31 30. NGAPAIN PERCAYA SAMA SETAN?

Claire menyodorkan handphone nya saat Leon baru saja akan melewati. Cewek itu tidak melirik juga tidak berucap sepatah kata pun.

"Apa maksudnya ini?" Leon bertanya ketus.

Claire kini menghadap sang Kakak. "Lihat aja, apa isi video dari hp ini."

Leon menyipitkan kedua matanya. Mengambil handphone Claire dari genggamannya dan menuruti suruhan adiknya. Leon awalnya bingung, namun dia juga penasaran, apa yang ada di dalam video tersebut sampai Claire sangat yakin jika Leon akan puas melihatnya.

Namun Leon menghela napas saat teringat suatu hal. "Kakak, sibuk. Harus selesaikan berkas yang sempat tertunda tadi, maaf." Leon mengembalikan handphone Claire pada lengan adiknya dan melenggang pergi menuju kamarnya.

Claire mendengus. Nyaris sedikit lagi saja dia bisa meyakinkan Kakak nya, tetapi kenapa Leon berubah pikiran dan lebih mementingkan berkas kantor? Seperti tidak ada secuil pun waktu untuk menonton video yang susah payah Claire dapatkan.

Kalau saja Ryan tidak ada untuk membuka pintu ruangan dengan sangat lebar, mungkin saat ini Claire tidak akan bisa ada di rumahnya. Berlarian hingga kilo meter pun Claire lakukan hanya demi menyelamatkan karir sang Kakak. Claire tidak ingin melihat hingga mendengar bisnis Kakak nya hancur.

"Wisnu, harus mendapatkan hukuman yang sepadan."

Claire pasti sudah terlingkar sebagai orang yang tahu bisnis gelapnya. Wisnu akan melakukan segala cara agar bisa membuat Claire celaka bahkan hingga melayangkan nyawa. Sadis dan keji selain ingin selalu mendapatkan berlipat keuntungan yang begitu besar.

Claire tidak akan membiarkan Wisnu terus melakukan itu dengan tangan kotornya. Apalagi lelaki dewasa itu sudah mengatai Leon sebagai orang yang … bodoh. Jelas Claire sangat marah dan geram. Leon itu paling pandai dalam segala urusannya di kantor, tidak seperti Wisnu yang picik dan tidak memiliki hati.

Jika sudah begitu Claire mana mungkin bisa mengganggu pekerjaan sang Kakak.

'Kerja yang bagus.'

Claire melirik ke arah tangga. Ryan berada di ujung bersama dengan Sonia yang selalu saja di sampingnya. Hantu lelaki itu tersenyum lebar seolah ikut senang dengan keberhasilan Claire yang mendapatkan bukti jelasnya.

"Kak Leon, belum lihat."

'Nanti juga dia penasaran.'

Claire mengangguk perlahan. Kakak nya harus meluangkan waktu untuk berkas penting yang sekarang sedang di kerjakannya. Claire seharusnya mengerti dan memahami pekerjaan sang Kakak. Mungkin lebih baik Claire menyiapkan makanan untuk santapan makan malam dari pada Claire pening terus memikirkan masalahnya.

'Besok lo harus ngintai kepsek. Gue rada gelisah dia punya korban nyawa baru.'

Claire mendongak, menatap Ryan yang masih di tempatnya. "Bukannya aku harus ke rumah kamu?"

'Tapi kematian gue juga harus di selidiki kalau lo mau tenang.'

Claire mendeham. "Kepsek selalu datang ke ruangan apa?" tanyanya.

Ryan berkedip. 'Oh, iya. Ada satu lagi yang bisa jadi musuh lo selain cewek nyinyir yang terkenal itu.' sahutnya mengalihkan pertanyaan Claire.

"Maksudnya?"

'Dia cewek. Jago banget buat cuci otak manusia kayak kalian. Gue tahu kalau lo lagi nutupin aib seseorang untuk kebaikan.'

Claire menatap bingung. Ryan sebenarnya bicara mengenai Claire yang harus berhati-hati atau apa? Sungguh Claire tidak mengerti apa yang sedang di ucapkan oleh hantu itu.

'Temen lo udah di hasut, selain ada yang ga suka sama cewek nyinyir itu. Sebaiknya lo harus cegah mereka yang kepo, kalau engga … mungkin aib yang selama ini dia tutupi bakal menyebar dengan cepat.'

"Siapa orang yang bisa cuci otak murid di sana?"

'Bye!'

Claire menipiskan bibir, mendesis sebal melihat tingkah hantu itu yang menghilang dan muncul tiba-tiba. Dia pikir rumah itu milik siapa? Seenaknya saja menampakkan diri dan bilang tanpa unsur yang sangat jelas. Claire ingin yang sudah pasti, setidaknya Ryan melontarkan nama dari maksudnya.

Apa Claire harus percaya?

"Aku acuhin aja, ngapain percaya sama setan?"

>>>>>>>>>

Vero memijat kakinya yang terasa terpotong-potong beberapa bagian. Setelah sampai di rumahnya dia langsung saja tepar di atas kasurnya sambil mengerutu karena di tinggal oleh Claire. Cowok itu memijat bahunya dengan lengan kanan sedangkan lengan kiri masih di kaki.

"Sumpah! Gue baru kali ini lihat cewek yang larinya ngalahin juara marathon." celetuknya sambil meringis merasakan ngilu di sekujur tubuhnya.

Vero tidak sangka kalau Claire jago dalam berlari. Kemampuannya bukan hanya bisa membaca pikiran orang, tetapi juga bisa mengalahkan kecepatan motor rosi.

Cowok itu sudah mengirim pesan pada dua temannya untuk menemaninya di rumah seperti biasa. Namun sebelum Vero membaringkan tubuhnya ketukan di pintu kamar terdengar membuat Vero mengurungkan niatnya.

"Vero."

"Iya, Ma. Masuk aja ga di kunci, kok." sahut Vero yang kini duduk bersila di atas kasurnya.

Mama nya masuk dengan senyuman. "Sayang, kenapa kamu belum tidur?"

"Vero, belum ngantuk aja. Mama, sendiri kenapa belum istirahat? Bukannya capek baru pulang dari luar kota?"

Ada segurat rasa curiga pada sang Mama yang selama ini tidak pernah menghubunginya setelah pergi dari rumah bersama dengan teman bisninya itu. Vero tidak begitu peduli juga karena jika dia melarang maka Mama nya yang akan mengancam dengan berbagai hal aneh menurutnya.

"Mama, kangen kamu."

Vero tersenyum tipis. "Oh, ya? Kalau sama … Papa, kangen ga? Mama, yang sering lihat, Vero. Terus? Papa, yang udah lama hilang ga di kangenin?"

Mama nya mengulas senyuman lebar. "Kamu itu anak, Mama. Soal dia kamu tidak perlu ambil pusing, mungkin di luar sana dia sudah memiliki keluarga baru."

"Maksudnya apa?"

"Coba kamu hitung berapa lama dia tidak lagi ke rumah ini."

Vero memilih untuk diam. Di banding berdebat mungkin lebih baik Vero tidak memulainya lagi. Mama nya pasti akan terus mengalihkan dan menyalahkan Papa nya yang bagi Vero tidak bersalah sedikit pun. Menyikapi Mama nya yang sekarang sama saja keras kepalanya.

"Sorry."

Mama nya mengusap kepala Vero. "Mama, senang kalau kamu nurut. Jangan pernah melawan kalau kamu tidak ingin ada masalah dengan, Mama."

"Iya."

Terbukti. Vero memang lemah sebagai cowok. Masih baik Vero tidak melawan sang Mama, bagaimana jika di hubungkan dengan Lidia? Cowok itu juga tidak bisa berbuat lebih pada dirinya. Sepertinya Vero selalu kalah dalam urusan perempuan.

"Kalau begitu, Mama, pergi ke kamar, ya. Kamu juga harus tidur."

Vero mengangguk dua kali. "Night, Mom."

"Iya, sayang."

Mama nya pergi keluar dari kamar sedangkan Vero menghela napas panjang. Selama ini ternyata Mama nya tidak pernah merasa khawatir pada sang Papa. Dada Vero sakit sekali ketika mengingat Mama nya membawa teman bisnis atau teman biasanya di masukkan ke dalam rumah.

Vero tidak terima. Mama nya sudah tidak menghargai Papa nya.

"Gue harus cari, Papa, kemana." ucapnya gusar, Vero meluruskan tubuhnya saat di rasa pegal.

Pikiran Vero yang selalu di penuhi oleh bayangan Papa nya. Hanya perucapannya saja yang keluar, Vero tidak berusaha untuk lebih giat mencari keberadaan Papa nya. Karena bingung menjadikan Vero hanya bisa mendo'a kan sang Papa semoga selalu dalam lindunganTuhan.

"Oh, iya!" Vero melotot sambil beringsut duduk dan mengambil handphone nya yang bergetar di genggamannya. "Doni, di rayu nyokap? Lagi?!"

avataravatar
Next chapter