19 Terjerat Bayangnya

The Angelsea Arms, Kensington.

Gael yang mendengar panggilan mengingatkan dari sang mama hanya bisa mendengkus, seraya meletakan gelas bertangkai digenggamannya di atas meja kembali. "Ini sudah malam," ujarnya mengalihkan pembicaraan.

Bukan hanya karena waktunya yang sudah malam, tapi sebenarnya ia pun memiliki acara setelah ini dengan dua temannya untuk menghadiri sebuah pesta.

Lagian, ia tidak mau dua wanita kesayangannya berada di luar terlalu lama, di tengah suasana dingin seperti ini.

Sontak keduanya saling melihat dengan sang kakak yang mengangkat sebelah lengan, menilik arloji berlapis emas miliknya dan mengangguk ketika melihat waktu yang tertera.

"Jam 10, benar-benar waktu cepat berlalu," gumam Faye sambil menatap sang mama yang tersenyum ke arahnya.

"Besok kita masih bisa pergi bersama, kamu masih lama 'kan di sini?"

"Masih, Mama tenang saja." sahut Faye dengan anggukan berulang.

"Kalau begitu biar Gael yang mengurus sisanya, Mama dan Kakak bisa pulang lebih dulu. Ketemu besok, Mah," tukas Gael memutuskan.

"Baiklah, Gael. Mama dan Kakakmu pulang lebih dulu, kamu segeralah istirahat," sahut sang mama sambil mengangguk.

Ketiganya sama-sama berdiri, Gael menerima pelukan dan ciuman di pipi dari sang mama. Sedangkan dari sang kakak, ia mendapatkan usakan brutal di kepala dan membuatnya mengerang dalam hati.

Ia juga mengantar sampai depan teras, membiarkan pengawal pribadinya yang berkata akan menyiapkan mobil saat ia membukakan pintu mobil untuk sang mama. Hingga akhirnya mobil yang membawa mama dan kakaknya meninggalkan teras restoran, menyisakan dirinya yang kembali menatapi halte di depan sana.

Sejenak ia terdiam, membayangkan lagi saat seseorang itu berdiri dengan kepala menunduk serta kaki yang menendang sesuatu. Entah kenapa ia seakan selalu dibuat mengingat seseorang, meskipun ia enggan untuk mengakuinya.

Tin…. Tin…

Suara klakson dengan pintu yang terbuka membuatnya mengalihkan pandangan. Ia melihat bodyguardnya yang keluar dari sana dan menyerahkan kontak mobil segera.

"Aku akan menghadiri party bersama temanku di Mahiki. Kamu bisa ikut dan bersenang-senang di sana," ujar Gael kepada sang bodyguard.

"Baik."

"Hn."

Dengan gumaman singkat, Gael segera memasuki mobilnya dan tancap gas menuju dimana pesta dilaksanakan sesuai ajakan dua temannya.

Ia membelah jalanan ramai kota Kensington, mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan sedang sambil menghubungi dua pria yang diketahuinya sudah sampai lebih dulu. Maka dengan begitu, ia pun mempercepat menuju dover st untuk mencapai tujuannya, Mahiki.

Beberapa saat kemudian…

Mahiki London Night Club

Gael tampak jalan santai membelah keramaian dengan orang-orang yang memakai topeng, hingga ia tidak bisa mengenali siapapun. Ah…, seketika ia lupa jika dua temannya sudah berkata dress code malam ini adalah mask, topeng.

"Shit," lirihnya.

Ia memutuskan untuk mengirim pesan dan untungnya sang bodyguard segera mencarikan benda itu, membuatnya selamat dari tatapan tamu lain yang dilewatinya.

Ia kembali menelusuri lautan manusia yang sedang bersenang-senang dan melebur jadi satu ini dengan susah payah, dibantu dengan bodyguardnya—Tango yang membukakan jalan hingga ia sampai di depan meja dengan beberapa pasangan yang duduk di sana.

"Yo, Dude! Akhirnya sampai juga."

Sapaan dengan tangan terangkat dimana gelas berisi whiskey itu ikut teracung menuai anggukan darinya. Ia juga duduk bersisihan dengan salah satunya dan melirik ketika seorang wanita mulai menggelayut di bahunya.

Ia tidak mempedulikan itu, hanya mendengkus dalam hati dan kembali menatap salah satu dari temannya yang bertanya.

"Baru datang, sepertinya sibuk ya?"

"Hn, hanya makan malam," jelas Gael singkat. Ia menatap bodyguardnya dan mengangguk, seakan memerintah tanpa kalimat yang dimengerti oleh si pria bernama Tango tersebut.

"Kupikir tidak jadi."

"Tidak juga," sahut Gael cepat. Ia mengalihkan tatapan dan kali ini pria yang memakai topeng berwarna putih, tapi ia tahu siapa di baliknya dari surai pirang yang terlihat.

"Evan."

Ya, yang pirang adalah bernama Evan tepatnya Evansanders Hemilton. Sedangkan yang memanggil adalah Gerald Manoko.

"Beth? (Apa)" sahut Evan singkat.

"Mau turun?" tawar Gerald mengambil alih pembicaraan. "Kamu juga Gael?" lanjut mengajak.

Gael tidak segera mengiyakan. Ia melihat sekitar yang ramai dengan manusia saling menempel, membuatnya refleks menggeleng dan menolaknya halus. "Na, well i mi yfed yma. (Tidak, sebaiknya aku minum saja)"

"Van?" imbuh Gerald kembali mengajak.

"Boleh deh!"

Dengan jawaban dari Evan, akhirnya dua temannya ini meninggalkan Gael untuk turun menari bersama yang lain, di lantai yang sumpek dengan manusia saling berhimpitan.

Gael lebih suka menari dengan satu wanita menghiburnya, seperti malam dimana ia menemukan sarang lebah yang sengaja dikerumuni banyak si hewan menyengat itu. Hingga ia terkecoh karena kamuflase meski tetap saja mendapatkannya, mendapatkan madu maksudnya.

"Kenapa tidak ikut turun?"

Gael yang mendengar pertanyaan itu melirik dengan sudut matanya yang tajam. Ia menilik penampilan tanpa cela wanita dengan topeng berbulu di mata itu lebih dulu, barulah menjawab seadanya apa yang ditanyakan untuknya.

"Nggak mood."

Jawaban singkat, tanpa nada dan yang pasti datar adalah yang diberikan Gael. Namun si wanita tidak menyerah, ia semakin menempelkan dadanya di lengan Gael yang hanya pasif, tidak membalas atau bahkan menghindar.

Ya, Gael hanya diam di tempatnya duduk dan justru dengan santai mengambil gelas kosong, kemudian menuang whiskey hingga setengah. Ia juga mengenggaknya perlahan, sambil sesekali melirik si wanita tanpa ketahuan di balik topeng yang dipakainya.

"Bagaimana kalau kita one night stand?"

Huh!

Gael yang sedang menenggak minuman sontak berhenti, meski hanya sedetik karena ia kembali melanjutkan tenggakannya.

"Berapa?"

"Maksudnya?"

Sok polos, dengkus Gael dalam hati.

"Berapa hargamu?" jelasnya singkat.

"Ah…. Tidak perlu, aku hanya ingin kamu memuaskanku dan kita lakukan sampai pagi," jawab si wanita dengan sudut bibir terangkat.

"Kau yakin dengan kata-katamu itu, Nona?" tanya Gael menantang.

"Tentu saja!" sahut si wanita cepat, suaranya terdengar sangat percaya diri. Ia juga mendekati telinga Gael dan berbisik lirih di sana. "Dan aku pun akan memuaskanmu, fuhh…."

Sudah sering mendapatkan godaan dan ajakan main, Gael baru ini merasa tidak tergoda dengan tiupan serta godaan yang dilancarkan si wanita dari sentuhan yang dirasakan pahanya.

Tepatnya di paha dengan jari lentik merambat naik.

Ia seakan merasa biasa saja dan justru membayangkan tatapan dari bola mata huzel jernih seorang wanita lainnya. Bukan hanya itu, sentuhan yang dirasakan pun membuatnya membandingkan dengan bayangan si wanita, yang kemarin malam malu-malu menyentuhnya.

Ya, seakan ia sudah terjerat bayangan si wanita.

Gael berusaha mengalihkan pemikiran itu. Ia pun mendekati wajah si wanita, menatap intens wajah di hadapannya dengan bola mata bergerak seakan menilai setelahnya. Namun buru-buru ia menggeleng, sebelum akhirnya mendekati telinga si wanita.

"Lakukan itu juga kau mampu," bisiknya.

"Of course, with pleasure, dear," balas si wanita.

Gael tersenyum miring, memutuskan untuk menghabiskan lebih dulu minumannya baru kemudian beranjak dari sofa. "Ikut aku," perintahnya tanpa menoleh.

Si wanita yang mendengarnya tentu segera berdiri. Ia membenahi mini dress yang dikenakannya dan melihat dalam diam saat Gael tampak membuat kode untuk seseorang, tepatnya dua temannya yang mengacungkan jempol.

Hingga akhirnya Gael kembali melirik, kemudian jalan lebih dulu dengan kepala menggendik seakan mengajak. "Paid a'm siomi, Miss, (Jangan membuatku kecewa, Nona)" bisiknya ketika si wanita berjalan menghimpitnya.

"Cymerwch hi'n hawdd, Golygus. (Tenang aja, Tampan)"

Bersambung

avataravatar
Next chapter