aku rasa hanya dia yang berani," ujar Barqi. "Kalian adalah anggotanya sekarang, makanya kalian harus membiasakan diri melakukan hal nekat seperti ini."

"Oke, kami mengerti, Kak Barqi," jawab Yura. "Ayo, Kak Eriza!"

Yura menarik tangan Eriza. Ia membuka pintu di kiri mereka. Sementara, Barqi membuka pintu yang berada di kanan mereka.

Barqi menoleh kepada Eriza dan Yura, "Semoga beruntung… Yura-san."

"Kau juga… Barqi-san." balas Yura sambil tersenyum.

***

"AYO! KERJA! KERJA! JANGAN MALES!" seru seorang preman.

Semua warga sudah bekerja dengan sekuat tenaga mereka. Keringat dengan deras bercucuran di tubuh mereka. Meskipun tangan mereka masih bekerja dengan telaten, lama kelamaan tempo kerja mereka menurun juga. Yang mengisi botol dengan cairan bekerja sambil terbatuk-batuk. Yang sedang memasukan botol ke dalam kardus mulai terhuyung-huyung. Dan yang mengatur mesin bekerja sambil menguap-nguap. Raja adalah salah satu pekerja di pabrik itu. Ia mendapat bagian mengangkut kardus ke dalam mobil.

"UHUK! UHUK!" seorang perempuan yang sedang mengisi botol terbatuk sambil menutup mulutnya. Ketika ia melihat tangannya, darah bercucuran. Ia batuk lagi tiga kali, sampai-sampai terduduk di lantai.

Melihat hal ini, seorang preman menghampirinya. Dengan cambuk di tangannya, ia bersiap-siap untuk menyabet perempuan itu. Tapi, Raja langsung datang dan menghalangi preman itu.

"Mau ngapain lo?" seru Raja.

"Udah, lo balik kerja aja sana! Nggak usah ikut campur!" bentak preman itu.

"Nggak! Lo pikir lo bisa berbuat seenaknya terus? Nggak! Nggak kali ini," kata Raja melawan preman itu.

"Ah, BERISIK LU!" teriak preman itu.

Dia mengangkat cambuknya, berusaha untuk memukul Raja. Tapi, sebelum dia dapat menyerang, sebuah bola kecil menggelinding melewati kakinya. Bola itu mengeluarkan asap yang banyak. Sehingga menghalangi penglihatan semua orang di sekitar.

"Tikaman para pendosa, hujatan para massa, dan kezaliman para penguasa, Mantra Serang nomor 3, SOPIO!"

Preman tadi merasa tersengat. Ia pingsan dan jatuh terkapar di tanah.

"Tiupan pembersih kotoran, atas tangan yang melakukan pembunuhan, Mantra Pengikat nomor 7, Proflo!"

Semua asap yang tadi menyelimuti, menghilang tertiup angin. Dua orang perempuan menghampiri Raja. Mereka melangkahi tubuh preman yang pingsan tadi.

"Huh, ternyata bom asap yang diberikan Kapten tebal juga. Untung aku nggak salah tembak."

"Untungnya, ya, Kak Eriza."

"Ka-kalian…" kata Raja terkejut.

"Tenang saja, Kak Raja, anda sudah diselamatkan oleh kami! Lagi!" kata Eriza dengan riang.

"Sepertinya aku berhutang banyak kepada kalian," ucap Raja.

"Ah, itu bukan apa-apa. Lagipu-"

"Kak Eriza! Siap-siap! Mereka masih ada lagi," potong Yura. Dia mengeluarkan tongkat khakkara-nya.

Beberapa preman datang menghampiri mereka. Raja menarik perempuan yang sakit tadi. Mereka berlindung di balik Eriza dan Yura.

Eriza merasa gugup, "Haaahhh, aku nggak tahu nama-nama mereka lagi. Oke, kucoba saja. Yang dicari adalah tujuh, Lucky Seven SHOT!"

Peluru energi meluncur dari jari Eriza. Ia memecah menjadi tiga bagian, menghantam tiga preman tumbang. Sisanya yang masih bertahan tercengang. Langkah mereka jadi melambat mendekati Eriza dan Yura.

"Segitu doang, Kak Eriza?" tanya Yura dengan ekspresi kecewa.

"HEI! Aku sudah berusaha tahu! Memang begini sistem 'Eriza Formula!'" seru Eriza.

"Oke, oke, kalau begitu biar aku yang mencoba sekarang," kata Yura.

Yura menghentakkan tongkatnya ke tanah tiga kali. Bunyi gemerincing mengikuti setiap kali tongkat itu dihentak. Yura menghentakkan tongkatnya sekali lagi dengan kuat.

"Raungan raja malam, rasukilah musuhku dengan rasa hampa. Matahari tenggelam, tunjukkanlah sosok ia yang terhina, Teknik Ilusi Kannonji, GINROU!"

Kabut memancar dari sekitar Yura. Dari belakangnya sosok besar muncul. Sosok itu adalah serigala putih besar. Serigala itu memandang para preman itu dengan mengancam. Taring-taring tajamnya seakan siap untuk menerkam mereka semua. Preman-preman itu bergetar sangat hebat. Bahkan, mungkin beberapa di antara mereka sedang terkencing di celananya sekarang. Untuk menambah ketakutan lagi, serigala itu melolong dengan keras. Para preman itu menutup telinga mereka, tapi sia-sia, ketakutan sudah menjalar dalam tubuh mereka. Mereka semua akhirnya pingsan.

Serigala putih itu kemudian menghilang menjadi asap. Kabut yang menyelimuti juga perlahan terangkat. Semua pekerja bernafas lega, begitu melihat para preman sudah tumbang. Salah seorang pekerja bertepuk tangan. Yang lain juga mengikuti. Seluruh ruangan itu pun dipenuhi dengan tepukan tangan dari para pekerja. Yura membungkuk hormat kepada semua orang.

"Terima kasih, terima kasih," ucap Yura.

"Yura! Kalau kamu punya kekuatan seperti, kenapa nggak dikeluarkan dari tadi?!" tanya Eriza kesal.

"Lho, Kak Eriza nggak minta dari tadi. Lagian, aku juga nggak mau mencuri panggungnya Kak Eriza," jawab Yura dengan riang.

"Ya, ya," kata Eriza sambil menghela nafasnya. "Kak Raja, kurasa sebaiknya kau membawa semuanya keluar dari pabrik ini. Sebelum bala bantuan mereka datang."

"Oke," kata Raja sambil mengangguk. "Baik, semuanya! Mari kita tinggalkan neraka dunia ini!"

"YA!" jawab semuanya serempak.

Para pekerja pun berjalan menuju pintu keluar secara serempak. Satu per satu orang mulai meninggalkan pabrik. Kecuali Raja. Ia masih terdiam di depan pintu. Eriza dan Yura berpandangan satu sama lain.

"Kak Raja, kau tidak pergi?" tanya Yura.

Raja menggeleng, "Tidak, aku harus mencari Kakakku."

"HAH?! Kak Raja, berani dan nekat ada batasnya, tahu!" bentak Eriza. "Kalau kau mau mencari kakakmu, sementara ia entah dimana dan siapa yang menjaganya, itu sih nekat! Kan kau sendiri yang bilang kalau Beni dan keempat anak buahnya yang kuat itu berbahaya."

"Kak Eriza…" kata Yura sambil berusaha untuk menenangkan Eriza.

"Aku tahu. Tapi, ini adalah tanggung jawabku. Maaf…" kata Raja sambil berlari ke pintu lain.

"Huh! Terserahlah, pokoknya aku nggak mau nyelamatin lagi," gumam Eriza.

"Memangnya lu bisa lari begitu saja, setelah menyebabkan kekacauan?!" teriak sebuah suara. Suara perempuan.

Tiga pisau meluncur ke arah Raja. Dengan sigap Eriza langsung berlari ke arah Raja.

"Mantra Pengikat nomor 1, Parma!" seru Eriza.

Sebuah penghalang tak kasatmata menghalau pisau itu. Walaupun, pisau itu seperti agak tertancap pada penghalang itu.

"Kok Kapten bisa pake Mantra tanpa Premise tetap kuat, sementara aku nggak?!" gumam Eriza kesal. "Terus bisa keluar lingkaran energi, lagi! Kak Raja, cepat lari!"

Raja mengangguk, "Oke. Terima kasih." Raja berlari kembali.

Seorang perempuan mendarat turun. Tatapannya menunjukkan kekesalan. Ia menatap Eriza dan Yura dengan penuh kebencian.

"KALIAN! Kalian Insaneis, kan?!" teriak perempuan itu.

"Dan kau pasti Karla," jawab Eriza. "Apa kami harus memanggilmu Tante?"

"DIAM! Umur gue masih 24 tahun, tahu!" seru Karla kesal. "Kalian sudah menciptakan kekacauan, sekarang kalian harus merasakan akibatnya!"

Karla mengeluarkan suntikan Euphoroid. Ia menyuntikkannya di pembuluh nadinya. Karla pun mendesah dan mengerang dengan hebat seraya kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya. Matanya pun berubah warna seperti yang sudah-sudah.

"Siap-siap, Yura!" seru Eriza.

Yura mengangguk, "Ya!"

***

Barqi berjalan di sebuah ruangan yang dihiasi banyak selang, pipa, dan tabung di sekelilingnya. Ia tercengang melihat seisi ruangan itu.

"Kagum dengan apa yang kau lihat?" tanya seseorang.

Barqi menarik pedang dari pinggangnya. Ia mengarahkan pedangnya ke sumber suara.

"Wow, wow, santai dulu, oke? Aku tidak suka kekerasan," katanya. Ia pun menampakkan dirinya. Pria itu bermabut gondrong dan berjas lab.

"Siapa kau?" tanya Barqi dengan siaga.

"Aku? Apakah itu penting? Baiklah, namaku Argus. Dan aku adalah orang terpintar di ruangan ini," jawab pria itu.

"Apakah kau pesuruhnya Beni juga?" tanya Barqi lagi.

"Pesuruh?" Argus tertawa kecil. "Mungkin lebih tepat kalau disebut 'mitra'."

"Kenapa kau bekerja untuk Beni?"

"Aku bekerja untuk keuntungan, nak," jawab Argus sinis. "Justru aku yang seharusnya bertanya padamu. Kenapa kau bekerja untuk seorang pembunuh?"

"Aku tidak mengerti maksudmu," jawab Barqi kebingungan.

"Kau tahu nama 'Lionheart'?"

"Tidak, memangnya kenapa?"

Argus tertawa kecil, "Lionheart adalah nama julukan seorang pembunuh massal. Dan si Lionheart itu adalah pemimpinmu."

"Hah?"

To be continued…

Next chapter: Not what he seems

Terima kasih untuk semua yang telah membaca! Jangan lupa untuk vote dan berikan review kalau kamu suka agar novel ini bisa lebih baik lagi kedepannya! Follow IG kami di: @rose.mary_official untuk mendapat update-update atau konten-konten tentang novel ini.

Faris_Ranadicreators' thoughts