webnovel

Hujan Di Sore Hari

Hujan sangat deras mengguyur Kota sore hari itu. Terlihat beberapa siswa SMA keluar dari gerbang sekolah berlarian mencari tempat untuk berteduh. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Mungkin itu adalah siswa kelas 3 yang baru saja selesai les. Karena memang bulan ini menjelang ujian untuk siswa SMA angkatan kelas 3.

Terlihat 3 siswi berlarian menuju halte di dekat sekolah itu. Tiga gadis itu bernama Bunga Puspa Dewi (18), Lidia Christina Novi (19) dan Meitha Septiani (18). Bunga dan Meitha bersahabat sejak mereka tinggal di Pesantren. Sedangkan dengan Lidia, mereka mengenal dan bersahabat sejak kelas 1 SMP.

Bunga dan Meitha berbeda agama dengan Lidia. Namun, mereka tetap bersahabat meskipun berbeda keyakinan. Mereka saling mengingatkan satu sama lain ketika salah satu dari mereka melalaikan ibadahnya.

"Aduh gimana, nih? Hujan gini, pasti busnya lama!" kesal Lidia. "Hah, mana riasan wajahku juga sudah tidak bagus lagi pula!" sambungnya terus mengeluh. 

"Sabar saja lah, Li. Pasti nanti juga lewat busnya, terlambat sedikit karena hujan. Logis, 'kan?" Sahut Meitha. 

Sementara itu, Bunga malah sibuk sendiri. Bunga bukan sosok pendiam, namun ia lebih suka diam ketika hujan dan menyibukkan diri dengan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an menggunakan ipodnya.

"Bunga, Bunga!" Panggil Meitha. 

"Dih, nggak denger dia?" gumamnya. 

"Tepuk saja pundaknya, sudah amat!" ketus Lidia. 

Meitha menepuk pundak Bunga, dengan memanggilnya  dengan sedikit keras. "BUNGA!" teriaknya. 

"Astagfirullah hal'adzim, Mei. Jangan ngagetin gitu dong!" Jawab Bunga terkejut.

"Habisnya kamu nggak dengar, sih! Aku panggil kami beberapa kali, makanya nih kuping jangan disumpel mulu pakai handset. Ayo mau pulang, nggak? Itu bus terakhir kita!" Meitha memang selalu tegas.

Tiga gadis itu berlari mengejar bus yang baru saja berhenti di depan halte, tempat mereka menunggu. Beruntung saja, jilbab yang Bunga kenakan,  menutupi dadanya. Meski baju seragam, dadanya masih tertutup oleh jilbab basahnya itu.

Bus sore itu sangat lah senggang. Tidak seperti ketika tengah hari, atau jam 3 sore. Di jam seperti itu, pasti banyak anak sekolah dan karyawan pabrik yang bersamaan pulangnya dan akan memadati isi bus. Sore itu, tidak banyak penumpang yang ada di dalam.  Hanya saja, di kursi belakang ada yang sangat mengganggu pemandangan Bunga.

Nampak dua anak laki-laki seperti seorang berandalan yang hendak menggoda tiga gadis itu. Ketika Bunga, Lidia dan Meita duduk, Bunga malah tidak kebagian kursi di sisi mereka. Lalu,  mereka (berandalan) mulai meluncurkan aksinya. Laki-laki itu ingin menyentuh tangan Bunga yang saat itu ia letakkan di jok. Sebelum Bunga menepisnya, malah sudah tangannya yang menepis tangan laki-laki berandalan itu.

Seorang laki-laki yang menepisnya tadi, memiliki wajah yang lumayan tampan. Akan tetapi, memiliki penampilannya tidak sesuai dengan ketampanannya. Sedikit berantakan, dan membuat Bunga merasa semakin tidak nyaman.

"Woy, bisa aja! Apa-apaan lu nepis tangan gue?" ketus salah satu dari berandalan tersebut. 

"Lu nggak tau siapa gue, hah!" sambungnya dengan jari menunjuk-nunjuk wajah lelaki yang menolong Bunga. 

Lelaki itu hanya diam saja, kembali membuang muka dan enggan menanggapi berandalan yang mencoba mencari keributan dengannya. 

"Kurang ajar! Lu berani nggak hiraukan gue, hah!" Teriak berandalan itu lagi.

Lelaki berandalan itu hendak melakukan perkelahian bersama dengan lelaki yang menolong Bunga. Baru saja ingin memulai, dengan sigap, kernet bus mengeluarkan dua berandalan itu dari busnya. Bunga pun merasa lega karena mereka sudah pergi. Laki-laki yang menolong Bunga pun menawarkan tempat duduk kepadanya.

"Em … silahkan duduk. Kursi di sebelahku kosong," ucap lelaki itu dengan senyum ramah.

"Terima kasih, tapi …. " Bunga menunduk.

"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu. Aku mengerti gadis sepertimu ini bagaimana. Ayo, duduklah." lanjut lelaki baik itu dengan tutur bahasa yang santun.

Tak ada alasan untuk menolaknya lagi. Bunga pun duduk di sebelahnya dan kedua sahabatnya nampak lega, duduk kembali di kursi bus yang sebelumnya mereka tempati.

Selama perjalanan, Bunga terus memalingkan pandangannya dari laki-laki itu. Dia berusaha untuk tidak menatapnya. Masih merasa tidak nyaman karena seragam dan jilbabnya basah karena tersiram air hujan. 

"Kiri!" teriak Meitha, tiba dimana memang seharusnya mereka harus berhenti. 

"Terima kasih tadi anda sudah menolong saya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," ucap Bunga dengan lembut. 

Bunga terburu-buru berlari ke arah Meitha dan segera turun dari bus itu. Sementara Lidia, masih duduk sendiri, karena rumahnya masih lumayan jauh. Lidia pun duduk di kursi yang Bunga duduki sebelumnya karena merasa sendirian. Nampak laki-laki itu tak bisa melepaskan pandangannya kepada Bunga, meski bus sudah lewat dan Bunga masih sibuk merapikan diri di halte tempat ia turun. 

"Kamu terpesona, bukan?" tanya Lidia, menyadari bahwa lelaki tampan yang disampaikannya itu sedang menatap sahabatnya. 

"Kamu temannya?" lelaki itu kembali bertanya. 

"Bukan hanya teman saja kakak ganteng. Tapi aku adalah sahabatnya. Jika kakak ganteng menang sangat penasaran dengannya, aku bisa kok, memberi nomornya kepadamu," celetuk Lidia. 

Tidak ada niat jahat dari Lidia kepada Bunga. Tapi memang Lidia ingin sekali sahabatnya itu mengenal satu saja teman lelaki yang bukan dari sekolahnya ataupun pesantren tempat ia mencari ilmu agama. 

"Kamu yakin berikan nomor sahabat ini kepadaku?" tanya lelaki itu. 

Lidia mengangguk. 

"Kamu percaya begitu saja kepadaku? Bagaimana jika aku ini adalah orang jahat?" sambung lelaki itu. 

"Jahat atau tidaknya, kita akan tahu sebentar lagi jika sahabatku itu memperlakukan dirimu, oke? Bye bye kakak ganteng__" ucap Lidia, beranjak dari kursinya. "Kiri, pak!" teriaknya dengan senyuman licik. 

Laki-laki itu tersenyum telah mendapatkan nomor Bunga dengan mudah. Ia akan menghubunginya malam nanti jika rasa penasarannya tidak mulai tumbuh lagi. Ketika lelaki itu hendak beranjak, tak sengaja menyentuh ipod Bunga yang tertinggal di sana.

"Apa ini?" gumamnya. "Kiri, Pak!" 

"Tuhan memang selalu berpihak kepadaku. Aku akan ada kesempatan lagi bertemu dengan gadis itu." 

Lelaki itu menggenggam erat iPod milik Bunga. Dengan senyum menawannya, lelaki itu pun turun dan sampai di tempat tujuannya. 

***

Malam di Pesantren.

Setelah shalat isya, Bunga bergegas ke kamarnya. Malam ini dia merasa sedikit demam karena kehujanan sore tadi. Bunga memutuskan untuk tidur lebih awal dan tidak mengikuti diba'an. 

Kliing....

Notif pesan masuk berbunyi.

[Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, tuan putri ....]

Isi pesan tersebut membuat Bunga bertanya-tanya. Hanya ada nomor, tanpa nama tersimpan di kontaknya. Bunga pun membuka profil dari pengirim pesan itu. Betapa terkejutnya dia dengan apa yang dilihatnya. Profil itu adalah wajah lelaki yang telah menolongnya ketika di bus sore tadi.

[Apa ... kamu udah tidur?]  

Kembali, lelaki itu mengirim pesan. 

Tangan Bunga seketika gemetar. Bunga bertanya pada dirinya sendiri tentang lelaki yang bisa tahu jika itu adalah nomor miliknya dan tidak banyak orang yang tahu jika itu adalah nomor milik Bunga. 

Next chapter