webnovel

The Guardians : Seeker

Untuk pertama kalinya Bumi mengalami pergolakan pertamanya. Bermula dari peristiwa hujan meteor, satu demi satu bencana mulai berdatangan membawa manusia ke sebuah kenyataan pahit. Ketika manusia beranggapan semuanya sudah berakhir mereka datang bergerombol layaknya lebah memusnahkan setiap manusia yang mereka temui. Entah untuk menjawab doa manusia, satu demi satu manusia membangkitkan sebuah kemampuan. Berbekal kemampuan baru yang ada manusia melawan balik mengambil setiap kesempatan untuk bertahan hidup. Apakah ini akhir dari malapetaka mereka atau awal dari mimpi buruk, tidak ada yang tahu.

Dre_Am · Fantasy
Not enough ratings
18 Chs

Penyelamatku

Menelusuri jalan aku melihat Tempo duduk mematung tak bergerak di atas reruntuhan. Tempo memiliki fisik yang sedikit kurus tapi dia lebih tinggi dari Abir hampir sama dengan An. Dia memiliki rambut hitam bergelombang berbeda dengan semua regu kelompokku, dia membawa pistol di setiap pinggangnya dan busur panah lipat di punggungnya.

Mendekatinya, dia tetap tak bergerak dan tidak sadar bahwa aku sudah di sampingnya meskipun kurang dari satu meter darinya.

Menepuk pundaknya, "Tempo apa yang sedang kamu pikirkan."

Terkejut, Tempo hampir saja mengambil pistolnya, "ah. Itu kamu Kak. Kupikir itu tadi monster."

Memutar mataku, "jika aku monster kamu sudah mati."

"Hahaha," tertawa canggung, dia bingung harus bereaksi bagaimana. "Mengapa kamu kesini Kak."

"Untuk memanggilmu dan memeriksa keadaan sekitar," melihat sekeliling aku merasa tidak ada yang salah, "bagaimana denganmu, apa yang kamu pikirkan."

"Mmm, Aku teringat orang tuaku." Menunjuk ke depan, "kamu lihat itu."

Melihat ke arah itu, hanya ada rerumputan liar yang meninggi dan pohon-pohon besar di sana. Aku tidak tahu tempat apa itu sebelumnya.

"Dulu, di sana ada sebuah jalan, orang tuaku pernah mangajakku berlibur dan kita melewati jalan itu, hiks...hiks...di tempat itu kami bersenang-senang. Hiks... ketika mengingatnya aku merasa sakit, seharusnya saat itu aku tidak hiks... membentak mereka hiks...hiks..."

Mengalihkan pandanganku dari arah itu, aku menepuk punggungnya untuk menenangkannya, "apa yang terjadi sudah terjadi, meskipun itu menyesakkan kamu harus tetap tegar. Kamu masih memiliki kami, dan di sana masih banyak orang yang menunggumu. Jadi kamu harus tetap tegar, tetap hidup merupakan hal yang terbaik dan itu patut disyukuri."

"Iya Kak." Mengusap matanya dia menjawab dengan lirih.

"Bagus, ayo kita kembali. Bahr mungkin sudah selesai menyiapkan makanannya. Apakah kamu melihat sesuatu yang aneh di sekitar." Mengulurkan tangan, aku bertanya lagi melihat dia sudah tenang.

Menggambil tanganku, "tidak ada, aku sudah menyelusuri daerah ini dan tidak ada tanda-tanda mereka."

Melihatku, "Kak mengapa kamu menyuruhku mengintai dan tidak menggunakan kemampuan Abir."

"Ayo kita bicarakan ketika sudah sam.."

Swosh

Tiba-tiba membalikkan badan, aku terus melihat tempat itu bahkan tidak melewatkan satupun momen.

Kaget dengan gerakan tiba-tibaku, Tempo mengambil pistolnya. "Ada apa Kak?"

Tidak ada tanggapan, Tempo membuka mulut ingin bertanya setelah momen hening terus berlanjut.

"Tak apa, ayo kita kembali." Mengalihkan pandangan, aku bergumam, "cuma perasaanku kah?"

Menyadari ada yang aneh, Tempo bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi tapi dia tahu sekarang bukan waktu yang tepat dan memutuskan untuk bertanya nanti.

...

Sewaktu mereka pergi, mereka tidak menyadari ada sepasang mata merah darah menatap punggung mereka tepat di tempat mereka menatap sebelumnya.

Tatapan mata itu seperti pemangsa yang memburu mangsanya. Haus darah, brutal, bengis tapi jauh di dalam tatapan itu berkilau dengan secercah kecerdasan.

Momen singkat berlalu, sepasang mata itu mengambil pandangan terakhir dan menghilang dalam kegelapan.

...

"Z..., cepat kemari. Makanan sudah siap." Dari kejauhan teriakan wanita terdengar. Di arah itu, aku melihat seorang gadis dengan rambut zamrud melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Dia hampir setinggi Tempo dan aku, dia juga mempunyai mata zamrud sama seperti rambutnya, namanya Audrey satu-satunya perempuan dikelompok.

Meskipun demikian jika ditanya siapa yang paling ditakuti dalam kelompok mereka semua pasti akan menjawab Audrey. Sepertinya mereka lebih takut padanya daripada aku sendiri.

"Ya." Melambaikan tangan, aku dan Tempo segera bergegas ke sana. Z adalah panggilanku, lebih seperti nama yang diputuskan oleh mereka untuk mengganti namaku. Mereka menemukanku di reruntuhan dalam keadaan sekarat, saat mereka bertanya siapa aku, Z adalah jawabanku. Aku tidak tahu kata depan atau belakang dari namaku, tapi aku yakin Z ada dalam namaku jadi mereka memutuskan memanggilku Z sampai aku mengingat semuanya.

"Z, ayo kemari duduk di sini." Meraih tanganku, Audrey menarikku untuk duduk di sampingnya.

"Ini makan lah." Mengambil makanan, Audrey memberikannya padaku.

"Terima kasih." Meraihnya, aku merasakan tatapan sinis yang diarahkan padaku. Pandangan itu seolah-olah mereka sedang menikmati kemalangaku.

"Hmph." Melototi mereka, Audrey mendengus, "apa! Kalian cemburu."

"Tidak! Tidak! Tidak." Abir, Tempo, dan An dengan kompak menggelengkan kepala.

"Untuk seorang dewi sepertimu, hanya Bos yang cocok." Melihat Abir mengambil kesempatan pertama, mereka berdua mulai menyanjung.

"Itu benar, yang satu tampan dan yang lainnya cantik."

"Ck ck ck, benar-benar pasangan surga."

"Hmph, bagus kalau kamu tahu." Senang dengan sanjungan Audrey melirikku dan mengangkat dagunya.

Menonton mereka dengan senang hati menyanjung, aku mengutuk mereka di kepalaku. Sialan kalian...., aku mengerti jika itu si lambat dan kutu buku pintar menyanjung tapi kau otak otot! Bagaimana kau bisa pintar menyanjung, di mana kecerdasanmu yang biasanya? Sialan kau. Menatap An aku mengutuknya dalam kepalaku.

Memandang Audrey, dia kelihatan senang dengan sanjungan itu, terlihat jelas dari senyumannya. Bukannya dia tidak cantik malahan dia sangat cantik melebihi kebanyakan gadis seusianya. Tapi masalahnya, mayoritas laki-laki yang merayu dan mendekatinya pasti kehilangan satu nugetnya, dan bukan hanya itu saja masih ada satu lagi harimau betina yang menungguku.

Meratap dalam dalam hati, aku merasa ada pandangan yang diarahkan padaku.

Menyipitkan matanya, Audrey bertanya, "Z, apa yang sedang kamu pikirkan."

"Tidak tidak tidak. Bukan suatu yang penting." Melambai-lambaikan tangan aku bisa merasakan sedikit bahaya darinya.

Mendekatiku dia berbisik, "oh, kupikir kamu sedang memikirkan wanita lain," menyipitkan mata, "terutama penyihir itu." Tersenyum, dia menjauh sambil menatapku.

Tiba-tiba aku merasa merinding di punggungku. Sungguh insting yang menakutkan.

"Ehem," melihat mereka menyeringai, aku berbatuk kecil. "Di mana Bahr, bagaimana keadaan mereka?"

"Bahr sedang membagi makanan. Kondisi mereka sudah lebih stabil, dan sebagian dari mereka juga jauh lebih tenang." Audrey menjawab dengan tenang berbeda dari sikapnya tadi.

"Kapten." Memandang An, dari wajahnya aku tahu sepertinya dia memiliki sesuatu yang serius untuk dikatakan.

"Apa itu."

"Para orang tua mengatakan bahwa," Mengepalkan tangannya, dia berkata dengan muram. "Mereka tidak akan ikut bersama kami."

"Haaaah," menutup mata, aku merenung sejenak dan bertanya dengan tak berdaya, "bagaimana dengan pesannya, sudahkah mereka menjawabnya? Apakah markas akan mengirim bala bantuan?"

Abir menatapku, "markas hanya menjawab akan mereka pikirkan..."

Saat mereka akan mengutuk, Abir perlahan melanjutkan, "tapi, untungnya squad blizzard menjawab mereka akan tiba besok pagi."

"Kapten memang Kapt..."

"Seperti yang diharapkan dari Kaka..."

Ketika An dan Tempo bersorak, mereka merasakan tatapan tajam menatap mereka dan segera menutup mulut.

"Hmph," mendengus, Audrey menyindir. "Penyihir itu lagi."

Menatapku, Audrey dengan sinis berkata, "sepertinya kamu cukup senang bukan, Z."

"Hahaha." Tertawa canggung, dan merasa merinding di bawah tatapannya, aku hanya bisa berkata, "sepertinya itu kabar baiknya."

"Lihat, Bahr sedang kemari." Melihat kawan gemuk itu berjalan kemari, aku merasa penyelamatku sudah tiba.