1 PROLOG

Azzura kecil terduduk sambil menatap kosong ke halaman panti asuhan. Sesekali dia menyusut cairan bening yang mengalir turun dari dalam hidung mancungnya bersamaan dengan air bening yang juga megalir pelan di kedua pelupuk matanya. Bocah lima tahun itu, sama sekali tidak tahu apa yang salah dengan kedua orangtua baru-nya.

"Bagaimana bisa aku diharuskan memilih untuk pergi dari rumah, tempat tinggal yang selama ini aku tahu! Aku hanya ingin tinggal bersama dengan kedua orangtuaku, seperti anak yang lain!" Azzura mengepalkan jemarinya, saat sosok ibu dan ayahnya bergegas naik ke dalam mobil. Kedua bola matanya mendadak tegang. Nafasnya memburu menahan emosi atau lebih tepatnya kesedihan bercampur rasa marah.

Di balik tubuh mungil itu, dua pengawas panti asuhan dan satu sosok lain nampak kebingungan. Sosok lain itu adalah Nyonya Silvana, Ibu pemilik panti. Dia sebenarnya sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi pada Azzura. Ketika pasangan Alderon menelponnya tadi pagi. Karena kejadian ini bukan kali pertama. Dua kejadian yang sama pernah terjadi sebelumnya.

Kejadian pertama, terjadi saat usia Azzura menjelang satu tahun. Kedua, saat usianya menjelang tiga tahun. Dan yang baru saja terjadi, tepat seminggu sebelum hari kelahirannya. Sekadar info Azzura ditaruh di panti asuhan milik Nyonya Silvana -yang entah oleh orangtua kandungnya atau siapa- masih dalam kondisi dengan tali pusat yang basah oleh darah! Azzura resmi menjadi penghuni panti tepat di hari kelahirannya.

Azzura berulang kali terpaksa dikembalikan ke panti oleh orangtua adopsinya. Semua tanpa alasan yang jelas, hanya saja semua selalu bilang ada sesuatu yang aneh pada Azzura yang membuat mereka merasa ketakutan dan tidak nyaman.

Nyonya Silvana dan pengurus panti asuhan bingung, sebenarnya apa keanehan yang membuat mereka terpaksa mengembalikan anak semanis Azzura.

Semua calon orangtua Adopsi pada awalnya selalu jatuh hati begitu melihat sosok Azzura kecil. Bagaimana tidak, wajahnya yang sangat tampan sudah nampak jelas, meski usianya masih belia. Pipinya yang begitu bulat nampak lucu dan sangat menggemaskan. Bola mata hazelnya selalu terlihat lebih cemerlang dibanding dengan anak-anak penghuni panti yang lain, seolah pertanda bahwa dia adalah calon orang hebat. Kulitnya yang putih bersih sangat kontras dengan warna rambutnya yang hitam mengkilat. Sungguh bocah kecil yang sangat lucu dan terlihat cerdas!

Sayangnya, penampilan fisik tidak menjamin kebahagiaan Azzura kecil. Entah kenapa, setiap kali dia berhasil mendapat orangtua adopsi, selalu berkakhir menyedihkan. Azzura selalu dipulangkan lagi ke panti asuhan.

"Sudahlah Nyonya, jangan biarkan Azzura diadopsi orang lagi. Kasihan, bisa-bisa dia trauma!" Miriam, salah satu pengurus panti yang paling senior terlihat berusaha menenangkan kegalauan Silvana.

Silvana yang masih menatap Azzura, menyeka pelan air mata yang luruh di kedua pelupuk matanya.

"Padahal, aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk anak itu. Kenapa selalu berakhir tragis begini? Padahal selama Azzura tinggal bersama dengan kita. Tak ada hal yang aneh yang terjadi ... bukankah begitu?" Silvana menoleh ke arah Miriam dan Evlin, dua orang pegawainya yang bertugas mengurus anak dengan usia di bawah delapan tahun.

Miriam dan Evlin lekas mengangguk demi mendengar pertanyaan dari Silvana. "Benar Nyonya, saya sendiri juga heran. Kenapa anak semanis dan sebaik Azzura selalu dipulangkan kembali ke panti ..." Evlin yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara.

"Sebaiknya Nyonya harus tegas, jika nanti lagi ada yang memaksa untuk mengadopsi Azzura, jangan diberikan izin." Miriam memberi saran. "Kami tidak keberatan untuk tetap merawat Azzura!"

"Betul Nyonya! Saya juga setuju. Ini sudah tiga kali, Azzura dikembalikan oleh orangtua adopsinya. Dia pasti merasa sangat sedih. Saya saja yang cuma melihat merasa sangat sedih. Apalagi Azzura yang langsung mengalaminya sendiri." Evlin ikut menambahi. Membuat Silvana semakin bertambah galau.

Silvana terdiam, sepertinya sedang berpikir panjang ke depan. "Baiklah, jika menurut kalian itu adalah hal yang terbaik baginya, aku akan menjadikan saran dari kalian sebagai bahan pertimbangan untuk menolak permintaan adopsi, kebijakan ini hanya berlaku khusus untuk Azzura saja." Silvana menghela nafasnya. "Sekarang, ajak Azzura ke ruang tengah untuk segera ikut makan malam bersama yang lain. Bukankah ini hampir waktunya persiapan makan malam?" Silvana melirik jam antik warisan keluarga besarnya yang kokoh berdiri di sudut ruang kerja miliknya, jarum jam menunjukkan waktu sebentar lagi pukul enam tepat.

Miriam bergegas berjalan mendekati Azzura yang masih duduk bertopang dagu di sudut dekat jendela, dia mengusap pelan puncak kepala Azzura. "Hei, sedang apa? Ini hampir waktunya makan malam, daripada melamun, apakah Zura ingin menemani Bibi Miriam menyiapkan piring?" Miriam mencoba merayu. Azzura bergeming, dia masih terus menatap ke arah halaman depan panti asuhan.

"Bibi ... kenapa ayah dan ibu baruku, membawaku ke sini lagi? Apakah aku nakal? Apakah mereka membenciku?" Azzura menatap Miriam. Bola matanya yang bening terlihat masih berkaca-kaca, membuat hati Miriam tidak tega.

"Tidak , Nak. Tidak ... Azzura anak baik. Mungkin ada sesuatu yang salah dengan mereka. Ambil hikmahnya saja, itu tandanya, kamu memang harus tetap tinggal menemani Bibi dan Ibu di sini," Miriam menatap Silvana yang berdiri tak jauh dari mereka berdua.

"Ehm, ambil hikmahnya itu apa Bi?" Azzura kini menatap Miriam dengan penasaran.

Silvana buru-buru berjalan mendekat, "ambil hikmahnya itu, hmm ... semacam dengan yang paling bagus untuk kebaikan kita. Dalam hal ini, yang paling bagus dan cocok buat Azzura adalah tetap tinggal di sini bersama kami." Silvana berjongkok di hadapan Azzura. Bocah itu mendadak memeluk Silvana.

"Aku memang lebih suka ambil hikmahnya saja, Bu. Lebih baik aku ambil hikmahnya saja daripada harus pergi meninggalkan Bibi dan Ibu!" Azzura mengecup pipi Silvana.

Silvana tertawa, meski di dalam batinnya sedih, bagaimana bisa, bocah sepintar dan selucu ini mengalami tiga kali pemulangan kembali setelah proses adopsi.

"Kalau begitu, sekarang temani Bibi Miriam dan Evlin ke dapur untuk membantu Bibi Rora dan Indi untuk bersiap. Bukankah Azzura suka dengan sup isi sosis dan bakso?" Silvana menatap Azzura lekat-lekat. Bocah kecil itu tersenyum. "Tentu saja aku suka sekali! Aku akan dengan senang hati membantu semua Bibi yang ada di sini! Karena aku sayang mereka semuanya!" Azzura tertawa. Membuat tiga wanita itu tersenyum penuh rasa haru.

"Baiklah, ayo kita segera berangkat menuju dapur!" Miriam bangkit dari duduknya dan meraih tangan mungil milik Azzura dan menuntunnya keluar dari ruang kerja milik Silvana.

Sejak saat itu, Azzura tidak lagi masuk dalam daftar anak yang bisa diadopsi. Dia menjadi satu-satunya penghuni panti asuhan milik Silvana yang tetap tinggal di panti asuhan hingga lulus dari perguruan tinggi.

***

avataravatar