1 Prolog: The Dream

Aku hidup dalam fantasi

Membebaskan ku dalam aksi

Membiarkan ku tersenyum walau mimpi

Aku hidup dalam fantasi

Bak' tertidur seperti mati

Bak' sisi balik dari sebuah belati

Nagara Hase, RAVEN - 041220

° ° °

Sepasang sahabat karib itu tengah berada di atap gedung terbuka milik sekolah mereka. Keduanya tengah menikmati semilir angin yang menerpa tubuh mereka, membiarkan beberapa anak rambut dan seragam yang mereka kenakan bergerak tertiup angin itu.

Ini merupakan hari-hari terakhir mereka bersekolah di sekolah menengah atas dan ini adalah jam terakhir untuk hari ini. Mereka sengaja membolos, toh guru sudah tak peduli. Nilai ujian sudah keluar, tinggal menunggu upacara kelulusan lalu semuanya berakhir.

Kehidupan orang dewasa... Kami datang, pikir Jenathan tersenyum sambil menunduk menatap sepatunya.

Pemuda itu membalik tubuhnya, memunggungi sang sahabat. Ia menghela napas dan memilih duduk bersila bersandar pada dinding pembatas yang tak terlalu tinggi yang kini tengah diduduki oleh pemuda lain bersurai coklat.

"Awas jatuh. Aku tak akan menolongmu." Peringat Jenathan, sedang orang yang ia peringati tak merespon ucapannya.

Sahabat dari seorang Jenathan Hrafn itu tersenyum cerah seolah tak mau kalah dari sang mentari yang ada di langit. Gigi putih kelincinya terekspos, wajah manisnya enggan untuk sirna. Berbanding terbalik dengan Jenathan yang nampak seperti hanya tahu sikap dingin dalam kamus hidupnya.

CTAK!  Bunyi kaleng soda yang dibuka.

Jenathan meneguk benda cair itu dengan rakusnya. Haus sungguh melanda dirinya yang dirasa memang sejak tadi belum meminum air setetes pun  hingga ia yakin kini kerongkongannya mengering.

Pemuda manis itu berbalik. "Kapan kau membeli soda itu? Kenapa tidak bilang padaku?"

"Kau mau?" tawarnya.

Sahabatnya itu mengangguk.

Tersenyum miring, Jenathan mendongak menatap pemuda itu. "Tapi yang ku beli rasa strawberry."

Sahabatnya mendengus sebal. Pikirnya Jenathan pasti sengaja agar ia tak memintanya. Ia kembali menatap pemandangan yang sejenak ia tinggalkan demi mendapatkan sekaleng soda dengan rasa yang amat ia benci dari apapun di dunia.

Jenathan terkekeh. Ia merogoh tas miliknya, lantas bangkit dan berpindah duduk menjadi di samping sahabatnya. Ia memberikan sekaleng kopi yang ada pada genggamannya.

"Aku tidak meminum kopi, Jen..." ia merengek.

Jenathan menatap sinis pada pemuda itu. "Jangan bohong. Kau akhir-akhir ini selalu meminum kopi di cafe saat pagi hari, bukan? Itu sebabnya aku tak pernah berangkat bersamamu lagi."

Sahabatnya terdiam mengerjap menatap wajah Jenathan. Tangannya yang sudah memegang kopi dari Jenathan tanpa sadar membuka penutupnya yang menimbulkan bunyi yang sama seperti milik Jenathan tadi. Yah, ia akui ia memang bodoh berbohong seperti itu, terlebih kafe itu berada di dekat sekolah mereka. Pemuda itu tak heran mengapa Jenathan bisa memergokinya.

Keduanya mendesah setelah meneguk minuman masing-masing. Rasa segar begitu nikmat dirasakan.

Mereka kini menatap ke arah langit yang sama. Merasakan terpaan angin yang jauh lebih kuat dan sensasi tengang bila tak sengaja terjatuh ke bawah tepat di depan pintu masuk gedung. Senangnya mereka dapat menikmati indahnya hari ini entah mengapa. Seperti ini adalah waktu paling berharga yang mereka miliki.

Jenathan beralih menunduk ke bawah. Ia merenungkan sesuatu, tapi entah apa. Rasa janggal menyelimuti diri dan pikirannya. Tapi, apa itu? Jenath terus berpikir.

"Jen," panggilan dari seseorang disampingnya itu berhasil memecahkan lamunannya.

Jenathan menoleh. Entah mengapa ia malah tiba-tiba tersenyum. Mata itu menatap sang sahabat yang nampak terlihat sedikit memelas. Jenathan khawatir. Tanda tanya dalam dirinya semakin banyak. Rasa itu kemudian berubah menjadi rasa tak nyaman bercampur ketakutan.

Kaleng soda terjatuh dari ketinggian, menciptakan bunyi nyaring yang entah mengapa memekakkan di telinga. Bunyi seperti alunan lonceng kematian.

Seketika dahi Jenathan mengkerut saat ia mendapati seekor burung gagak yang hinggap di salah satu bahu pemuda manis itu. Satu persatu mereka datang, menggerombol, dan mengerubung sahabatnya yang hanya dia tak bergeming.

Jenathan terpaku. Ia ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa ia gerakan. Matanya terus terpaku pada satu objek di depannya—sahabat baiknya yang digerumuli banyak gagak, seolah ia adalah bangkai santapan yang dinanti-nanti. Pemandangan mengerikan itu tersaji indah seolah meminta untuk direkam dan ditanam permanen di dalam otaknya.

Tiba-tiba bibir manis itu bergerak dengan bergetar menggumamkan suatu kata yang tak terlalu jelas namun anehnya Jenathan tahu apa kata itu. Kata yang setiap malam ia dengar, kata yang menjadi mimpi buruknya, kata yang menjadi kutukan dalam hidupnya.

"A good crow won't force a bunny."

Beberapa detik setelahnya, pemuda manis itu menjatuhkan diri dari gedung itu diikuti oleh gerombolan gagak yang terbang mengikuti arah jatuhnya.

BRUK!

Suara hantaman itu terdengar jelas. Dari ekor mata, dapat Jenathan lihat tubuh itu menatap pada tanah bersimpuh dengan warna merah darah menggenang di sekitarnya. Gagak-gagak itu kembali mengerubunginya, memakan setiap daging di tubuh itu walau belum menjadi bangkai.

Bulu kuduk Jenathan berdiri. Sungguh ia ingin lari ke sana, ia ingin marah dan menangis. Tapi ada satu hal yang membuatnya urung. Sahabatnya itu tersenyum manis seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa padanya.

.

.

To be continued...

avataravatar