1 A.1 TRUTH OR DARE

Vincent melirik jam tangan emas di pergelangan tangan kanannya, arah jarum jam menunjukkan tepat jam tujuh pagi. Mereka benar-benar menyewa tempat ini dua belas jam penuh. Vincent yang datang ke tempat ini karena dijemput paksa Farell di tengah pesta ulang tahun tetangganya sangat menyesal. 

"Ibuku akan sangat marah jika tahu aku pergi," desis Vincent.

"Percayalah, Vin. Malam ini akan sangat menyenangkan," jawab Farell percaya diri.

Kelakuan teman-temannya tak jauh beda dengan orang gila, mereka menenggak bergelas-gelas wine dan bermain-main tidak jelas, tertawa pada lelucon murahan dan membully satu sama lain.

Mereka adalah anak-anak orang kaya yang hidupnya putus asa. Seperti halnya Vincent, mereka adalah para pengusaha-pengusaha muda yang terpaksa menjalankan bisnis kakek atau ayahnya. Hidupnya penuh dengan tuntutan dan aturan, ibu-ibu mereka menerapkan standar kualitas performa mereka di depan umum dengan tidak umum. Harus bisa segala hal, harus memiliki bermacam-macam softskill yang sang ibu tentukan, harus berpenampilan rapi dan menarik, harus berkarisma terutama di depan karyawan. Jika tidak, keluarganya akan memaksa mereka dengan cara apapun.

Tapi di luar keluarga, anak-anak malang itu bergaul sesukanya dengan yang lain, karena di rumah tidak mungkin bisa melampiaskan sisi nakalnya. 

Vincent bersendawa sembari mengangkat bokongnya dari kursi empuk yang didudukinya. Aroma tak sedap menyeruak dari mulutnya, namun tak dipedulikan oleh teman-teman karena sudah biasa dengan aroma alkohol itu. Jam tujuh pagi, para penari perut yang bergantian memamerkan tubuhnya di ruangan VIP mereka, mulai satu persatu.

"Oh ayolah, Boy. Ini masih pagi," Gerry menarik tubuh Vincent hingga kembali duduk di meja mereka. Tidak seberapa, Vincent, Gerry, dan beberapa lelaki yang lain hanya bermain truth or dare di tempat elite ini. Mereka menghabiskan uang berjuta-juta untuk memesan ruang VIP kelab yang paling bergengsi di kota mereka. 

Jika orang-orang pada umumnya menyewa tempat ini untuk memutar lucky wheel sebagai permainan seru mereka, atau memainkan kartu dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berjudi, maka berbeda dengan geng absurd Vincent. Mereka menyewa tempat ini hanya untuk bermain truth or dare seperti anak SD dengan botol minuman. Siapa yang kena putaran tutup botol minuman maka Ia yang menjadi korban, dan Ia harus memilih mengorbankan kejujuran atau tantangan.

Naas bagi Vincent karena Ia menuruti kemauan Gerry kali ini, padahal jam kantornya akan berlangsung satu jam lagi. Teman-temannya bersorak karena lagi-lagi Vincent yang mendapat ujung tutup botol itu.

"Aku pilih dare," ucapnya tidak berminat.

"Yakin? Kau yakin, Vin?" Farell menunjukkan jari telunjuknya ke wajah Vincent yang frustasi.

"Aku ingin Kau mencium perempuan tapi bukan perempuan di tempat ini, Vin," usul Gerry.

"Setuju, aku lebih setuju jika Kau menciumnya di tempat keramaian," sambung Farell.

"Lebih seru lagi kalau gadis itu tidak mengenalmu, Vin. Kita akan melihat bagaimana sebenarnya martabatmu di depan wanita," ucap Gerry lagi. Farell bertepuk tangan setuju disusul oleh teman-temannya yang lain. 

Vincent kesal bukan kepalang, nafasnya naik turun, teman-teman laknatnya berusaha mempermalukannya kali ini, tentu saja Ia lebih suka memberikan segepok uang pada mereka seperti kegiatan berjudi pada umumnya. Tapi sayangnya, anak-anak para konglomerat itu sudah tidak berselera melihat uang. Hidup bagi mereka hanyalah hiburan bukan mencari uang, bahkan uanglah yang mencari mereka. Semalam suntuk ini Vincent menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Nasib sial menghinggapinya setelah Ia kabur dari pesta ulang tahun tetangganya.

"Kita pulang saja, Gerry. Atau kamu lebih memilih terlambat masuk kantor dan dimarahi nenekmu?" Elak Vincent.

"Oh, tidak bisa, Kawan! Kita masih ada urusan yang harus diselesaikan," Tommy yang sedari tadi diam saja sekarang ikut bersuara. Teman-temannya bertepuk tangan saking senangnya dengan ucapan Tommy.

"Kau harus mencium gadis dulu, Vincent," ucap Gerry mengingatkan konsekuensi yang harus Vincent terima. Farell tertawa terkikik di belakang ketiga temannya.

Satu botol anggur yang kebetulan berada di lantai, pecah berserakan akibat tendangan sepatu Vincent. Kebiasaannya jika sedang marah.

"Oh, santailah, Vin. Kita tidak harus seserius itu. Kau lelah? Ayo kita pulang," ucap Farell. Dua temannya yang lain menahan tawa karena mereka berhasil memancing emosi Vincent. Bagaimana tidak, mereka sangat kompak untuk memaksa Vincent melakukan hal yang sangat tidak bermoral. Mencium gadis di tempat keramaian secara random.

"Ah, aku malas menyetir. Bagaimana jika aku ikut denganmu saja, Rell?" Ujar Gerry.

"Aku harus mengantarkan Vincent ke kantornya. Tapi tidak apa-apa, ayo kita bertiga," jawab Farell.

"Berempat," sergah Tommy. 

Farell terpaksa menjejalkan ketiga temannya ke dalam mobil. Anak-anak itu lebih suka kebersamaan receh mereka dari pada kehidupan mewah dan tertata yang disuguhkan di depan mata. Gerry menelpon sopirnya untuk mengambil mobilnya di tempat parkir kelab sementara Farell meminta pihak kelab agar mengantarkan sepeda motor besarnya ke studio tempat Ia menyalurkan hobi musiknya.

Ya, Vincent berangkat ke kantor tanpa mandi pagi terlebih dahulu, tapi sekretarisnya akan menyiapkan segala hal keperluan pribadi Vincent termasuk urusan mandi. Nanti, Ia bisa mandi kilat di kantornya setelah melewati lift khusus CEO hingga tidak siapapun tahu betapa joroknya atasan tertinggi mereka.

"Belum ada gadis lewat ya," celetuk Tommy mulai mengungkit tujuan utama mereka.

"Karena ini masih terlalu pagi untuk berkeluyuran, Tommy," tanggap Farell.

Vincent hanya diam saja sambil memasang wajah garang, tapi bagi teman-temannya tetap saja menggelikan.

"Oh, itu-itu," Gerry menunjuk pinggir jalan.

Ketiga temannya termasuk Vincent mengikuti jari telunjuk Gerry. Nampak di mata mereka seorang gadis berpakaian kantor berjalan searah dengan mobil yang mereka tumpangi. Bunyi klakson bersahut-sahutan di belakang mobil mereka karena Farell mengendarai sesukanya, kali ini dengan kecepatan sangat lambat karena mengimbangi jalannya gadis di pinggir jalan itu.

"Wah, lumayan cantik, Vin," ucap Gerry. 

Dengan bodohnya Vincent mendekatkan wajahnya ke jendela mobil untuk membuktikan ucapan Gerry. Mereka beruntung karena tepat di depan mereka lampu lalu lintas menyala merah.

"Ayo Vin, sekarang waktunya," ucap Tommy. 

"Vin, sebagai seorang gentleman kamu harus melakukan tantanganmu. Cepatlah turun mumpung lampu merah," ujar Farell menyemangati Vincent. Lebih tepatnya mendukung teman-temannya dalam upaya mendapatkan hiburan terakhir sebelum melewati hari-hari yang penat di kantor.

Gadis itu memang cantik, Vincent pun mengakuinya meski kemungkinan besar bukan gadis tipenya. Tanpa pikir panjang, Gerry membuka pintu dan mendorong Vincent keluar. Lelaki itu pun berjalan di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Farell mengacungi dua jempol kepada Gerry. Sedangkan Tommy berjoget-joget kecil di kursinya.

Vincent pikir lebih baik Ia berlari saja ke kantor dari pada satu mobil dengan para cecunguk tidak jelas itu. Di sisi lain teman-temannya bersorak gembira melihat kejadian di zebra cross tempat gadis itu menyeberang. Vincent membatalkan rencananya. 

*** 

avataravatar
Next chapter