1 Eins (1): Beatrice dan Daleela

Keluarga Pasha adalah salah salah satu keluarga yang berasal dari etnis Berber. Bukan, kita bukan sedang berbicara tentang kaum barbar yang senang berbuat kerusakan. Karena antara kaum Barbar dan kaum Berber adalah sangat berbeda. Berber yang dimaksud ialah nama sebuat etnis untuk orang-orang yang tinggal di Afrika Utara. Suku Berber sudah menetap sangat lama di Afrika Utara di bagian Timur Lembah Nil. Orang-orang Berber suka menyebut diri mereka dengan sebutan 'Amazigh' yang berarti 'free-man' atau orang bebas. Mereka dikenal dengan kehidupan yang sering berpindah-pindah (nomaden). Sampai sekarang mereka hidup tersebar di negara-negara seperti di Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya bahkan di Mesir. Orang-orang Berber berkomunikasi dengan Bahasa Berber. Sejak Islam masuk, banyak di antara orang-orang Berber yang bisa Berbahasa Arab. Kalian pasti pernah mendengar tentang pesepak bola terkenal di dunia Zinédine Zidane, bukan? Ya, dia juga merupakan keturunan etnis Berber. Nenek moyang Nabil sendiri berasal dari etnis Berber yang bermukim di Maroko sejak ratusan yang lalu. Generasi Keluarga Pasha pertama hidup berpindah-pindah sebelum akhirnya bermigrasi dan menetap di Jerman hingga memiliki anak cucu.

Nabil adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Dia memiliki seorang adik lelaki dan seorang adik perempuan, Ikram dan Jihan. Ikram dua tahun lebih muda dari Nabil. Usia Ikram adalah dua puluh tujuh tahun. Sementara adik bungsu perempuan mereka yang manis berusia dua puluh tahun. Nabil adalah yang paling dekat dan akrab dengan Jihan karena jarak usia mereka yang lumayan jauh. Orang tua mereka yaitu Fahad Pasha dan Aiza masuk dalam jajaran orang-orang penting yang memiliki perusahaan terbesar di dunia. Jadi bisa dikatakan bahwa Keluarga Pasha adalah salah satu keluarga yang memiliki pengaruh besar di Eropa. Selama puluhan tahun ayahnya bekerja keras untuk meneruskan dan mengembangkan perusahaan komputer dan software yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi Pasha sebelumnya. Karena itulah ketika ayahnya memutuskan untuk pensiun, beliau sangat mengharapkan Nabil yang merupakan anak sulung Keluarga Pasha untuk meneruskan usaha keluarga mereka. Tetapi ketika tamat sekolah, Nabil mengambil keputusan paling ekstrim dalam hidupnya. Dia memutuskan untuk masuk sekolah kedokteran dan mengambil spesialis kejiwaan. Sebuah keputusan yang sudah tentu membuat ayahnya marah besar. Nabil terpaksa harus melarikan diri sementara ke rumah bibinya di Kota Tangier, Maroko sebelum akhirnya ia terbang ke Inggris dan melanjutkan kuliahnya di sana. Masih jelas dalam ingatannya ayahnya mengusirnya dari rumah dan sama sekali tidak mau berbicara dengannya. Butuh waktu dua tahun hingga akhirnya ayahnya luluh oleh bujukan ibunya untuk menerima Nabil yang memutuskan untuk menjadi dokter psikiater, dengan syarat dia harus bekerja selama setahun di perusahaan ayahnya. Nabil menyetujuinya. Dia melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Setelah itu Nabil segera pindah dari rumah keluarganya di Berlin dan memilih menetap di Munich. Tidak ada alasan khusus kenapa dia memilih untuk pindah ke Munich. Saat itu dia hanya berpikir untuk mulai hidup mandiri dan meniti karirnya mulai dari nol dengan usahanya sendiri meskipun pada akhirnya dia tetap bekerja di rumah sakit milik Keluarga Pasha. Lagipula, karena Nabil sudah memilih jalan karirnya sendiri dan menolak untuk memimpin perusahaan, otomatis kendali perusahaan jatuh kepada adik lelakinya, Ikram. Mau tak mau Ikram harus mengemban tugas itu karena dia satu-satunya harapan keluarga untuk meneruskan warisan perusahaan turun temurun dalam Keluarga Pasha. Tetapi Nabil tahu, meskipun adiknya itu merasa kecewa karena harus mengorbankan cita-citanya untuk menjadi seorang fotographer terkenal, tetapi pada akhirnya Ikram akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Meskipun sudah menjadi seorang dokter psikiater terbaik, sesekali Nabil akan pergi ke perusahaan untuk menggantikan Ikram jika adiknya itu sedang ada urusan bisnis yang mendadak di luar negeri. Sejak remaja Nabil sama sekali tidak tertarik untuk membaca buku-buku ekonomi dan bisnis. Dia lebih menyukai buku-buku yang berhubungan dengan ilmu kejiwaan manusia. Nabil selalu merasa takjub dengan jiwa manusia yang bisa merasakan banyak emosi yang kadang bahkan tidak bisa dijelaskan secara ilmiah sekalipun. Banyak sekali kisah-kisah yang sudah Nabil baca tentang perjuangan orang-orang yang melewati saat-saat terberat dalam hidup mereka dan bagaimana mereka berusaha untuk bertahan hidup melewati semuanya. Hal itulah yang memotivasinya untuk menjadi seorang dokter psikiater. Mungkin karena itu Nabil bisa dengan mudah akrab dengan siapapun. Karena dia memiliki perasaan peka dan empati yang tinggi, berbanding terbalik dengan adiknya yang jauh lebih kalem dan tidak banyak berbicara. Sering sekali saat di acara perusahaan Nabil mendengar kolega-kolega keluarganya yang selalu bergunjing tentang dirinya dan membanding-bandingkan dirinya dengan Ikram. Mereka semua bersikap baik di depan keluarganya tetapi ketika di belakang, mulut mereka tak henti-hentinya memuntahkan racun yang berasal dari hati mereka yang busuk. Mereka mengolok-olok dengan menyebut Nabil yang dengan bodoh memilih berkutat dan berurusan dengan orang-orang gila. Sekali dua kali Nabil membalas perkataan mereka yang membuat kedua telinganya memanas. Dia hanya tidak suka ketika orang-orang bermuka dua itu berbicara tentang orang-orang gila- yang menurutnya merupakan orang-orang yang mencoba bertahan hidup dan karena tekanan hidup yang tidak sanggup diterima oleh akal mereka, akhirnya mereka melampaui batas kewarasannya. Orang-orang itu tetaplah manusia yang harus diperlukan dengan layak. Tapi sudahlah, toh sekarang Nabil lebih memilih menulikan telinganya dan tak acuh dengan gunjingan mereka. Berbicara dengan orang-orang yang memiliki hati busuk hanya akan membuang-buang tenaganya. Lebih baik dia menggunakan tenaganya untuk hal-hal yang lebih berguna, misalnya seperti membantu orang lain.

***

Nabil menggertakkan giginya menahan rasa dingin yang menyerangnya ketika angina dingin berhembus saat dia baru keluar dari mobilnya. Astaga, padahal dia sudah memakai pakaian hangat yang lengkap. Sweater hitam yang dilapisi dengan long coat berwarna senada dengan sebuah syal berwarna abu-abu yang melilit lehernya, serta sepasang sarung tangan kulit berwarna coklat. Ini semua masih membuatnya gemetar kedinginan. Rasanya dia ingin cepat-cepat memasuki ruangannya yang mempunyai penghangat musim dingin.

"Guten Morgen, mein Herr." [1]

Nabil menganggukkan kepalanya sebagai balasan. Barusan yang menyapanya itu adalah Aldarich, asisten pribadinya yang setia. Aldarich merupakan orang Jerman asli yang berasal dari Hamburg. Dia sudah bekerja untuk Nabil sejak lima tahun yang lalu. Asistennya itu sangat cekatan dan cepat tanggap. Nabil segera masuk ke dalam ruangannya yang hangat.

"Ada berita terbaru tentang Beatrice?" Tanya Nabil sambil membuka coat hitamnya sebelum akhirnya menggantungnya di gantungan khusus di sudut ruangannya. Tangannya meraih jas putih dokter miliknya dan kemudian dia berjalan ke arah meja kerjanya. Di mejanya terdapat sebuah papan bertuliskan 'Dr. Nabil Qawim'. Dia memang tidak meletakkan nama Pasha di belakang namanya. Karena itu, tidak banyak yang tahu bahwa dia adalah putra sulung Keluarga Pasha yang memiliki rumah sakit besar ini. Nama Pasha memiliki pengaruh yang kuat bagi siapapun yang mendengarnya. Nabil tidak ingin membuat pasiennya merasa terintimidasi dengan nama keluarganya. Bagaimanapun juga dia selalu ingin membuat pasiennya merasa tenang dan nyaman ketika berkonsultasi dengannya.

"Nein, mein Herr. Tapi dia sudah lebih baik dari sebelumnya." Balas Aldarich menyerahkan sebuah file berisi catatan kesehatan Beatrice pada Nabil. Laki-laki itu mulai memeriksa kertas tersebut dengan teliti.

Beatrice adalah pasien Nabil yang baru masuk rumah sakit ini sebulan yang lalu. Usianya pertengahan tiga puluh. Menurut hasil tes yang dirujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), Beatrice menderita skizofrenia. Dia mengalami delusi paranoia (delusions of persecution) yaitu percaya bahwa dia sedang diikuti dan diintai untuk dilukai atau dibunuh oleh seseorang. Beatrice dan suaminya memiliki seorang putri yang baru berusia enam tahun. Suami Beatrice khawatir bahwa sewaktu-waktu istrinya itu bisa melukai putri mereka. Karena itulah suaminya membawanya ke sini untuk mendapatkan perawatan.

Beatrice sudah mengalami gejala positif sejak dua bulan belakangan. Skizofrenia sendiri memiliki dua jenis gejala, yaitu gejala positif dan gejala negative. Gejala positif lebih berpengaruh pada individual yang menderita. Mereka mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir dan berbicara, dan secara tiba-tiba si penderita bisa marah dan berteriak tanpa sebab. Sementara gejala negatif yang dialami si penderita adalah seperti enggan bersosialisasi dan berbicara dengan orang lain, emosi dan respon yang diberikan flat (monoton), dan cenderung tidak memperhatikan diri sendiri. Meskipun gejala positif terdengar tidak berbahaya tapi itu tidak benar. Tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang menderita gejala positif skizofrenia akan melukai dirinya sendiri. Untuk mengontrol Beatrice, Nabil mengambil langkah melakukan terapi perilaku kognitif pada wanita tersebut. Beatrice akan melakukan sesi terapi setiap dua kali seminggu selama 35 menit di setiap sesinya. Dalam terapi itu, Nabil menanyakan beberapa pertanyaan yang terkait dengan latar belakang kehidupan Beatrice, karena sudah pasti gangguan yang diidap perempuan ini berkaitan dengan masa lalunya. Untuk yang satu ini, Nabil sudah menanyakannya di sesi terapi mereka sebelumnya. Di terapi selanjutnya dia akan lebih berfokus untuk membantu Beatrice menghadapi gangguan mentalnya, serta membantu perempuan itu untuk melakukan kegiatan positif setiap harinya untuk membantu menstabilkan emosinya.

"Ada pasien baru yang masuk ke sini kemarin. Apakah Anda ingin melihatnya, Tuan?" Ujar Aldarich menginterupsi pikiran Nabil.

Nabil menutup file catatan kesehatan Beatrice dan bangkit dari duduknya. "Ayo." Katanya sambil mulai berjalan keluar ruangannya diikuti oleh Aldarich di belakangnya.

"Namanya Daleela. Usianya delapan tahun. Dia asli dari Syria. Dia anak yatim piatu. Dua tahun yang lalu Daleela diadopsi dari kamp pengungsi Syria di Ankara oleh pasangan Turki yang sudah tinggal lama sini." Aldarich menyerahkan file catatan kesehatan Daleela. Nabil membaca file itu dengan cermat sambil berjalan ke kamar rawat gadis kecil itu.

"Menurut ibu angkatnya, ketika diadopsi pertama kali Daleela sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda gangguan yang aneh. Namun satu tahun yang lalu, gadis ini mulai mengalami perubahan sikap dan emosi. Dia selalu bermimpi buruk dan berteriak-teriak dalam mimpinya. Selain itu, setiap kali mendengar bunyi yang keras baik secara langsung maupun tidak langsung dia dengan spontan akan menutup telinganya dengan kedua tangannya. Daleela akan menggigil dan menjerit-jerit dengan histeris hingga tidak sadarkan diri."

"PTSD." Ujar Nabil singkat dengan nada merenung. Aldarich mengangguk membenarkan. Mereka akhirnya sampai di depan pintu kamar rawat Daleela. Nabil menggerakkan tangannya untuk menarik ganggang pintu. Tapi ucapan Aldarich membuatnya menghentikan gerakan tangannya.

"Orang tua angkat Daleela juga menyadari bahwa ini adalah gejala PTSD, karena itulah mereka bersikeras untuk merawat putri mereka di sini. Mereka ingin putri angkat mereka menjalani terapi dan segera sembuh."

Nabil menghela napas dan menatap ke arah Aldarich. Tanpa mengatakan apapun sudah pasti Aldarich merasakan hal yang sama dengannya. Miris. Laki-laki itu menepuk pelan pundak asistennya. "Tentu saja kita akan selamatkan gadis kecil yang malang ini. Apakah orang tuanya ada di dalam?"

Aldarich menggelengkan kepalanya. "Ayahnya berangkat kerja tadi pagi, sementara ibunya pulang sebentar untuk berganti pakaian. Suster sudah menyuntikkan obat tidur padanya agar dia tidak menangis, tapi beberapa menit lagi dia akan terbangun."

Nabil mengangguk kan kepalanya dan membuka pintu. "Kau boleh pergi, Aldarich. Aku khawatir dia akan ketakutan melihat dua orang pria dewasa di dalam kamarnya," Aldarich menganggukkan kepala dengan patuh dan berlalu dari sana. Perlahan Nabil melangkah sepelan mungkin ke dalam kamar rawat Daleela. Gadis kecil itu masih tertidur. Nabil menarik sebuah kursi yang tersedia di sana dan dia memutuskan untuk duduk di samping gadis itu sambil menunggunya terbangun.

PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder adalah gangguan mental yang dialami oleh seseorang setelah mengalami sebuah peristiwa traumatis seperti kekerasan dan pelecehan seksual. Tetapi dalam kasus Daleela, gadis ini mengalami PTSD akibat perang yang terjadi di negaranya. Faktanya memang para korban perang rentan mengalami gejala hingga menderita PTSD. Jangan kan bagi Daleela yang masih belia, bagi orang dewasa saja perang adalah suatu hal yang mengerikan, dan gadis ini dipaksa untuk mengalami dan menyaksikan itu semua di depan matanya. Bunyi ledakan yang keras hingga bunyi tembakan yang terus menerus sudah pasti sangat menakutkan baginya. Bisa saja Daleela menyaksikan dengan kedua matanya sendiri bagaimana dia harus kehilangan ayah dan ibunya serta keluarganya yang lain. Masih belum terlambat untuk menyembuhkan Daleela dari traumanya. Memikirkan hal itu membuat dada Nabil terasa berat. Hatinya terasa teriris memikirkan nasib anak-anak korban perang lainnya. Disebabkan oleh keserakahan dan sifat perusak manusia, anak-anak dan orang-orang yang tidak bersalah harus menanggung akibatnya seumur hidup.

Lamunan Nabil terhenti saat matanya melihat gerakan kecil dari kelopak mata Daleela. Perlahan tapi pasti, gadis itu membuka kedua matanya. Daleela menolehkan kepalanya dan langsung menyadari ada seseorang di sampingnya.

"Kimsiniz siz?" [2]

Bersambung~

***

[1] Selamat pagi, tuanku

[2] Anda siapa? (Bahasa Turki)

avataravatar
Next chapter