22 Mata Di Kegelapan

Tasia mengangguk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia berjalan mondar mandir seperti setrika mengitari kamarnya.

'Apa benar? Jika tidak, bagaimana ia tahu tentang luka lebamku? Dan bagaimana caranya ia bisa membuat lebam ini terasa sakit?

Apa benar lebam ini adalah ulahnya? Atau ini semua hanya kebetulan? Jangan-jangan ia hanya kebetulan melihatnya saat aku pingsan atau ia mengintip saat aku ganti baju olahraga?! Setelah itu, ia menggunakan luka ini sebagai bahan untuk menerorku?'

Segala pertanyaan dan kemungkinan muncul di benak Tasia. Di lubuk hatinya, ia yakin bahwa Hadyan benar-benar adalah sosok di balik semua hal janggal yang selama ini ia alami. Namun, lagi-lagi otak Tasia terus membantah dengan logika.

'Oke Tasia, kau harus tenang. Sekarang, pikirkanlah baik-baik.

Jika benar lebam ini adalah ulah Hadyan, bukankah itu artinya aku sudah bertemu dengannya saat liburan kemarin? Karena jelas, lebam ini baru muncul sejak aku hilang di tengah laut, bahkan sebelum aku masuk sekolah ataupun ketika aku bertemu dengannya saat insiden ia terjatuh dari motor.

Sejak awal, ada yang aneh dengan Hadyan. Aku merasa ia selalu mengincarku. Kejadian saat aku menghilang dan kembali secara tidak wajar, apakah itu ada kaitannya dengan Hadyan?'

***

Hadyan kembali ke sekolah. Bu Lensy sudah menunggu di lobby dan segera memanggil ketika melihat sosok remaja tinggi itu muncul dari pintu lobby. Hadyan menghampiri, tersenyum, dan mengangguk ramah.

"Saya tidak tahu kalau rumah Tasia sejauh itu? Bagaimana penjelasanmu, Hadyan?" Tanyanya.

"Tadi nenek Tasia menanyakan beberapa hal, Bu. Jadi, kami mengobrol sebentar. Ia khawatir terhadap Tasia." Jelasnya.

"Neneknya?" Ulang ibu Lensy.

Hadyan mengangguk sedikit ragu. Apakah ia salah bicara?

"Satau saya, nenek Tasia mengalami sakit pikun. Apa kau tidak salah sudah mengobrol dengannya? Kau tidak mencoba membohongi Ibu, 'kan?" Bu Lensy menaruh tatapan curiganya pada Hadyan.

Hadyan terkejut di dalam hati, namun tetap berusaha tenang "Ah.. Haha.. Pantas saja pembicaraan kami tadi sedikit tidak nyambung. Ternyata karena itu. Saya tidak berbohong, Bu. Nenek Tasia terkejut karena ia pulang terlalu cepat, sehingga menanyakan beberapa hal pada saya."

Ibu Lensy akhirnya mengangguk. Lagipula Hadyan tidak terlambat terlalu lama. Penjelasannya juga masuk akal dan ia tidak tampak seperti sedang berbohong.

"Baiklah. Kau boleh masuk dan lanjutkan pelajaran, ya. Trimakasih sudah mau menolong Ibu dengan mengantar Tasia pulang ke rumahnya." Ucap wanita itu.

"Sama-sama, Bu." Balas Hadyan ramah sebelum pamit pergi menuju koridor untuk masuk ke kelas.

"Hadyan!"

Pria itu menoleh saat mendengar suara wanita meneriaki namanya.

"Bagaimana keadaan Tasia? Dia baik-baik saja kan?" Marya melangkah lebih dekat menghampiri Hadyan. Ia bahkan tidak dapat menahan pertanyaannya sebelum sampai di hadapan laki-laki itu.

Hadyan tersenyum tipis. "Anastasia baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."

"Ah.. Syukurlah! Aku sangat menghawatirkan Tasia. Apalagi tadi kau sampai harus mengantarnya pulang. Aku pikir keadaannya benar-benar parah. Ibu Lensy mengatakan Tasia hampir pingsan dan terlihat sangat lemas, bahkan terlihat susah untuk bicara. Ia tidak pernah sakit sampai separah itu." Tutur Marya.

"Marya, tenanglah. Tasia baik-baik saja. Ia sudah sampai di rumahnya dengan selamat dan sedang beristirahat sekarang." Sahut Hadyan.

Marya mengangguk meski masih tersirat sebuah raut kekhawatiran di wajahnya. Hadyan tersenyum lembut. "Tasia sangat beruntung memiliki seorang sahabat sepertimu,"

Mendengar itu, Marya langsung mendongakkan kepalanya yang tadi tertunduk, lalu menatap Hadyan dengan senyum jahilnya. "Apa itu sebuah pujian? Terimakasih, yah."

"Ya. Itu sebuah pujian. Kau sangat baik, kau tau itu?" Balas Hadyan.

Marya tertawa lebar sambil menepuk-nepuk bahu Hadyan yang turut tertawa kecil bersamanya. "Kau itu.. benar-benar seperti seorang pangeran dari negri impian,"

Marya kembali menegakkan tubuhnya. "Baiklah, Pangeran. Terima kasih telah membuatku tenang. Sekarang, hamba pamit kembali ke kelas dulu, sebelum hamba diusir oleh mahaguru yang murka."

Hadyan tertawa mendengar celotehan Marya dan tingkahnya yang lucu. "Baiklah. Kau aku persilahkan pergi,"

Marya menunduk anggun ala kerajaan sambil memekarkan rok abu-abunya dengan kedua tangan, lalu melangkah pergi. Sementara, Hadyan masih menjaga pandangannya pada gadis itu sambil tersenyum geli.

***

Malam itu, Tasia bermimpi aneh. Ia kembali melihat dirinya tenggelam di lautan luas yang gelap dan dingin.

Setelah itu, Tasia terbangun dengan sekujur tubuh yang sudah basah oleh keringat, dan lagi, tubuhnya berada dalam keadaan terlilit selimut.

Sambil mengerang kesal, Tasia membebaskan dirinya dari lilitan itu dan udara dingin dari AC kamar seketika menusuk sekujur kulitnya.

'Dinginn!'

Tiba-tiba Tasia langsung mematung bersamaan dengan dentuman di dadanya, seakan ada sebuah batu besar menghantam jantungnya.

Tasia tertegun seketika saat melihat sinar bulan yang masuk ke dalam kamarnya melalui jendela yang seingatnya, sudah ia tutup dengan gorden sebelum ia tidur.

Sinar terang itu membentur dinding kamar tepat di samping kaki ranjangnya. Bukan hanya itu. Ada bayangan seseorang sedang berjongkok di tengah jendela.

Tubuh Tasia kaku dan kedua matanya terbelalak, tak mampu berkedip. Ia tidak sanggup menengok ke arah jendela untuk melihat siapa sosok pemilik bayangan itu.

"Takut?"

"Hhh.. !" Tasia tercekat mendengar pertanyaan dari sebuah suara berat seorang pria itu.

Ia langsung menoleh ke arah jendela karena suara yang ia dengar justru entah mengapa malah membuat keberaniannya bangkit.

Hadyan tersenyum manis. Mata ularnya menyala di kegelapan. Wajahnya tidak begitu terlihat karena ia memunggungi cahaya bulan. Tasia tidak mengenalinya.

"To.. tolong.." Tasia hendak berteriak namun gagal karena Hadyan dengan cepat melompat ke arahnya dan menutup mulutnya.

Tasia mencoba meronta dan berteriak meski gagal. Hadyan menekan tubuhnya ke tembok sehingga pergerakannya terkunci. Ia berusaha menendang pria itu sekuat tenaga.

"Anastasia, tenanglah! Ini aku. Ini aku, Hadyan."

Tasia tidak menanggapi. Ia tetap meronta apa pun yang dikatakan pria itu. Sebenarnya, apa yang dikatakan Hadyan tidak ada yang masuk ke otaknya lagi. Ia hanya berpikir bahwa ada sesosok jin jahat yang ingin memperkosanya.

Akhirnya Hadyan menyalakan lampu kamar dengan kekuatan gaibnya. Saat itu, Tasia dapat melihat wajah Hadyan dengan jelas, dan barulah ia berhenti berteriak.

avataravatar
Next chapter