9 Tunangan?

Tiga hari kemudian, Bella masih belum sadar juga dari tidurnya. Selama tiga hari itu juga Tristan tetap ada di sisi Bella, menemani gadis itu, menjawab banyak pertanyaan dari relasinya yang datang menjenguk. Gadis itu masih bernafas setidaknya. Awalnya Tristan mengira Bella mengalami koma, namun dokter hanya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil MRI, kemungkinan besar syok berat pascakecelakaan membuatnya seperti ini.

Hari sudah siang, Tristan baru saja kembali dari membeli makan siang di kafetaria rumah sakit. Ia tidak berniat pergi lama-lama karena tidak ada yang menunggui Bella nantinya. Keluarganya tidak tampak muncul sedari kemarin, membuat Tristan semakin kasihan untuk meninggalkan gadis itu. Apa Bella ini hidup sebatang kara? Pikirnya.

Tristan duduk di kursi samping Bella seperti biasa, memperhatikan gadis itu sebentar lalu membuka satu set makan siang yang Ia beli. Namun belum sempat Ia menyendokkannya barang sesuap, ponselnya sudah berbunyi.

Letnan Jevan is calling ...

Mau tak mau Tristan harus mengangkat panggilan dari rekan kerja.

"Halo, siang Letnan, ada apa?" tanya Tristan menggunakan bahasa profesionalnya. Ini masih siang dan hari kerja, meskipun Tristan sedang cuti.

"Siang Kapten. Apa masih ada di Banten? Kepala minta untuk segera kembali ke Jakarta karena ada hal penting yang ingin disampaikan," ujarnya.

"Soal apa ya? Apa gak bisa via telepon saja disampaikan?"

"Katanya tidak bisa, Kapten. Saya juga kurang tahu kenapa. Kapan Kapten bisa kembali? Bagaimana juga kondisi Bella?"

Tristan tampak berpikir, sembari mengamati lekat-lekat Bella didepannya, "Saya usahakan besok di Jakarta. Kondisi Bella masih sama, dia belum sadar juga."

"Astaga. Apa perlu petugas dari sini menggantikan Kapten menjaga Bella? Bagaimanapun menjaga korban kecelakaan pesawat itu tanggung jawab kita juga."

Tristan mengangguk, "Sepertinya gak perlu Letnan, kebetulan kakak perempuan Saya sedang tugas di Banten, Saya akan minta tolong beliau untuk jaga Bella sementara Saya gak ada."

"Oh baik kalau begitu, Kapten. Ditunggu kedatangannnya besok di Markas. Akan Saya sampaikan ke kepala."

"Baik, terimakasih Letnan."

Sambungan telepon kemudian terputus, ganti Tristan mencari nomor telepon kakaknya. Gia memang sudah bilang akan menemani Tristan siang ini, tapi entah kemana Ia belum muncul juga.

Calling Kak Gia ...

"Halo Dek?" sapa Gia.

"Halo Mbak, udah dimana? Jadi ke rumah sakit?" tanya Tristan sembari menyuapkan makanannya kali ini. Oh, Ia harus cepat karena harus kembali ke Jakarta setelah kakaknya datang.

"Jadi kok, ini sudah di halaman parkir. Kamu mau dibawain apa?"

"Gak usah Mbak, Aku harus ke Jakarta hari ini, mendadak dipanggil atasan. Aku titip Bella paling ya," ujarnya.

"Oalah, yaudah. Dia biar Aku yang jagain. Bentar ya, Mbak sampe."

"Oke, Mbak."

Gia memutus sambungan teleponnya. Tristan melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda beberapa menit itu. Merasa bosan, Ia akhirnya menyalakan televisi ruang rawat inap VIP itu. Ya, karena sering berisik, Tristan memindahkan Bella ke VIP, hingga Ia sendirian yang mengisi ruangan itu.

SSKK!

TANG!

Tristan menoleh cepat, mencari sumber suara itu dari mana. Detik berikutnya, Ia sadar itu tangan Bella yang bergerak. Oksimeter di telunjuknya baru saja membentur pembatas besi ranjang. Jarinya itu bahkan masih bergerak.

Tristan menaruh makanannya di meja, ganti berdiri, mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Bella, memeriksa apakah gadis itu sedang berusaha untuk sadar atau tidak.

"Bella ... Kamu dengar Saya ..." panggil Tristan.

Bella kembali tidak bergerak, Tristan memeriksa nafasnya, gadis itu bernafas tidak teratur. Ditengah kepanikannya, Gia datang.

"Kamu ngapain Dek?" tanya Gia, heran melihat ekspresi bingung adiknya.

"Tangannya gerak tadi, Mbak."

"Oalah, panggil dokter cepet!" titah Gia, kini mendekat dan ikut heboh.

"Udah Aku pencet bel nya barusan," ujar Tristan.

"Kelamaan, susulin sana ke administrasi!"

Tristan menurut pada kakaknya, langsung Ia menuju meja resepsionis yang diisi beberapa perawat, meminta satu orang dokter untuk memeriksa kondisi Bella. Mereka bergerak cepat, dokter segera datang bersama satu orang perawat.

"Tangannya bergerak dok, sepertinya cukup keras juga karena oksimeternya membentur tralis tempat tidur. Nafasnya juga tidak teratur, sampai sekarang," jelas Tristan sementara dokter memeriksa tanda-tanda vital Bella.

Dokter kemudian menaruh LED penlight nya, ganti mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Bella persis, "Pasien Bella ..."

"Gerakan tangan Anda jika Anda mendengar suara Saya," ujar sang dokter.

Beberapa detik menunggu, satu jari di tangan kanannya mengangkat. Bella mendengar suara sang dokter. Semua orang di ruangan itu menghela nafas lega. Khusus Tristan, jantungnya berdebar kini.

"Pasien Bella, buka perlahan mata Anda," ujarnya.

Kali ini butuh beberapa menit menunggu sampai akhirnya mata Bella terbuka sedikit. Gadis itu kini sudah sadar. Tristan segera maju, melewati Gia yang automatis mundur, membiarkan adiknya memeriksa kondisi gadis yang Ia tunggui empat hari terakhir.

"Alhamdulillah, saudari Bella sudah sadar," ujar perawat.

Semua orang tampak tersenyum, kecuali Bella sendiri. Gadis itu kini sudah membuka matanya normal, meskipun terlihat masih cekung. Bella tampak masih bingung, seolah belum sepenuhnya sadar soal keberadaannya sendiri.

"Saudari Bella," panggil dokter.

Bella menoleh lemah ke arah dokter itu, "Do ... dokter Hari ..." ujarnya lemah.

Dokter itu mendadak terdiam, juga semua orang. Pasalnya, bagaimana Bella bisa tahu nama dokter itu sementara ini kali pertama mereka bertemu?

Dokter itu akhirnya mengangguk, "Ya, Saya dokter Hari, dokter yang menangani Anda setelah kecelakaan pesawat empat hari lalu. Apa ada keluhan yang Anda rasakan?"

Bella memejamkan matanya, "Kepala Saya dok ... sangat sakit," keluhnya.

Dokter mengangguk, "Itu karena Anda mengalami benturan hebat di kepala malam itu. Benar begitu, Kapten Tristan?"

Tristan mengangguk, "Betul," jawabnya singkat.

Dokter kembali memasukan stetoskopnya ke saku, "Kami akan melakukan MRI satu kali lagi untuk memastikan kondisi Anda. Mohon ditunggu, perawat juga akan memberikan beberapa pereda sakit dan pengobatan yang Anda butuhkan. Saya pamit dulu," ujarnya ramah.

Tristan dan Gia mengangguk, "Terimakasih dokter."

Hening kemudian, Bella yang menatap kosong ke depan, serta Tristan dan Gia yang silih tatap, silih menyuruh untuk membuka topik obrolan.

"Mas Tristan, Mbak Gia?"

Kedua orang yang dipanggil Bella itu menoleh cepat. Kembali mereka terkejut, karena bagaimana Bella bisa tahu nama Gia? Mereka baru pertama kali juga bertemu.

"Ka ... Kamu tahu siapa Saya?" tanya Gia akhirnya.

Bella tampak kembali bingung, "Mbak kan Kakaknya Mas Tristan? Masa Aku gak tau?"

Tristan dan Gia mengerutkan dahinya, "Bella, masalahnya Kamu sama Kakak Saya baru kali ini bertemu," jelas Tristan.

"Hah? Kita ud ..." ucapan Bella terpotong begitu melihat jari-jari Tristan. Kenapa cincin berlian itu tidak ada di jarinya? Padahal Tristan sudah janji tidak akan pernah melepasnya, pikir Bella.

"Mas kenapa Kamu gak pakai cincinnya?"

Tristan dan Gia semakin bingung, mereka silih pandang, benar benar bingung dengan gadis di hadapan mereka sekarang.

Tristan lantas menghela nafas, mencoba menenangkan Bella yang ekspresinya berubah tidak enak, "Bella ... apa yang Kamu pikirkan sekarang? Coba dijelaskan, Saya dan Mbak Gia bingung," ujarnya lembut, sembari duduk dikursinya tadi. Gia hanya memperhatikan adiknya itu.

Bella menatap Tristan lekat-lekat, pandangan mata itu beradu, membuat Bella tiba-tiba merasakan hal yang janggal. Mata itu bukan Tristan yang Ia kenal dalam ingatannya.

"Apa Kamu benar-benar ... Tristan Emilio Fariq? Tunangan Saya?"

avataravatar
Next chapter