webnovel

3. Tamu Yang Tidak Diharapkan

Wanita bernama Natasha itu tengah berdiri di hadapan Ben sambil mengangkat dagunya. Wajahnya tampak angkuh dan menyebalkan. Meski begitu, kata semua orang, Natasha itu adalah seorang wanita yang cantik.

Harus Ben akui kalau wanita itu memiliki tubuh yang bagus, meski tidak terlalu tinggi. Rambutnya panjang sepinggang. Ia menata rambutnya dengan model ikal di bagian bawahnya. Riasan wajahnya sempurna karena memang wajahnya sangat mulut dan terawat.

Natasha mengenakan dress berwarna biru muda yang pas di badannya yang langsing. Sepatu hak tingginya cukup menunjang tubuhnya yang pendek. Meski begitu, ia tidak akan pernah menyamai tinggi badan Jihan sekalipun.

Sayang sekali, saat ini Ben sama sekali tidak mengharapkan kehadiran wanita itu di sini.

"Hai, Nat," ujar Ben dingin.

Sam menghampiri Natasha dan tersenyum lebar. "Halo, Natasha. Senang sekali bisa bertemu denganmu di pesta ulang tahunku."

"Oh, hai, Sam. Happy birthday. Aku membawa sebuah kado untukmu." Natasha mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya pada Sam.

"Waw. Thanks. Kamu tidak perlu repot-repot membawa kado untukku," ujar Sam basa-basi.

Sepertinya Sam masih ingin mengajak Natasha untuk berbicara, tapi setelah melihat wajah Natasha dan Ben yang tegang, Sam mengurungkan niatnya.

Sam berkata, "Kalian bicaralah berdua. Aku mau mengambil minuman dulu. Okay?"

Tidak ada yang menjawabnya. Sam pun pergi meninggalkan mereka berdua. Ben melipat tangannya di dadanya sambil membuang wajahnya ke samping.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ben dengan nada yang dingin seperti es batu.

"Tidak perlu bersikap seperti itu padaku," ujar Natasha. "Aku dan kamu sudah pacaran cukup lama. Mommy-mu sudah mengenalku dan menganggapku seperti keluarga. Sudah selayaknya aku hadir di hari ulang tahun sepupu yang juga teman kampusku."

Ben memutar bola matanya. "Aku dan kamu sudah putus. Lagi pula kita hanya berpacaran selama dua bulan. Itu tidak bisa disebut lama."

Natasha menghela napas. "Aku tidak pernah menganggap kalau hubungan kita putus. Aku masih mencintaimu, Ben."

Ben memejamkan matanya sambil mengurut tulang hidungnya dengan jarinya. "Kamu membuatku sakit kepala."

"Apa? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?"

"Nat, kita sudah putus. Aku bahkan sudah berpacaran dengan orang lain," ujar Ben yang sudah membuka matanya dan menatap wanita itu dengan wajah yang lelah.

"Aku tidak peduli, Ben. Bagiku, kamu tetaplah kekasihku. Aku tidak bisa melupakanmu, Ben. Aku mohon."

Tiba-tiba, ibunya datang menghampirinya. "Hai, Natasha!" seru ibunya.

Lalu ibunya mencium pipi Natasha kiri dan kanan dengan riang gembira. Sungguh sambutan yang sangat hangat. Ben jadi merasa semakin tidak enak hati.

"Halo, Aunt Milly," sapa Natasha yang tampak akrab dengan ibunya Ben. "Aunt Milly tampak sangat cantik hari ini. Aku suka dress-nya. Cocok sekali di badan Aunty yang langsing dan tinggi."

"Ah, terima kasih, Nat."

Ya, jika dibandingkan dengan ibunya, Natasha tampak seperti kurcaci. Namun, bukan itu alasan Ben putus dengan Natasha. Hal itu disebabkan karena wanita itu terlalu berisik dan lengket seperti lem super.

Ben cukup kesulitan saat putus dengannya karena wanita itu terus menerus merengek-rengek padanya. Natasha menjadikan ibunya sebagai senjata. Itulah sebabnya kenapa wanita itu bisa hadir di tempat ini. Kebetulan sekali Natasha dan ibunya Ben adalah teman yoga bersama.

Selama pesta berlangsung, Natasha terus menerus menggandeng tangan Ben, seolah mereka masih berpacaran. Uncle Marshal dan Aunt Ika bahkan mendukung hubungannya dengan Natasha. Tidakkah mereka melihat jika Natasha sama sekali tidak pantas dengannya.

Jihan baru saja kembali setelah satu jam menghilang. Ben langsung menghampiri Jihan dan tersenyum lebar padanya. Sahabatnya itu akan selalu menjadi tameng yang manjur untuk menghindarinya dari cobaan para wanita.

"Jihan! Ke mana saja kamu? Aku pikir, kamu tidak akan kembali lagi ke sini," ujar Ben lega.

"Hah? Aku kan sudah bilang kemarin kalau aku harus ke perkebunan dulu sebentar untuk mengurus beberapa hal. Memangnya kamu mencariku?" tanya Jihan bingung. "Kamu kan bisa meneleponku, Ben."

"Ah, iya aku lupa." Ben terkekeh.

Jihan ikut bekerja pada Uncle Marshal untuk mengurus perkebunan. Selain itu Jihan juga adalah sahabat Ben yang sangat baik di kampus. Ben, Jihan, dan Sam sudah seperti tiga sekawan yang akan selalu bersama-sama.

Natasha langsung mendekati Ben dan menggandeng tangannya dengan sikap protektif lagi. Ben melepaskan tangannya sambil menatap kesal pada wanita itu.

"Oh," ujar Jihan. "Aku tidak tahu kalau kalian balikan lagi. Aku pikir kalian sudah putus."

"Ya, aku dan Nat memang sudah putus. Ya kan, Nat," ujar Ben sambil memandang wanita itu sinis.

"No! Aku dan Ben masih berpacaran." Natasha mengucapkan kalimatnya dengan tegas.

Jihan mengangguk perlahan sambil menatap ke arah Ben yang sedang memandangnya dengan wajah masam. Ben yakin jika Jihan pasti bisa membaca pikiran. Semua yang Natasha katakan itu tidak benar. Natasha bertindak bodoh dengan mengaku-ngaku Ben sebagai pacarnya. Rasa cemburunya melampaui akal sehatnya.

Tidak dipungkiri jika selama ini, Natasha selalu membenci Jihan. Hal itu dikarenakan Jihan sangat dekat dengan Ben. Natasha cemburu berat pada Jihan karena Ben selalu terlihat akrab dengannya.

Sejauh ini, Ben hanya merasa nyaman berteman dengan seorang wanita, yaitu Jihan, tidak ada yang lain. Selebihnya, jika bukan pacar atau mantan, maka wanita itu hanyalah sekedar teman biasa.

Tidak pernah sedikit pun Ben berpikir untuk berpacaran dengan Jihan. Ia tahu selera Jihan seperti apa. Wanita itu suka dengan pria yang lebih tua, seperti Uncle Marshal atau Uncle Monty.

Selera Jihan memang luar biasa. Ia tidak butuh anak muda yang tampan, tapi ia butuh pria dewasa kaya raya yang sudah matang. Bagus sekali. Sayang karena paman-pamannya sudah ada yang punya.

Ben tidak heran jika Jihan berniat untuk mendapatkan pria yang mapan. Bagi Jihan, hidup itu adalah perjuangan. Keadaan ekonomi Jihan tidak sebaik Ben. Itulah sebabnya ibunya Ben dan Uncle Marshal selalu menolong Jihan. Untuk menjaga perasaannya, Uncle Marshal sengaja menyuruhnya untuk membantu mengurus perkebunan dan memberinya gaji yang lumayan besar.

Sam mengajak Ben, Jihan, dan Natasha untuk mengambil kudapan. Mereka duduk di dekat Jordan dan pacarnya. Namun, sepertinya Jordan tidak ingin didekati. Mungkin ia takut jika Ben menguping pembicaraannya dengan sang pacar.

"Han, apa kamu ada rencana akhir pekan nanti?" tanya Ben pada Jihan, membuat Natasha menoleh padanya.

"Hmmm, aku tidak tahu. Aku harus ke kampus untuk mengurus beberapa hal. Ada apa, memangnya?" tanya Jihan sambil mengunyah apel di mulutnya.

"Oh, tadinya aku ingin mengajakmu menonton ke bioskop," kata Ben. "Kamu juga ikut ya, Sam. Ada film action terbaru."

"Benarkah?" tanya Sam sambil melebarkan matanya.

"Ya, judulnya Mission Number Nine," kata Ben.

"Apa pemerannya Scott Carrison bukan?" imbuh Jihan.

"Yes! That's right!" Ben menunjuk Jihan sambil tersenyum lebar.

"Hei, apa kamu tidak akan mengajakku?" tanya Natasha yang sejak tadi menjadi kambing congek.

Next chapter