8 Kekhawatiran Mahasiswa

Hari Senin tiba, kesibukan seperti biasa terlihat di suatu kampus internasional di Jakarta. Mahasiswa, dosen, hingga tenaga pendidik mulai berdatangan seiring waktu perkuliahan yang akan dimulai. Namun tampaknya ada yang berbeda kali ini. Beberapa mahasiswa tampak bergerombol, melihat ponsel mereka masing-masing, menyimak berita yang tengah hangat dilaporkan oleh hampir seluruh media besar Indonesia, bahkan dunia.

"Pesawat Garuda Airlines tujuan Batam-Jakarta mengalami kecelakaan tadi malam, sekitar pukul tujuh waktu Indonesia bagian barat. Pesawat diketahui terbang di cuaca buruk dan mengalami turbulensi hebat hingga mengakibatkan salah satu mesin terbakar di udara …"

"Pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat di laut Jawa, dekat Banten. Pendaratan berhasil, namun delapan belas orang penumpang dinyatakan tewas akibat kejadian tersebut …"

Satu berita diputarkan melalui proyektor dan audio satu ruang kelas yang belum dihadiri dosen. Ketua kelas disana berinisiatif menonton bersama kabar terbaru itu. Bukan tanpa alasan, dosen yang seharusnya setengah jam lagi datang mengajar ke kelas mereka ada di dalam pesawat itu.

Ekspresi dua puluhan mahasiswa di kelas itu penuh simpati, ketika nama Arabella El-Gauri dan Sierra Wijayanto muncul dalam daftar manifest penumpang. Namun banyak-banyak mereka bersyukur bahwa dosen dan asisten dosen kenamaan departemen mereka itu selamat.

"Evakuasi selesai dilakukan sekitar pukul tiga dini hari. Tim SAR, TNI, dan juga awak pesawat bekerja maksimal memobilisasi korban sejak dari dalam pesawat hingga ke rumah sakit. Pilot mengaku berterimakasih karena pendaratan darurat ini juga dibantu oleh dua anggota kepolisian dan satu anggota kopasus yang turut menjadi penumpang …"

"Ya Tuhan, Bu Bella …" ujar mahasiswi bernama Lilian.

Suasana menjadi gaduh sekarang, mereka tentu khawatir akan kondisi Bella dan Sierra yang belum diketahui ada di rumah sakit mana.

"Nafis, udah ada info belum dari grup dosen gitu Bu Bella sama Kak Sierra dirawat dimana?" tanya Niko pada Nafis, si ketua kelas yang duduk di kursi dosen.

Nafis mengangguk, "Udah, Bu Bella ada di RS Siloam Banten. Perwakilan fakultas katanya mau kesana hari ini. Bareng HIMA sama BEM juga kayaknya," jelasnya.

"Dua duanya di RS Fis?"

"Enggak. Bu Bella aja. Kak Sierra udah dibawa ke Jakarta sama keluarganya karena katanya dia gak luka fisik," jawab Nafis.

Karena tidak ada dosen yang menggantikan Bella, kelas untuk mata kuliah Kriminologi Postmodern dan Budaya Dasar itu dibubarkan oleh Nafis. Satu per satu mahasiswa itu keluar, namun tidak dengan Nafis. Ia masih berkutat dengan ponselnya, membaca berita lain soal kecelakaan pesawat yang membuat dosennya itu menjadi korban.

Nafis lantas berganti layar, Ia berselancar di mesin pencarian, mencari kontak RS Siloam Banten. Setelah ketemu, segera Ia menghubunginya.

"Halo, dengan administrasi RS Siloam Banten. Apa betul?"

"Ya betul. Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang wanita ramah di seberang sana.

"Saya ingin bertanya, pasien kecelakaan pesawat atas nama Arabella El-Gauri. Bagaimana kondisinya? Apakah ada yang menjadi walinya?" tanya Nafis.

"Ah ya. Pasien atas nama Arabella sudah ditangani dengan baik tadi malam, dia mengalami luka serius di bagian kepala. Saat ini Ia belum sadarkan diri, dan kemungkinan hari ini juga akan dilakukan MRI scan untuk mengetahui lebih lanjut kondisinya pasca kecelakaan …" jelas wanita itu, sepertinya Ia adalah perawat.

Nafis mengangguk ngangguk paham.

"Satu orang dari kepolisian menjaganya dari kemarin, juga bertindak sebagai walinya karena kami tidak menemukan data soal keluarga dari pasien Bella."

"Baik, terimakasih banyak atas informasinya." Tutup Nafis mengakhiri sambungan telepon itu.

****

Pagi itu di rumah sakit, jam tujuh pagi Tristan masih tertidur di kasur penunggu pasien. Ya, semalam Ia mengantuk dan memutuskan untuk tidur di kasur yang cukup keras itu. Tristan kemudian tersadar ketika mendengar sayup-sayup orang berbicara, tapi itu bukan Bella. Rupanya keluarga pasien di sebelah Bella yang sudah berisik sepagi ini.

Tristan berdecak sebal, lalu melirik Bella yang masih tertidur. Wajahnya jauh lebih tenang dibanding semalam. Namun tetap saja, kulit wajah gadis itu masih pucat pasi.

Tiba-tiba ponsel Tristan bergetar tanda panggilan masuk. Ia heran, ponselnya itu rupanya bisa diajak kerjasama dengan baik di situasi darurat; tidak jatuh, tidak kehabisan baterai selama berjam-jam.

Mbak Gia is calling …

Tristan mendudukan diri di pinggir kasur, sedikit menjauh dari Bella takut gadis itu terganggu, "Halo Mbak?" sapanya.

"Heh! Kemana aja sih Kamu itu Tristaaaaaannnn! Aku tuh takut Kamu mati tau gak!" bentak kakak perempuan Tristan dengan brutalnya. Tristan sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Nyebut Gi, adekmu masih hidup." Terdengar sayup-sayup mamanya menenangkan Gia.

Tristan menghela nafas dalam, "Maaf Mbak, Ma, tadi malam kan Tristan bantu evakuasi pesawatnya. Ini baik-baik aja kok," ujarnya.

"Ya Allah Nak, Alhamdulillah. Sekarang kamu dimana ini?" tanya Mamanya.

"DI RS Siloam Banten Ma …"

"Kenapa kamu?! Ada yang luka?" potong Gia cepat, teriak khawatir.

Tristan kembali menghela nafas atas kebarbaran kakaknya itu, "Enggak Mbak, Aku sehat-sehat aja. Ini Aku lagi jagain satu korban luka, dia gak ada walinya," jelasnya.

"Oalah yowes. Hati-hati ya kamu. Sampe kapan disana? Biar ta jemput. Kerjaanmu gimana? Udah izin?" tanya Gia beruntun bak kereta api. Cerewet sekali memang kakak perempuan Tristan yang satu ini.

"Aman kerjaan. Udah izin."

"Benerak Mbak? Kamu mau jemput? Mobilku ta taro di Soetta sih. Bisa sekalian dibawain aja gak kesini?"

"Yeu asem. Dikasih hati minta jantung, kerja dua kali dong," protes Gia, membuat Tristan hanya tertawa geli.

"Yaudah lah nanti ta jalan pake MRT ke bandara, terus bawa mobilmu. Tunggu yo," ujar Gia.

"Oke sip Mbak. Makasih lho," ujar Tristan.

avataravatar
Next chapter