webnovel

Part 5 – Kehidupan Baru

Kuda besi milik Bayu terparkir di depan kos milik Dira. Lelaki itu bersandar di badan mobil dan enggan untuk masuk ke dalam kos-kosan yang sangat jauh dari kata mewah menurut Bayu.

Untuk kalangan orang kaya abad 21 seperti Bayu, kos-kosan Dira tidak lebih seperti kandang kambing yang kumuh. Tetangga Dira yang berlalu-lalang melirik penuh keingintahuan pada Bayu. Ada apa gerangan orang kaya dan tampan mau berkunjung di tempat yang sedarhana ini, pikir mereka.

Bayu melirik jam tangan yang ia beli ketika berkujung ke Paris. Sudah hampir pukul 11 siang. Itu artinya sudah lebih dari satu jam Bayu membuang waktu percuma menunggu Dira yang sedang beres-beres di dalam kos.

Well, jangan harap Bayu akan mau masuk ke dalam kos dan membantu perempuan itu beres-beres. Bayu tidak akan membuang tenaga untuk hal percuma tersebut.

“Lo nggak perlu nunggu gue. Beres-beresnya masih lama, banyak yang harus gue bawa.” Dira mendatangi Bayu.

Bayu melirik sekilas. “Lo minta gue pergi dari sini?”

Nada ngegas Bayu sebenarnya menyulut emosi Dira, namun segera dia redam mengingat posisinya menjadi pihak yang sangat bergantung pada lelaki itu saat ini.

“Bukan itu maksudnya, gue cuma gak mau waktu berharga lo terbuang percuma hanya untuk nunggu gue dan Rani,” jelas Dira dengan senyuman paksa.

“Makanya cepat!” perintah Bayu tegas. Mendadak Dira merasa seperti karyawan yang bekerja untuk Bayu.

Dira membuang napas. “Iya!”

“Kalau bukan karena dipaksa Mama, gue gak akan mau datang ke sini menemani lo pindahan,” nyinyir Bayu.

“Iya, maaf sudah membuat repot.” Dira lebih memilih untuk mengalah.

“Ayah, ayo masuk ke sini!” panggil Rani dari ambang pintu kos. Secara kompak Bayu dan Dira menoleh ke arah bocah kecil itu.

“Ayo masuk! Ingat lo harus bertindak layaknya Ayah di –“

“Cepat masuk!” Bayu memotong ucapan Dira. Bayu melenggang pergi terlebih dahulu. Lihat, langkah cowok itu bergerak dengan rasa percaya diri yang tinggi, Bayu berjalan seperti seorang model di tempat kumuh seperti ini.

“Dasar songong,” maki Dira, kemudian dia menyusul.

Di dalam kos Dira.

Dira sibuk menyusun pakaian, merapikan koper serta beres sana dan sini. Dira memastikan kamar kos yang akan ia tinggalkan rapi. Lalu apa kabar dengan Bayu? Cowok itu sama sekali tidak membantu, Bayu hanya berdiri dan bersandar di dinding dengan bertolak pinggang layaknya big boss. Dan jangan lupakan sejak tadi Bayu memerintah Dira ini dan itu.

“Baju itu gak perlu lo bawa! Jelek banget,” komentar Bayu pada baju yang Dira lipat dan akan dimasukkan ke dalam koper.

“Baju Rani yang itu jangan di bawa! Jelek! Biar gue beli yang baru nanti,” Bayu kembali bersuara.

“Eh, eh, eh tas lo yang itu ditinggal saja. Norak sekali modelnya.”

“Itu jangan dibawa!”

“Lipat yang rapi bajunya. Sudah bajunya jelek, jadi semakin jelek kalau lo lipat asal begitu.”

“Yang itu ditinggal saja, kelihatan sudah ketinggalan gaya.”

Dan komentar-komentar pedas dari bibir Bayu terus berlanjut layaknya seorang komentator acara musik. Terkadang Dira merasa aneh dengan Bayu, wajahnya yang tampan bak dewa Yunani sama sekali tidak menggambarkan sikap Bayu yang ceplas-ceplos dan angkuh. Wajah tampan itu sia-sia.

“Ayah, mau gak Rani kenalin sama teman-teman aku?” Bayu terlihat memikirkan pertanyaan dari Rani untuknya. Keningnya berkerut.

“Mau dong,” jawab Bayu.

“Tunggu di sini ya, Ayah,” ujar Rani sambil berlari ke luar dari kos.

Kini hanya tinggal Bayu dan Dira yang tersisa dalam ruangan sempit itu. Dira sedikit gugup, pasalnya dia berada satu ruangan sempit bersama seorang lelaki dewasa. Apalagi Bayu baru ia kenal beberapa jam belakangan ini. Dira melirik ke arah pintu kos yang terbuka lebar. Bagus, jika Bayu berbuat sesuatu yang buruk Dira bisa langsung berlari ke luar dan memanggil para tetangga.

“Cepat sedikit kerjanya!”

“Iya,” balas Dira malas. Dia menarik koper yang berisi pakaian miliknya dan Rani menuju mobil Bayu. Sesekali Dira melihat ke arah lelaki itu secara terang-terangan untuk meminta bantuan. Namun hanya dibalas tatapan tidak mau tahu.

Amit-amit kalau aku benar-benar punya suami mirip cowok yang satu ini, batin Dira geram.

Ah sudahlah, Dira jangan mengeluh. Dia harus bersyukur atas kehadiran Bayu dihidupnya. Bukankah bersyukur itu sangat mudah? Tinggal tarik napas lalu ucapkan terima kasih pada Tuhan.

Dira mengantar koper ke mobil dan meninggalkan Bayu sendiri. Bayu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuruh kos Dira yang kecil. Bayu sedang menilai. Tidak ada yang berharga dan menarik. Bahkan tempat tidur milik Dira terlihat tua dan tidak layak pakai menurut Bayu.

“Ayah.” Suara Rani mengakhiri acara penilaian Bayu. Dia menoleh dan mendapati Rani datang bersama dua anak kecil, mungkin dua bocah perempuan itu teman-teman Rani.

“Kenalkan ini Ayahku,” ujar Rani penuh rasa bangga.

Bayu tersenyum miring pada bocah-bocah tersebut. Senyuman yang Bayu tunjukkan tidak ada manis-manisnya sama sekali. Hei ayolah, yang ada di hadapan Bayu saat ini adalah anak kecil, bukan rekan bisnis yang harus disuguhi senyuman angkuh seperti itu. Setidaknya Bayu harus sedikit lebih manis, sedikit saja.

“Kamu bilang Ayah kamu ganteng,” ujar salah satu teman Rani yang berambut keriting.

“Kok muka Ayah kamu serem gitu,” sambung boacah yang lainnya.

Bayu melotot tidak percaya. Apa maksud bocah-bocah ini? Hei, dari segi mana wajah Bayu terlihat seram. Semua karyawan wanita bahkan rekan kerjanya selalu memuji ketampanan Bayu yang tiada tara.

“Memangnya Ayahku gak ganteng?” Dengan polosnya Rani bertanya, seolah memperjelaskan ketidaktampanan Bayu di hadapan teman-temannya.

“Jelek!”

“Buruk!”

Boleh Bayu memaki sekarang?

~o0o~

“Dira, kenapa jarang ke warung akhir-akhir ini?” tanya pemilik warung nasi langganan Dira yang tidak jauh dari kosnya.

Dira sedang membeli makan siang untuk dirinya, Rani, dan si laki-laki songong yang bernama Bayu. Dira tidak tahu kesukaan Bayu, jadi ia hanya membelikan nasi bungkus dengan lauk ikan sambal dan tempel. Menu yang sesuai dengan isi kantong Dira.

“Iya, Bu. Aku ada urusan di luar. Rencananya aku akan pindah.”

“Kenapa tiba-tiba?” tanya si penjual warung.

“Ada sedikit pekerjaan, Bu,” jawab Dira seadanya. “Jadi tolalnya semua berapa, Bu?” tanyanya seraya menerima bungkusan nasi dari si Ibu penjaga warung.

“Sebentar lagi kamu pindah, jadi diskon khusus untuk, Nak Dira. Bayar dua puluh ribu aja untuk tiga bungkus.”

Dira menyerahkan uangnya pada si Ibu sesuai dengan nominal. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih sebelum berlalu pergi.

Sesampainya di depan kos, Dira melihat ada sedikit keributan. Ada Bayu di sana memasang tampang songong, sementara seorang tetangga Dira dan ada anak kecil menangis berdiri di depan Bayu.

“Ada apa ini?” tanya Dira sambil mendekat.

“Dira, dia ini siapa? Sombong sekali. Dia membuat anak saya nangis,” adu si tetangga Dira padanya.

“Anak Ibu tuh ngeselin,” omel Bayu tidak mau kalah.

“Lo apa kan anaknya Mbak Murni?” tanya Dira dengan nada yang sengaja dibuat galak pada Bayu.

“Kenapa lo jadi marah-marah sama gue? Jelas-jelas anak itu yang salah. Dia buat Rani nangis tadi, ya gue cubit saja. Itu bocah justru mengadu sama emaknya,” Bayu coba membela diri.

“Anak saya ini gak nakal, Pak! Jangan asal tuduh,” tetangga Dira yang bernama Murni itu tidak mau anaknya disalahkan.

“Pak, Pak, Pak. Memangnya gue bapak lo?” tanya Bayu sewot.

Ya Tuhan, kekanakan sekali tingkah Bayu ini.

“Mbak Murni, maafkan teman saya ini ya. Dia gak ada maksud buat cubit anaknya Mbak,” ujar Dira dengan nada memohon maaf.

“Kenapa lo harus minta maaf? Jelas-jelas anaknya yang salah.” Bayu tak terima. Namun bukannya mendapat dukungan dari Dira, perempuan itu justru melotot padanya untuk menyuruh diam.

“Maaf ya, Mbak,” ulang Dira.

“Ya sudah. Lain kali jangan langsung main cubit!” Murni berlalu pergi dari kos Dira dengan tampang kesal. Tak lupa dia melotot tajam pada Bayu. tak mau kalah, Bayu juga balas melotot.

“Lo itu bodoh! Kenapa harus minta maaf?! Anaknya yang salah, anaknya itu bilang Rani bohong kalau gue bukan Ayah Rani.” Bayu mengikuti Dira memasuki kos. Dia bahkan ikut duduk bersila di atas lantai, sama seperti yang Dira lakukan.

Seorang Bayu duduk di atas lantai? Hohoho.

“Mana Rani?” Dira tidak menanggapi ocehan tidak jelas Bayu.

“Apa, Bunda?” Rani keluar dari kamar mandi, gadis kecil itu baru selesai dengan urusan buang air kecil.

“Kamu masih sedih, sayang?” tanya Dira. Dia memerintahkan Rani untuk duduk di pangkuannya dengan gerakan tubuh.

Rani duduk di pangkuang ibunya. “Gak lagi, Bunda. Yana sudah diomelin Ayah tadi. Jadi Rani gak sedih lagi. Tapi, Ayah juga diomelin sama Mbak Murni. Mungkin sekarang Ayah yang sedih. Ayah jangan nangis, ya.” Rani melihat Bayu dengan pandangan prihatin. Seolah Bayu sama seperti dirinya yang akan menangis jika terkena omelan.

“Apa Ayah selemah itu di matamu, Nak?” Bayu mendramatis suasana sambil geleng-geleng kepala. “Mana makan siangnya?” todong Bayu pada Dira.

Dira meraih nasi bungkus yang ia beli, lalu meletakkannya di hadapan Bayu. “Ini,” ujarnya.

“Apa ini” tanya Bayu.

“Nasi bungkus.”

“Apa?! Nasi bungkus?!” sorak Bayu tidak percaya.

Seorang Bayu makan nasi bungkus? Hei, apa yang salah memangnya dengan nasi bungkus?

“Gue harus hubungi menteri kesehatan untuk mengecek nasi bungkus ini, bersih atau tidak. Nasi bungkusnya jangan dimakan! Gue akan minta koki hotel bintang lama untuk membuatkan makan, lalu di antar ke sini,” ujar Bayu berapi-api.

Sementara Dira dan Rani tercengang. Mereka berdua berdecak takjub. Orang kaya mah bebas.

~o0o~

Bayu melemparkan kunci mobilnya secara sembarang ke atas ranjang. Tanpa repot membuka sepatu mahalnya, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dia merasa sangat lelah padahal hanya menemani Dira pindahan.

Rasa jengkel Bayu belum hilang akibat ucapan teman-teman Rani yang mengatakan dia jelek. Menyebalkan! Belum lagi Rani dibuat menangis tadi. Dan bagian terparahnya, Bayu ujung-ujungnya dipaksa memakan nasi bungkus.

Ponsel yang ada di saku celana kainnya bergetar. Bayu meraih benda kecil yang super canggih itu. Ada panggilan masuk dengan kode nomor luar negeri. Bayu tersenyum kecil membaca id call pada layar ponselnya.

“Dinda?” sapa Bayu dengan nada antusias.

Dan obrolan panjang terjalin di antara keduanya. Bayu bercerita banyak hal pada si penelepon, kecuali tentang Dira. Kadang Bayu tersenyum, merenggut dan tertawa diantara komunikasinya dengan perempuan yang bernama Dinda itu.

-o0o-