webnovel

The Jerk Billionaire

Demi mendapatkan gadis yang terpilih nanti, aku akan menghalalkan segala cara dan upaya, sekali pun dengan paksaan serta ancaman kejam. Aku tahu, aku pria brengsek. Tapi demi menaklukannya dan menyingkirkan segala yang menjadi hambatan, aku harus melakukannya. Aku harus membuatnya jatuh cinta padaku saat aku sudah jatuh cinta padanya, bagaimana pun caranya cintaku harus terbalaskan. - Adelardo Cetta Early -

BebbyShin · Urban
Not enough ratings
13 Chs

Sembilan

Jangan lupa banjirin kolom komen biar Shin semangat nulis lanjutannya wkwkwk

😛😛😛😛

Hepi ridiiiing yaaakk

🌲🌲🌲🌲🌲

Sepeninggalan Naara, Xion menggeram, mengepalkan kedua telapak tangannya. Punggungnya ditepuk seseorang, ia segera menoleh dan nyeri di perutnya lah yang ia rasakan secara tiba-tiba tanpa persiapan.

Bugh...

Satu kepalan diberikan secara gratis oleh Hanie tepat di perut pria itu. Kesal dan marah adalah alasan mengapa Hanie melakukan itu pada Xion.

"Apa-apaan kau ini," hardik Xion.

"Kau yang kenapa selalu bertindak gegabah dan bodoh. Kemana otak pintar peraih beasiswa mu itu?" Hanie menghardik Xion balik.

"Kau selalu memakai emosi mu dibanding otakmu. Aku melihat semuanya, Xion. Semua yang kau perbuat pada Naara, sahabat baikmu," Hanie menatap Xion dan mendorong dada pria itu dengan telunjuknya.

"Tidak perlu ikut campur. Aku tidak ingin Naara menjadi pelacur," desis Xion.

PLAK...

Satu tamparan keras kembali pria itu dapatkan namun, dari orang yang berbeda. Hanie memberi bonus dari tangannya yang juga cukup lebar serta kuat.

"Jika kau memang sahabat Naara, kau tidak akan mengeluarkan perkataan bodoh serta tudingan tanpa bukti seperti itu. Kau sudah dibutakan oleh emosi, atau jangan-jangan kau cemburu? Apa benar tebakanku ini?" ucap Hanie tanpa ragu.

Xion meludah ke samping tubuhnya. Ucapan Hanie menyentil hatinya.

"Aku melihatnya keluar dari perusahaan pria brengsek itu ketika aku ingin mendatangi kantor pria itu dan faktanya aku menemukan Naara keluar dari sana dengan penampilan yang berantakan. Terlebih lagi, Naara memiliki ponsel baru yang sepertinya pemberian dari pria sialan itu. Pria yang mencium Naara ku tanpa permisi," jelas Xion sedikit meredam emosinya.

"Meskipun kenyataannya ponsel itu pemberian Aderaldo, kau tidak sepantasnya mengatakan jika Naara menjual dirinya pada Aderal. Cemburu boleh, tapi tidak buta. Kau menabuh bumerang untuk dirimu sendiri. Bisa dikatakan kau sangat idiot," ucap Hanie tanpa rasa takut.

"Jika kau sahabatnya, kau bisa membicarakan semuanya dengan baik-baik. Kau tahu kan apa arti sahabat itu? Tindakanmu ini bisa merusak persahabatan kalian berdua. Jika aku jadi Naara, aku bahkan tidak ingin berbicara denganmu lagi, karena kau bukan sahabat yang baik," nasihat Hanie dan Xion berdecih mendengarnya.

"Cih! Sahabat- sahabat sialan! Kata itu yang mengukung perasaanku bertahun-tahun pada Naara. Aku membencinya. Aku tidak ingin dianggap sahabat selamanya oleh Naara. Aku ingin dia melihatku sebagai seorang pria yang jatuh cinta padanya. Oh, sialan!"

Akhirnya Xion membuka apa yang disimpannya rapat-rapat selama ini. Tentang perasaannya pada Naara yang telah dipendamnya beberapa tahun belakang. Mereka berdua terjebak dalam hubungan friendzone.

"Kau pria, bukan? Jika kau memang seorang pria tentu kau akan berani mengambil risiko apa pun. Apalagi ini menyangkut perasaanmu. Jika kau tidak berbicara jujur padanya, bagaimana mungkin ia tahu tentang perasaanmu sebenarnya? Kau memang pria idiot, tidak salah aku memberi julukan itu padamu," kata Hanie berang.

Xion mengacak rambutnya kesal. Ia lalu memukul tembok di belakangnya cukup kencang, melampiaskan emosinya yang tidak karuan rasanya.

"Jika saja semudah itu. Aku sudah melakukannya dari dulu. Tapi--, aku tidak bisa. Aku takut Naara berubah setelah ia tahu bagaimana perasaanku padanya. Aku tidak mau itu semua terjadi," ucap Xion frustasi.

Hanie menghela napas panjang mendengar ucapan teman barunya itu. Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada Xion, karena memang pada beberapa kasus yang terjebak dalam hubungan friendzone akan berimbas seperti apa yang dikatakan Xion tadi padanya.

"Tapi yang terjadi sekarang, menurutku itu jauh lebih fatal. Ucapanmu begitu menyakiti hati seorang wanita," kata Hanie.

Xion menyandarkan punggungnya pada tembok, menatap luka memar di jari-jari tangannnya. Ia bingung harus berbuat apa. Di satu sisi ia tidak ingin Naara dekat dengan pria lain dan satu sisi ia tidak ingin merusak persahabatannya.

"Apa yang harus aku lakukan, Hanie?" lirih Xion sambil menatap nanar Hanie.

"Jujurlah pada Naara dan minta maaflah. Aku yakin, dia wanita yang pemaaf," Nasihat Hanie dan Xion menunduk setelah mendengarnya.

🌲🌲🌲🌲🌲

"BRENGSEK!!!" Aderaldo membanting gelas berisi kopi yang sudah dingin yang berada di atas mejanya.

Rahang pria itu terlihat mengetat, sorot matanya tajam penuh emosi, telapak tangannya terkepal kuat sehingga urat-uratnya terlihat jelas. Tidak perlu diragukan lagi, ekspresi kemarahan Aderaldo selalu nyata di wajahnya. Pria itu tidak bisa menutupi ekspresinya untuk yang satu itu.

Salah satu asistennya mengantarkan hasil cctv yang merekam kegiatan di kampus. Pria itu sontak naik pitam saat melihat kejadian Naara dan Xion. Ia sangat yakin, jika yang dibanting oleh pria bermata sipit itu adalah ponsel baru Naara pemberian darinya.

Bocah sialan itu ternyata benar-benar nekat, menabuh genderang perang padanya. Ia bukan tipe pria yang akan bermain-main dengan ucapannya. Aderaldo tidak suka miliknya diganggu orang lain dan ia tidak suka ada penghalang. Dengan cara apa pun, pria itu akan menyingkirkannya, entah itu cara halus atau pun kejam sekali pun.

"Jangan pernah bermain-main denganku, bocah sialan!" gumam Aderaldo.

Pria itu melirik arloji mahal yang melingkar di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Ia menyambar jasnya beserta kunci mobil miliknya. Pria itu mengendarai mobil sport mewahnya di atas kecepatan rata-rata. Urat-urat di tangannya terlihat jelas ketika ia menggenggam kuat setir mobil dengan pandangan tajam lurus ke depan.

Ia melirik ke arah kotak putih yang tergeletak di jok sebelahnya. Pria itu tersenyum miring lalu menginjak gas lebih dalam membelah jalanan malam yang dipenuhi kelap kelip lampu kota.

Mobilnya terparkir di pinggir jalan, di sampingnya pemandangan gedung apartmen cukup kumuh yang sebenarnya cukup membuatnya jijik berada di sana. Sepatu mahalnya melangkah menuju salah satu unit di sana. Ia bergidik ngeri sekaligus mual ketika berjalan menuju pintu yang ia maksud. Melewati lift kecil serta lorong kecil seadanya, tempat yang menurutnya sangat tidak layak untuk dihuni.

Tok... tok.. tok...

Pintu salah satu unit apartmen itu diketuk oleh Aderaldo. Pria itu menahan napas dan menahan gejolak rasa mual yang luar biasa. Hampir tiga menit ia berdiri di sana dan jika dua menit ia tidak masuk ke dalam, pria itu akan memuntahkan isi perutnya di depan pintu unit tersebut.

Sang pemilik unit melotot melihat tamu yang datang malam-malam di apartmennya. Pria itu mengabaikan tatapan horor sang pemilik unit, ia menerobos masuk dan mencari keberadaan toilet untuk memuntahkan isi perutnya.

🌲🌲🌲🌲🌲

Naara sukses dibuat terkejut dengan kedatangan Aderaldo di apartmen sewaannya. Pria itu terlihat pucat dan ekspresi wajahnya mengenaskan, sangat berbeda tampilannya seperti tadi pagi atau biasanya. Pria brengsek itu tanpa meminta izin Naara, menerbos masuk dan entah pergi kemana.

Naara segera menutup pintu dan mencari keberadaan pria itu yang ternyata sedang muntah. Iya, pria itu berada di toilet kecilnya dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Naara yang melihatnya merasa sedikit miris dan prihatin serta khawatir. Wanita itu bergegas mengambil beberapa helai tisu dan menyiapkan segelas air hangat untuk Aderaldo.

Wanita cantik itu menyodorkan tisu saat Aderaldo berdiri menatapnya setelah selesai mengeluarkan isi perutnya.

"Kau sakit? Apa kau butuh obat?" tanya Naara khawatir.

Aderaldo menatap Naara dengan pandangan sayu.

"Kemasi barangmu dan pergi dari sini," ucap Aderaldo datar.

Naara melongo mendengarnya.

"Hah? Apa? Kau mabuk? Atau kau sudah gila?" tanya Naara kesal.

Setelah meneguk hingga tandas segelas air yang diberikan Naara, pria itu kembali lagi menjadi sosok Aderaldo yang otoriter.

"Ambil tasmu dan ikut aku," perintah Aderaldo.

Aderaldo menatap tajam Naara dan wanita itu seketika mengkeret di tempatnya. Namun, tetap saja Naara tidak beranjak barang selangkah pun, menuruti perkataan Aderaldo.

"Kau tuli? Kau tidak mendengar apa yang aku ucapkan?" desis Aderaldo mulai kesal.

Naara berkacak pinggang menatap berani pria tampan berhati iblis itu.

"Kau datang kemari tiba-tiba, lalu kau masuk ke dalam apartmenku untuk muntah kemudian kau menyuruhku pergi dari sini. Di mana letak otakmu, Tuan Aderaldo yang terhormat," ucap Naara kesal.

Pria itu menarik lengan Naara sehingga membuat tubuh mereka berdua menempel satu sama lain, hanya berjarak beberapa centi, bibir keduanya nyaris berciuman. Naara menahan napas saat itu juga.

"Jangan membantah ucapanku, Naara Kiva. Satu hal lagi, jangan panggil aku Aderaldo dengan mulut manismu ini. Panggil aku EARLY, E-A-R-L-Y ! Hanya kau yang aku izinkan untuk memanggilku Early bukan Aderaldo, ingat itu baik-baik," bisik Aderaldo di samping telinga Naara.

N

aara memandang wajah pria itu dari jarak sedekat itu membuat jantungnya berdentam dentum tidak karuan. Aroma maskulin yang menguar dari parfum mahal yang dipakai pria itu salah satu yang kini menjadi favorit Naara. Wajah Aderaldo diciptakan Tuhan begitu sempurna, tapi kenapa tidak dengan tingkah laku serta sifatnya.

Pandangan Naara menuju bibir merah jambu Aderaldo, bibir yang berwarna natural menyatu dengan warna kulitnya yang sedikit cerah. Naara mencoba menelan ludah dengan susah payah, ia harus bisa mengendalikan dirinya jangan sampai terperangkap dalam pesona pria itu. Aderaldo hanya ingin menjadikannya mainannya, setelah bosan ia akan membuangnya.

"Jika kau bersikap manis maka semuanya akan baik-baik saja, tapi jika sebaliknya-- aku tidak segan menghancurkan orang yang sudah menghancurkan ponsel pemberianku," bisik Aderaldo lagi di telinga Naara sambil tersenyum licik.

Tenggorokan Naara tercekat, ia sebenarnya ingin menutupi kejadian itu, tapi ternyata pria sialan ini sudah lebih dulu tahu apa yang sebenarnya terjadi.

🌲🌲🌲🌲🌲