webnovel

Kondangan (Part 2)

Gue menatap bang Sul dan motornya bergantian. Sekarang dia sudah duduk anteng di atas motornya menunggu gue ikut naik.

"Ayo naik. Kok bengong?" gue menghela nafas. Ni orang bisa aja bikin gue cengo.

"Motor baru?" tanya gue. Karena menurut ingatan yang sudah tertatanam di dalam otak gue motor dia itu motor bebek. Pantesan beda tadi suaranya.

Dia nyengir menampakkan giginya yang putih eh agak kekuningan juga, haha.

"Iya dong," katanya dengan nada penuh kebanggaan. Dan gue makin natap dia dengan tatapan redup nan cengo. Bisa aja ni orang bikin gue naik darah, gak lihat apa gue ini pakai dress panjang yang roknya lebar bingit. Masa iya gue naik ke atas motor gede begini? Mau duduk nyamping? Takut gue. Takut rok gue nyangkut di roda motor.

"Pakai Mabuchi aja deh," ajak gue. Ituloh Mabuchi nama motor matic gue.

Sekarang giliran dia yang menghela nafas.

"Masa pakai matic Dek? Kan kaki Abang panjang." dia menerjang sedikit kakinya memamerkan kaki jenjangnya yang gak banget itu.

"Kalau Kamu yang bawa baru," katanya dengan nada sedikit rendah.

Plak.. Gue getok sedikit helm nya.

"Maksud Lo?" Helo lo ngatain gue pendek gitu? Walaupun fakta gue tersinggung.

Bang Sul mengelusi sisi helm yang gue jitak. "Barbar."

"Ayo cepat naik. Mau makan daging gak?" katanya. He gue mau ikut kondangan juga buat nutupin malu lo, kasian gue kalau lo di katain jomblo apalagi dikira abnormal.

"Kondangan sendiri gih Bang." Gue yang tadi sudah memasang helm, gue lepas lagi. Gak tahu kenapa hari ini gue kesal mulu bawaannya ni orang dari gue bangun tidur ralat dari gue belum bangun udah gangguin gue.

"Eeeh jangan ngambek." Langkah gue terhenti akibat tarikan tangannya di jilbab bagian belakang gue.

"Ayo naik sini sayang," bujuknya. Mungkin kalau gue kayak cewek lain gue bakal kesemsem dengar kata sayang darinya. Tapi sayangnya kuping gue udah kebal sama gombalan gak bangetnya dia.

"Motor lama ke mana?"

"Di jual." Gue mulai naik ke boncengan motornya setelah bersusah payah mengatur agar rok gue gak nyangkut di roda motor.

"Motor yang lamakan masih bagus, ngapain beli motor lagi? Apa jangan - jangan karena mau kondangan ke mantan ya sampai beli motor baru?" Tangan gue bersiap akan memukul helmnya kalau sampai dia bilang iya.

"Kan biar lebih kece pakai motor gede, Manly. Lagian ini motor sudah di beli dua bulan lalu," jelasnya. Dan gue hanya ber O ria sembari menurunkan tangan gue yang siaga hendak memukul helmnya Saat Bang Sul mulai menjalankan motor.

"Abang mah. Cicilan rumah belum lunas udah nyicil motor lagi, kapan nabungnya." Iya ni orang cicilan rumah aja masih belasan tahun lagi dia udah main ganti motor aja.

"Hehee." Dia mulai tertawa renyah kalau kuping gue gak salah dengar.

"Ini cash loh," bangganya, pantesan mukanya penuh kebanggaan gitu. Sengak ey.

"Iss kok Aku gak tahu?"

"Loh, kan biar jadi kejutan." Kejutan apa coba? Kejutan itu kalau situ beliin saya motor bwang.

"Eh kalau udah lunas ada BPKBnya dong?" Dia mengangguk.

"Ngapain nanya BPKB. Ada niat jahat Kamu ya?" Gue langsung nyengir.

"Emang. Sini mana BPKBnya mau Aku gandain mayan buat beli cilok," kata gue dengan nada riang.

"Asem motor puluhan juta mau ditukar sama cilok."

***

Yang gue heran ada aja kejadian unfaedah kalau gue lagi jalan berdua sama dia. Contohnya ni yah sekarang kami lagi di lampu merah. Sialnya pas kami sudah mendekat lampunya udah keburu merah duluan.

"Bang." gue tepuk sedikit bahu bang Sul membuat dia menoleh sedikit ke arah gue yang berada di belakangnya.

"Menurut Abang itu cewek apa cowok?" tanya gue sembari memberi kode ke arah seorang yang mengendarai motor kawasaki hitam dengan celana jeans gombrang rada belel. Kaos hitam berlengan pendek dan helm gede itu loh yang nutup semua wajah.

Bang Sul menoleh ke arah gue dan orang yang tak jauh dari kami bergantian.

"Cowok kayaknya. Kenapa? Naksir?" katanya setelah itu terkekeh sendiri.

Gue tepuk punggungnya sebel.

"Masa sih? Kalau menurut Aku itu cewek," ucap gue percaya diri.

Dia berdecak tidak percaya. "Cowok," tegasnya.

Gue menggeleng. "Cewek,"

"Cowok."

"Cewek."

Dan mulailah percekcokan di jalan yang cukup ramai ini. Percekcokan gak penting.

"Kok Kamu bisa bilang itu cewek? Dapat wangsit dari mana?" tanyanya tak mau mengalah.

"Abang tu ngepet di mana sampai menyimpulkan itu cowok?" ucap gue gak kalah ngotot.

"Ya jelaslah. Lihat dari belakang aja perawakannya kayak cowok." Gue mangguk-mangguk mendengar argumennya. Dan gue juga tadi menarik kesimpulan seperti itu sebelum mata gue jatuh ke arah lain dari bagian tubuh orang tersebut.

"Emang cowok suka pakai sendal kembang-kembang ya?" tanya gue sembari menunjuk sendal berwarna biru muda dengan rangkaian bunga di atas talinya.

Bang Sul mengikuti arah yang gue tunjuk kemudian menoleh ke arah gue lagi. Mulutnya mulai mau bicara sebelum suara klakson tak sabaran mulai terdengar nyaring. Padahal lampunya baru berubah hijau per setengah detik yang lalu. Et dah.

Setelah itu anehnya kami tak saling bicara.

"Eh Bang kita mau ke mana?" tanya gue merasa aneh. Kami seharusnya berbelok masuk lorong Pattimura, lah ini malah dilewati begitu saja. Apa dia mau balik dulu ke rumahnya?

"Bang. Woy." Gue tepuk punggungnya setelah cukup lama gue gak mendengar jawaban darinya. Motor yang gue naiki ini rasanya jalan makin ngebut. Gila kenapa ni orang? Kebelet boker?

"Bang." Gue menepuk lagi punggungnya. Gemes lama-lama gue jitak juga ni helmnya. Andai aja gue gak takut jempalitan ni motor udah gue jitakin noh helmnya gue jadiin gendang sama pala-palanya sekalian.

"Kita pastiin dulu itu orang cewek apa cowok," katanya agak berteriak supaya kuping gue yang kadang suka susah denger ini bisa mendengar dengan jelas.

What? Nyari kerjaan amat ni orang.

"Bang ngapain pake dikejar segala sih? Gak penting banget."

Dia tetap diam fokus mengendari motor barunya lebih kencang mengikuti orang yang tadi kami ragukan jenis kelaminnya.

"Bang ini udah kejauhan ngejarnya," ucap gue lagi.

Walau samar gue bisa mendengar helaan nafasnya. Kemudian gue rasa motornya mulai menepi ke kanan dan mulai berbelok. Berputar arah. Lagian aneh-aneh aja sampai segitunya jadi nyesel gue main tebak-tebakan unfaedah sama ni orang.

"Abang kepo." Suaranya terdengar lemah. Bangke gitu aja di kepoin.

"Sabar Bang. Kalau jodoh pasti bertemu," kata gue sok bijak dan gue bisa dengar dengusan dari mulutnya.

Hahaa...

Eh tapi si pacar bala - bala gue ini baik banget loh. Padahal rumahnya lebih dekat ke tempat kondangan daripada rumah gue yang belasan kilo dari rumahnya tapi dia rela jemput gue. Eyaaa bilang aja malu kondangan sendiri lu bang

Next chapter