webnovel

THE KNIGHT

15th January, 22.35 P.M. X Club, London, UK.

Jennifer menarik rambut seorang wanita dengan keras. Arthur bergidik melihatnya. Turut merasakan kulit kepala yang panas karena tarikan itu. jennifer menarik wanita itu sampai beberapa langkah. Brittany hanya melongo melihatnya, tidak berani berkata-kata terhadap sikap jennifer.

“Emily.” Desis jennifer pada wanita yang rambutnya ia tarik.

Emily berusaha melepaskan diri dari tangan Jennifer dan menggeram,“Sialan kau.”

“Kau keliru. Harusnya aku yang mengatakan itu, Em.”

Tak lama, satu teman Emily, Lucy, membantu Emily melepaskan diri. Begitu terlepas, kedua wanita itu menatap nyalang jennifer. Sementara jennifer membersihkan tangannya seolah baru saja memegang kotoran.

“Kalian masih berani menampakkan diri setelah kejadian itu rupanya.” Ucap Jennifer sinis.

Lucy berdecih. “kenapa kita harus takut? Lagipula, harusnya kau yang sadar dengan posisimu sekarang. Kau harusnya bekerja, bukannya malah bersenang-senang.”

Jennifer tertawa, seolah menganggap perkataan Lucy adalah lelucon baginya. Bahkan kedua tangannya bertepuk tangan dengan keras.

“terima kasih atas perhatianmu. Aku senang mendengarnya. Sayangnya, aku bisa menebak jika kau tidak melihat berita tentangku, ya? kau buta tulisan? Tidak punya televisi di rumahmu? Kau tuli?”

Di tempat duduknya, arthur tertawa atas ucapan jennifer yang tentunya mampu menohok siapapun yang mendengarnya. Brittany menahan tawanya yang hampir keluar.

“Sialan kau. Berani sekali kau –“ kedua tangan Emily hampir mengenai wajah cantik jennifer jika saja Arthur tidak menahannya.

Emily dan Lucy cukup terkejut. Mereka tidak menyadari kedatangan Arthur yang terlalu tiba-tiba. Jennifer pun tak menduga jika arthur akan datang dan menahan tangan Emily. Padahal kedua mata jennifer sudah tertutup, bersiap menerima tamparan Emily –seperti biasanya.

“Aku sarankan sebaiknya kalian pergi dari tempat ini, Ladies.” Ucap Arthur. Emily menarik tangannya dari Arthur dan berdecih.

“Siapa kau?” Emily menatap Arthur dari atas bawah, kemudian berganti menatap jennifer, dan tersenyum miring. “ah, kau pasti salah satu korban jalang ini, ya, kan?”

Jennifer berusaha menahan amarahnya kembali. Wanita sialan ini malah membawa nama Arthur untuk menyerangnya. Namun, saat melihat wajah Arthur yang tenang dan menunjukkan senyumnya, jennifer berusaha sekeras mungkin untuk tidak menonjok kedua wajah wanita di depannya ini.

“hei, kurasa jennifer memang benar. Kalian tidak pernah melihat berita, ya? Dia –“

Ucapan Brittany yang berusaha membela arthur dan jennifer terpotong oleh Lucy yang berkata, “untuk apa kami melihat wajah jalang ini? melihatnya di sini saja sudah membuat kami muak.”

Brittany menggeram. Namun, semua belum selesai.

“Ah, bagaimana dengan pria itu? Hm, Robert? Bukankah kalian sudah dekat sejak lama? Aku merasa kasian padanya. Kau memang wanita yang licik, jennifer. Akui itu.” sindir Emily, melipat kedua tangannya di depan dada.

Arthur menoleh pada jennifer yang menutup kedua matanya dan menghela napasnya pelan. Arthur tahu jika jennifer sedang berusaha tidak bertingkah di luar kendali.

“hei, Tuan.” Emily mendekati Arthur, menyentuh kerah baju arthur dan mengusapnya pelan. “Seharusnya kau tahu perempuan seperti apa dia. Kau tahu, kau sedang dipermainkan di sini. Aku yakin, tidak lama lagi dia akan mencampakkanmu.”

Arthur mencekal tangan Emily dan menahannya di depan dadanya. “I don’t care. Orang yang tidak tahu apa-apa sepertimu seharusnya diam dan nikmati hidupmu selagi masih bisa. Kau tidak tahu kau sudah berurusan dengan siapa di sini, Nona.” Ucap Arthur dengan nada rendahnya yang dalam.

Jennifer menoleh pada Arthur, berkedip beberapa kali karena tak percaya ekspresi Arthur saat ini dapat berubah 180 derajat. Jennifer akui, ini adalah pertama kali baginya melihat Arthur yang seperti ini.

Arthur menghempaskan tangan Emily dan wanita itu berdecih sebal sebelum pergi meninggalkan mereka. Brittany memperhatikan kepergian mereka dengan takjub.

“Wow. Sepertinya mereka ketakutan.” Ucap Brittany, mengedikkan bahunya, dan duduk kembali.

Arthur duduk di sofa kembali. Jennifer menoleh pada Arthur dan mendapati arthur yang hanya diam dan menyesap whiskynya dengan santai. Kenapa pria ini bisa bersikap sesantai itu?

Jennifer mengambil duduk diantara mereka berdua, menuangkan wine pada gelasnya. Arthur melirik pada jennifer.

“Satu gelas saja, Jennifer.” Arthur melayangkan peringatannya.

Jennifer mengernyitkan keningnya. Arthur terdengar seperti ayahnya yang sedang berusaha melarangnya melakukan sesuatu yang ingin ia lakukan saat ini. tapi, alih-alih menolah, jennifer menuruti Arthur.

“Apa kalian sering seperti itu?” tanya Arthur kemudian.

“Itu makanan keseharian jennifer.” Jawab Brittany cepat.

Arthur mengernyit tidak suka pada jawaban Brittany yang menyebut hal penting tadi sebagai ‘makanan keseharian’ lagi. makanan keseharian? Yang benar saja. Siapapun yang dibully seperti itu tidak akan bertahan sekuat ini.

“Tapi tenang. Dia selalu melawan mereka seperti itu juga. Yah, walaupun kadang jennifer tidak dapat mengantisipasi serangan ghaib yang tidak terduga.” Sambung Brittany –seolah menjawab pikiran Arthur baru saja.

“serangan ghaib?”

“Hmmm, bagaimana menjelaskannya ya –ah, misalkan saja seperti menjatuhkan karir Jennifer dengan fitnahan dan dilakukan tanpa jennifer ketahui atau semacamnya?”

Arthur menganggukkan kepalanya berkali-kali. Ia menoleh pada jennifer yang hanya diam. Wajahnya terlihat santai, namun ia tahu jennifer lelah saat ini. atau mungkin nanti, jennifer pasti lelah menghadapi mereka semua.

“Aku kira semua artis itu berteman.” Celetuk Arthur.

Jennifer menoleh cepat pada Arthur dan berkata, “Oh, kau terlalu membayangkan semuanya secara berlebihan, Arthur. Tidak ada hal seperti itu di dunia kami –kemungkinan kecil ada, tapi kebanyakan mustahil. Ikatan pertemanan di dunia kami tidak akan bertahan lama sampai menemukan teman baru dan meninggalkan yang lama. Astaga, aku sudah muak dengan itu semua. It sucks.” Jennifer kembali menenggak habis winenya.

Arthur lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Seolah mengingat sesuatu, arthur tersenyum miring. “Ah, aku jadi mengerti kenapa sebelum ini kau sempat jual mahal padaku.” Kekeh Arthur.

“apa katamu? Hei, aku hanya tidak ingin punya teman tidak waras.” Sanggah jennifer tidak terima.

“jadi, kau menganggapku waras, kan?”

Jennifer menggeram. Baru saja ia hendak kembali protes, Brittany mencegahnya. “Sudah, sudah. Ada apa dengan kalian ini. Ah, kau yang waktu itu, kan? Arthur? Aku sempat mendengar kalian berdua saat itu.” sela Brittany, mengulurkan tangannya.

Arthur tersenyum dan membalas uluran tangan Brittany. “I am.”

“Aku Brittany.” kemudian, keduanya melepas jabat tangan mereka.

“Jadi, kalian akhirnya sudah berteman, ya?” tanya Brittany.

Arthur melirik pada jennifer sebentar dan tersenyum. “Begitulah. Butuh sedikit usaha, kau tahu.”

Brittany tertawa sebelum menganggukkan kepalanya mengerti apa yang dimaksud Arthur. “I know that.”

Setelah itu, ketiganya berusaha bersenang-senang dengan mengobrol dan sesekali menari di dance floor. Karena tidak ingi sendiri, jennifer dan Brittany mengajak arthur untuk menari bersama mereka. Awlanya, arthur menolak. Namun saat jennifer, dengan berani, berusaha menggelitiki pinggang Arthur, pria itu menurutinya. Asal kalian tahu, arthur adalah pria yang kaku di dance floor.

Saat Arthur kembali menuju tempat duduknya, Brittany menarik Jennifer mendekat. “Kau sangat beruntung, jeny!” seru Brittany tepat di telinga jennifer. Music berdentum keras membuat mereka harus mengeraskan suara mereka.

“Beruntung apa?!”

“Dia seperti kesatria pelindungmu!”

Seketika, jennifer melototkan kedua matanya. Ia tidak terima dengan sebutan yang terkesan membuat arthur adalah pahlawannya. Jennifer hanya menggelengkan kepalanya menolak apa yang dikatakan Brittany.

*****

16th January, 01.26 A.M. Jennifer’s House, London, UK.

Arthur memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah jennifer –sesuai alamat yang diberikan wanita itu. tadinya, Brittany akan mengantar pulang jennifer. Namun, karena arthur merasa khawatir dan mengatakan jika Brittany akan pulang terlambat jika mengantar jennifer ke rumahnya dahulu, arthur mengatakan ia sendiri yang akan mengantar Jennifer.

“jennifer? Hei.” Arthur berusaha membangunkan jennifer dengan menepuk pelan pipi jennifer.

Jennifer mengerang. Ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya.

“Apa aku perlu menggendongmu ke dalam?” tanya Arthur asal.

Jennifer mengernyit. “tidak perlu. Aku tidak mabuk.” Ketus Jennifer.Arthur tertawa dan membiarkan jennifer keluar dari mobilnya setelah berpamitan.

Memasuki kamarnya, jennifer kembali membuka matanya selebar mungkin. Ia harus membersihkan dirinya sebelum pergi menuju dunia mimpinya. Dengan asal, ia membuka pakaiannya di samping ranjang dan berjalan memasuki kamar mandi.

Selesainya, jennifer keluar dengan handuk di kepalanya. Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya, dan membuka pesan yang ada di notifikasi. Nomer tidak diketahui.

“I’ll come.”