1 Do You Wanna Be A Whore?

Sore selalu menjadi waktu penentuan. Orang-orang dewasa lelah bekerja, bekerja dengan baik, bekerja dengan payah, bekerja dan dimarah, bekerja dan dipuji. Kau bisa melihat hasilnya ketika mereka sampai di rumah. Mereka marah dan artinya itu bukan salahmu dari awal,

kau hanya pelampiasan atas pekerjaan yang buruk.

Sore jarang berlalu dengan baik.

Kau besok akan mengikuti olimpiade Matematika kesekianmu di kelas 5 SD. Kau tahu kau anak yang bisa di semua bidang tetapi tidak spesial di salah satunya. Kau mengerti beberapa pelajaran untuk olimpiade dan tidak sebagian yang lainnya. Berbedanya, sore itu, kau punya sesuatu yang baru, handphone baru. Pada zamannya kau hanya mengenal pesan singkat untuk berkomunikasi di anak-anak se-usiamu.

Kau mencoba sesuatu yang baru di minggu-minggu ini, perasaan-perasaan berkomunikasi dengan lelaki dan membicarakan hal-hal yang membuatmu berbunga-bunga. Waktu yang teramat salah untuk menghadapi olimpiade. Dan waktu yang salah untuk ketahuan saat Ibumu lelah pulang dari kantor sedangkan hal seperti berkomunikasi dengan lawan jenis adalah hal yang teramat dilarang di keluarga ini.

"Titip ya, tanyain gimana perasaan kakak itu ke aku" kata teman sekelasmu di pesan singkatnya.

"Oke, beres!"

Kau mengirimkan pesan itu, bertindak sebagai makcomblang, bertanya perasaan yang satu ke yang lain. Kau selalu suka menjadi orang ketiga di antara hal apapun. Kau belum menyadari mengirimkan pesan itu artinya sebuah petaka besar.

Ibumu yang biasanya tidak melakukan itu, mengecekmu di kamar, melihatmu bertingkah aneh di depan hp jadulmu, barangkali pada mulanya ia hanya ingin memastikan kau belajar untuk olimpiade yang katamu tidak kau kuasai sepenuhnya. Tapi Ibumu menemukan kesalahan yang lebih besar sore itu.

Kau anak kelas 5 SD, tidak tahu betapa fatalnya itu kan?

Ibumu membaca pesanmu yang belum sempat kau hapus. Lalu ia berteriak, bertanya tanpa ingin dijawab,

"Apa ini?!" kau tidak menjawab, kau jarang menjawab amarah-amarah karena kau penakut.

sore sudah jadi malam. sudah kubilang, sore selalu jadi penentuan.

Ibumu melempar hp barumu ke dinding, hpnnya hancur berantakan. Ibumu memarahimu habis-habisan, dan di-usiamu yang sekarang, 24 kau tidak mengingat apa saja yang ia katakan malam itu, kau mengingat lebih banyak amarah di hari-hari lain.

malam sudah gelap, Ibumu masih meneriakimu, Ia mengambil sapu lidi di sekitarmu dan memukulkannya ke pahamu yang besoknya menimbulkan lebam. Ibumu masih menasihatimu dengan amarah dan ketakutan dan kau semakin menangis. Lampu tidak perlu repot-repot dihidupkan. Beberapa saat kemudian hujan deras dan petir menyambar, kau tahu kisah ini, kisah Malin Kundang yang akan segera dikutuk jadi batu. Petir menyambar, Lampu seluruh ruangan padam, dan Ibumu masih berteriak. kau tahu betapa dekatnya kau dengan kutukan akan menjadi batu.

Kau di usia yang ke 24, sekarang tidak mengingat banyak kata-kata amarah malam itu, tapi kau selalu mengingat satu pertanyaan yang ditusukkan ke dalam kepalamu dan terngiang di hari-hari masa depanmu setelah kelas 5 SD saat kau merasa payah,

"Mau jadi apa kamu?! Mau jadi pelacur?!"

dan kau belum yakin jawaban dari pertanyaan itu hingga saat ini. kau tidak benar-benar tahu apakah kau ingin menjadi pelacur atau tidak. tapi kau bisa melihat pesan singkat yang kau kirimkan sore itu, "Kak kakak ada perasaan ga ke teman aku?" melintasi langit begitu cepat. dan kau kalah dalam olimpiade matematika-mu.

Tapi kau tahu, kau senang adik perempuanmu yang dengan begitu banyaknya chat, telpon, dan videocall dari laki-laki di hp kekiniannnya, tidak perlu menjawab pertanyaan Ibumu kepadamu di kelas 5 SD.

avataravatar
Next chapter