19 Bukan Gangguan Jiwa

"Kau tidak apa-apa, Tasia? Aku mohon tahan sebentar." Ucap Hadyan segera membopongnya dan melangkah pergi dengan cepat.

"Tasia! Tasia kenapa?!" Marya terkejut atas apa yang terjadi pada sahabatnya.

"Hadyan, tunggu.." Panggil Patra yang masih duduk di lantai koridor sambil berusaha berdiri.

Marya dan Patra hendak melangkah untuk mengejar kedua orang itu.

"Hey, hey, kalian. Tolong bantu Ibu sebentar membawa buku-buku dari perpustakaan ke ruang guru. Ayo ikut ibu ke dalam," Tiba-tiba seorang guru matematika, Ibu Dewi, mencegat mereka.

"Ta.. tapi Bu.." Marya berusaha menolak.

"Aku akan membawanya ke UKS. Kalian pergi saja," Seru Hadyan dengan menoleh ke belakang, lalu meneruskan langkahnya.

Marya dan Patra menatap kedua temannya itu dengan khawatir. Namun, mau tidak mau mereka harus membantu Ibu Dewi yang terkenal akan kesangarannya itu. Jika mereka kabur, bisa-bisa wanita itu menjadi dendam dan mengerjai mereka saat jam pelajaran matematika nanti.

***

"Maafkan aku. Aku mmohon tahan sebentar," Bisik Hadyan gelisah.

Ia sungguh merasa bersalah karena dirinyalah penyebab sakit yang Tasia rasakan saat ini.

Gadis itu tidak menjawab. Pengelihatannya kabur dan sesekali menggelap. Ia hanya berusaha melangkahkan kedua kakinya yang lemas, mengikuti ke mana Hadyan menuntunnya.

Sampai di ruang UKS, Hadyan segera menggendong Tasia dan merebahkannya di atas kasur.

"Ada apa, Nak?" Tanya Ibu Lensy, perawat sekolah.

"Teman saya tiba-tiba pusing, Bu. Boleh saya minta segelas air?" Jawab Hadyan cepat.

"Tentu," Bu Lensy segera mengambilkan segelas air hangat dan sebotol minyak kayu putih berukuran besar. Setelah itu, ia mengambil stetoskop dari atas meja kerjanya.

"Terimakasih, Bu." Hadyan langsung meraih gelas itu dan membantu Tasia untuk minum.

"Sepertinya darah rendah. Dulu Tasia sering masuk ruang UKS karena masalah ini," Ujar Bu Lensy dengan mengusapkan minyak kayu putih pada kening dan tengkuk leher Tasia sebelum memeriksa detak jantung gadis itu.

"Dulu?" Ulang Hadyan.

"Ya. Dulu Tasia sering mengalami darah rendah yang lumayan parah sehingga kerap pingsan. Karena itu, saya hafal sekali wajahnya karena selalu bolak balik ke sini. Tapi sudah lama sekali ia jarang datang kembali ke sini karena sakitnya sudah membaik. Ia datang hanya jika terjatuh dan terluka saat olahraga."

Hadyan mengangguk-angguk hingga pembicaraan mereka terhenti karena Tasia akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali dan berusaha untuk duduk.

"Aku sudah sembuh," Ucap Tasia hingga mengundang tawa Bu Lensy.

"Kau memang penuh semangat, yah, Tasia. Tidak perlu terburu-buru seperti itu. Apakah kau ada ujian lagi?" Tanya wanita berbalut jubah putih itu.

"Tidak, Bu. Aku serius. Aku tidak merasakan pusing lagi sedikit pun. Sakit itu tiba-tiba menghilang begitu saja!" Jelas Tasia bingung.

"Yasudag jika memang sudah menghilang. Tapi, Ibu memaksamu meminum vitamin penambah zat besi ini," Bu Lensy menunjukkan setengah strip suplemen yang berisi empat tablet.

"Kau.. siapa namamu?" Wanita itu beralih pada Hadyan.

"Nama saya Hadyan," Jawab pria itu.

"Oke, Hadyan. Tolong pastikan Tasia meminum suplemen ini dengan banyak air. Saya ada urusan penting di ruang guru. Jadi, jika Tasia sudah merasa lebih baik, kembalilah ke kelas. Kalian jangan terlalu lama di sini," Jelas Bu Lensy sebelum mendapat anggukan dari kedua murid di hadapannya. Kemudian, ia segera berlalu keluar dengan dua tumpuk buku agenda di pelukannya.

"Aku tidak percaya mengalami hal semacam ini dua kali dalam dua minggu ini," Gumam Tasia setengah termenung, masih dalam posisi duduk.

"Apa yang kau rasakan? Apakah sesakit itu?" Tanya Hadyan khawatir.

"Sakitnya tidak seberapa. Tapi aku merasa sangat pusing dan sering mengalami halusinasi. Aku rasa aku mulai gila," Tasia menggeleng-geleng cemas.

"Tasia, kau tidak gila. Jangan berkata seperti itu," Sahut Hadyan dengan membenahi rambut acak-acakan Tasia dan menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

Dengan cepat, Tasia menepis tangan Hadyan. "Jangan pegang-pegang!"

Hadyan segera menarik tangannya. Ia berusaha bersabar. "Aku tidak mencoba untuk memegang-megangmu. Itu hanya rambut. Rambutmu berantakan,"

Perlahan, tatapan kesal Tasia terhadap Hadyan mereda. Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia sangat marah seperti ini?

'Hadyan benar. Ini hanya rambut. Ia hanya mencoba menghiburku. Kenapa aku harus selalu jahat padanya?' Pikir Tasia, merasa bersalah.

"Maafkan aku, Hadyan. Aku terlalu terbawa emosi. Entah apa yang sedang terjadi padaku," Tasia memijat batang hidungnya sendiri dengan frustasi.

Hadyan nampak bingung, namun berusaha mengerti. Ia tahu keadaan Tasia saat ini adalah tidak lain akibat tanda yang ia berikan dan kejadiaan di luar logika manusia yang ia paksa Tasia alami.

"Tidak apa-apa, Tasia. Aku mengerti pikiranmu sedang kacau. Tapi jika kau tidak keberatan, kau boleh menceritakan masalahmu padaku. Meski begutu, aku tidak memaksa." Tutur Hadyan.

Tasia mengulum senyum. Ia tahu bahwa pria di hadapannya ini berkata dengan tulus.

Hadyan adalah pria yang baik. Semua kesalahan ada pada diri Tasia sendiri. Namun tetap, apa yang sedang Tasia percayai dan curigai selama ini sukar sekali luntur.

"Terimakasih. Ya.. sejujurnya, aku memiliki sebuah masalah yang berhubungan denganmu. Dan sepertinya masalah sepihak itu membuatku menjadi sangat sensitif dan emosional jika berada di dekatmu," Jelas Tasia.

Ia menunduk dan melirik Hadyan sedikit, bersiap dinggap gila oleh pria itu.

"Tentang apa?" Tanya Hadyan serius.

"Aku tahu ini memalukan dan tidak masuk akal. Jadi.. ah! Aku tidak tau harus mulai dari mana," Tasia bergerak gelisah, sedangkan Hadyan menatapnya tidak sabar.

"Sebenarnya, aku sering bermimpi dan berhalusinasi tentangmu. Aneh bukan? Dan aku mohon jangan kau pikir bahwa aku suka padamu atau apa pun. Apalagi terobsesi padamu. Itu tidak akan terjadi. Karena sejujurnya, aku tidak memiliki perasaan apa pun kepadamu selain sebagai seorang teman. Dan.. hal itu membuatku kesal setiap kali melihatmu." Jelas Tasia cepat seperti kereta jarak jauh.

Tasia menatap Hadyan sedikit takut. Ia takut bagaimana reaksi Hadyan setelah mendengar ceritanya yang konyol dan sangat teramat tidak masuk akal. Ia takut Hadyan mengira ia terobsesi padanya dan hal memalukan lainnya.

'Gadis ini.. bagaimana caraku untuk menanggapinya? Apa yang harus aku katakan? Makin lama, pengaruh tandaku akan hilang dan ia akan mengingat semua yang pernah terjadi sebelumnya.' Pikir Hadyan.

"Jadi maksudmu, kau merasa aku menghantuimu, begitu?" Tanya Hadyan pelan.

"Em.. itu.. sebenarnya bisa diartikan seperti itu. Mungkin benar aku sudah gila," Jawab Tasia.

"Mungkin antara kau sudah gila, atau memang benar aku menghantuimu. Menurutmu, mana yang benar?" Tanya Hadyan.

Tasia mengerutkan dahinya. "Entah mengapa, aku.. merasa bahwa aku tidak gila, dan benar b-bahwa kau.. menghantuiku?" Jawab Tasia dengan suara bergetar.

"Maafkan aku. Kau boleh berpikir aku gila. Tapi, inilah yang benar-benar kurasakan sekarang. Aku pun bingung kenapa otakku seperti ini." Lanjut Tasia dengan gugup.

Hadyan membisu beberapa detik, membuat Tasia menunggunya tidak sabar dengan jantung berdebar. Mungkin ini adalah hari terakhir nya sebagi orang waras di mata Hadyan. Setelah itu, pria ini akan mengindari dirinya selamanya.

"Kau benar. Aku menghantuimu." Hadyan tersenyum manis kepada Tasia.

"Mungkin kau bisa katakan saja aku gila, daripada harus mencoba menghiburku dengan cara seperti ini." Tasia mengela napas lelah. Pria itu terlalu baik.

"Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat dan logika, bukan? Bukankah itu hal yang kau percayai? Hal mistis? Seperti luka lebam yang semakin memanjang di punggungmu itu?" Tanya Hadyan tanpa memudarkan senyum tipisnya.

avataravatar
Next chapter