23 Kau Tidak Mengingatku?

Penthouse Skyscraper, Kensington, London.

Sebuah mobil tampak berhenti di halaman luas penthouse mewah di daerah Kensington, dengan rumput hijau, taman olahraga dan fasilitas lainnya untuk penghuni.

Dari pintu depan tampak seorang pria berpakaian rapi keluar, berjalan menuju pintu penumpang dan membukanya sambil mempersilakan seorang di dalam sana untuk keluar.

"Silakan, Nona."

Sang nona yang dipersilakan hanya bisa menurut, turun dengan sebuah coat yang disampirkan oleh si pria yang membawanya.

Ia melihat dengan kening berkerut kala merasa tidak asing dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. ia seperti pernah keluar dari bangunan mewah ini, bangunan tempat para kaum borjuis yang menjadi penggerak ekonomi di London.

"Mari ikut saya, Nona."

"Ah! i-iya…." Ia tersentak kecil mendengar ajakan dari si pria yang menatapnya datar, meskipun ia merasa pria itu memperlakukannya sopan dan penuh hormat.

Dan karena tidak ingin tertinggal, ia pun mengikuti dalam diam langkah lebar pria di depannya sambil melihat sekitar, masih penasaran dengan desain interior serta banyak pajangan antik di sepanjang koridor menuju lift.

Mengikuti dalam diam setiap langkah si pria, ia lagi-lagi harus rela tersentak kaget saat dipersilakan lebih dulu untuk masuk ke lift yang pintunya terbuka, baru kemudian pria itu yang kini berdiri di depannya.

Dia tinggi, seperti Kak San dan seseorang yang tinggal di penthouse ini, batinnya.

Bola mata hazel mempesona itu menatap dari atas kepala sampai ujung, bagaimana kokohnya pria di depannya dan menebak-nebak usianya berapa.

Um…. Apa sama dengan Kak San juga? Tapi wajahnya yang datar menyebalkan, sama seperti seseorang yang saat ini akan kutemui. Eh!

Ia kembali tersentak kecil ketika lagi-lagi suara si pria mengagetkannya, kali ini disertai dentingan lift di lantai 21.

Ting!

"Silakan Nona."

"Ah! I-iya."

Ia mengangguki, mengikuti apa yang dikatakan oleh si pria yang hanya mengatakan sesuatu sangat singkat dan itu-itu saja, tanpa ada variasi kalimat lainnya.

Kembali ia jalan bersama si pria ke pintu yang sudah pernah pula di datanginya, pintunya masih sama yang membedakan hanya siapa yang kali ini mempersilakan masuk dengan sikap hormat.

"Silakan, Nona."

Tuh 'kan, lagi-lagi kata itu, batinnya sambil mengangguk.

Ia melangkah masuk, dibawa ke ruang tamu yang sofa dan barang-barangnya masih sama serta rapi seperti saat ia terakhir pergi dari sini.

"Silakan duduk, sebentar lagi Tuan kami datang."

Nah…. Kalau beda 'kan enak.

"Iya, terima kasih," sahutnya setelah menjawab dalam hati. Ia tidak lantas duduk, masih mengangguk dan melihat ke sekitarnya dengan bola mata bergulir.

"Saya permisi."

Eh! Aku ditinggal?

"K-kam-

"Sudah datang?"

Sret!

Suara husky super seksi itu membuatnya menoleh, menatap seseorang yang menginterupsi dengan kelopak mata berkedip pelan, seakan meyakinkan kalau yang dilihatnya benar adalah pria itu.

Iya, pria itu, pria yang telah membayarnya mahal sampai-sampai ia kehilangan mahkota yang dilindunginya selama tujuh belas tahun.

"Bos…."

"Kamu bisa pergi, Tango. Katakan kepada yang lainnya untuk istirahat, mengerti?" perintah si pria yang panggil Bos, tepatnya si pemilik penthouse yang didatangi ini.

"Mengerti Bos, saya perimisi."

"Hn."

Sang Bos mengangguk, membiarkan saat pengawal pribadinya undur diri dan meninggalkan ruangan, hingga akhirnya kini hanya menyisakan dirinya serta si wanita yang sengaja diperintahnya untuk dibawa ke hadapannya.

Suara debaman pintu di depan sana juga terdengar menggema, ia melangkah menghampiri si wanita yang betah berdiri di samping sofa.

"Kau tidak ingin duduk? Siapa namamu? Aku sedikit lupa."

Si wanita yang ditanya ini ingin sekali menggembungkan pipi, sebal karena pria di depannya enak sekali melupakan namanya, seorang wanita yang sudah diperawani.

Pria brengsek, untung tampan, umpatnya dalam hati.

"Noel."

"Ah…., Noela emh…, maksudku Noel ya," sahut si pria main-main.

Sebenarnya ia tidak perlu diberitahu siapa wanita di depannya, ia hanya ingin bermain sebelum benar-benar mengajak bicara si wanita yang kini diketahui adalah Noel.

Ya, benar sekali. Ia adalah Noel yang hanya bisa tersentak kecil, diikuti jantung berdegub kencang ketika pria di depannya seakan sengaja memanggilnya dengan nama tengah, tepatnya nama aslinya.

Susah payah ia menelan saliva, kala rasa kering di tenggorokan tiba-tiba menyerang. Ia juga berusaha untuk tetap menampilkan wajah tenang, agar ia tidak ketahuan sedang menyembunyikan siapa dirinya yang asli.

"Ya, aku Noel Tuan," sahut Noel dengan anggukan kecil.

"Apa kau masih mengingatku?"

Noel yang ditanya mengangguk meski setelahnya menggeleng, membuat si pria yang melihatnya mengernyit.

"Jadi kau masih mengingatku tidak?" tanyanya lagi dan kini berhenti di depan Noel yang sontak memundurkan tubuhnya selangkah.

"Tid- maksudku bukan begitu Tuan. Aku memang mengingatmu siapa, tapi untuk nama aku tidak benar-benar mengingatnya," jawab Noel membalik apa yang dikatakan si pria kepadanya.

Dalam hati, si pria sudah ingin tertawa mendapatkan jawaban dari si wanita. Apakah wanita di depannya ini membalas dendam karena ia pura-pura tidak mengingat nama, yang justru selalu membuatnya terbayang meski dalam aktivitasnya bersama wanita lain?

Sungguh berani, batinnya bersiul takjub.

Ia mengangguk-anggukan kepalanya seakan mengerti apa maksud si wanita di hadapannya. Ia perlahan berjalan mengitari dan berhenti di belakang Noel yang diam-diam menahan napas, apalagi ketika ia merasakan jarak antara dirinya dengan si pria terlalu dekat.

Benar, si pria bahkan sudah memajukan wajahnya menuju sisi wajah bagian kanan Noel, menatap dengan menelisik sambil mengulas senyum miring kala mendapati si wanita melirik singkat ke arahnya.

"Lalu apa lagi yang kau ingat tentangku? Ah! Bagaimana dengan rasanya? Apakah kamu masih ingat atau aku perlu mengingatkannya lagi untukmu?" bisiknya sambil meniupkan napas hangat di telinga Noel yang sontak bergidik.

Pria ini sungguh berengsek! Jangankan nama, aku bahkan masih mengingat bagaimana kemeja yang dipakainya kurobek, belum lagi tato itu, umpat Noel dalam hati.

"Aku hanya sedikit melupakan, bukankah kamu tahu aku berkenalan dengan banyak pria di luar sana," jawabnya sambil menahan kesal di antara takutnya.

Diam-diam gigi si pria bergemeletuk saat mendengar penyataan Noel. Ingin marah, tapi ia menahan diri dengan membuka bibir, kemudian menjilatinya dan membawa lidahnya menusuk dinding pipi dalamnya.

Ia juga memundurkan wajahnya, kemudian kembali berjalan menjauhi punggung Noel dan duduk di sofa dengan tangan merentang lebar serta kaki bertopang di hadapan si wanita.

Pose Bos ya seperti ini, tapi sialnya justru membuat Noel melengos, tak kuasa menahan pesona pria brengsek di sofa sana.

""Well, so…, you really don't remember my name?? (Jadi…. Kamu sungguhan tidak mengingat namaku)" tanyanya memastikan.

Ia juga menatap Noel dengan seringai yang sialnya tampak seksi, membuatnya tanpa sadar mengerucutkan bibir dan berbisik lirih tanpa menatap pria yang akhirnya disebut juga namanya olehnya.

"Gael, Tuan Gael."

"Marvelous! That's my woman, (Cakep! Itu baru wanitaku)" sahut si pria atau Gael tepatnya, yang kini tersenyum puas ketika akhirnya si wanita menyerah.

Ia bahkan sekuat tenaga untuk tidak menarik bibirnya untuk mengulas senyum semakin lebar saat melihat ekspresi itu, ekspresi yang tidak pernah didapatnya dari banyak wanita di luar sana.

"Maksud Tuan?"

Bersambung

avataravatar
Next chapter