webnovel

32. Ketika hujan dan duka menjadi satu.

Jam istirahat dimulai. Risu mengajak sahabatnya kekantin kak Linda. Sebelum kekantin, dia ingin mengajak Iqra untuk makan bersama dengannya.

"Kamu mau makan sama aku nggak?" tanya Risu. Iqra hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

"Ya udah kalau gitu"

Pada saat dia ingin kekantin, tiba-tiba hari hujan.

"Ris, hujan nih" kata Nisa. Dunia kembali hujan seperti kemarin. Iqra kemudian keluar dari kelas. Dia menatap tatapan cuaca hari ini dengan tatapan penuh nestapanya kembali. Dia melangkah pelan-pelan seperti orang yang tidak nafsu makan. Dia menampung air hujan ketelapak tangannya. Ketika disentuh, menutup kedua matanya. Terlihat seorang wanita tua yang menangis sambil mengatakan sesuatu. Kemudian ia membukanya kembali. Bayangan akan wanita itu membuat hatinya sangat hancur. Dia menatap angkasa dengan tatapan kosong. Batinnya sangat tersiksa bila ia mengingat perempuan tua itu. Melihat itu Risu keluar. Saat gadis itu keluar kawan sebangkunya itu menatap hujan seperti bukan sebuah anugrah. Melainkan hujan adalah kenangan yang membuat kejadian-kejadian penuh luka terkuak. Matanya sayu seolah-olah gadis itu merasa bahwa musim hujan adalah bagian terburuk dalam hidupnya. Garis wajah tak bisa bohong. Bahkan mulut Iqra bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu.

Iqra menutup matanya sambil salahsatu tangannya masih menampung air hujan. Terbayang wajah wanita tua ditengah keramaian menyaksikannya. Dia berharap waktu berputar kembali karena ingin merasakan namanya dicintai seperti Monra dan juga Alif. Berbagai macam kalimat gombalan ia lontarkan atas nama cinta.

Berharap waktu bisa mengubah segalanya? Konyol! Dia tertawa miris.

"Bagaimana aku mengharapkan cinta seperti Monra dan juga Alif? Sedangkan aku pernah membuat seseorang karena cinta" Kata Iqra kepada Risu yang dia sudah tau Risu ada disana.

"Kamu pernah mencintai siapa? Siapa yang kamu buat terluka?" Tanya Risu penasaran.

"Seorang wanita yang mencintaiku" Ujar Iqra yang kemudian membuang air hujan yang ia tampung ketanah, tepatnya diantara tanaman-tanaman yang berguna. Tatapan Iqra seperti orang yang benar-benar rapuh ketika dia mengingat wanita tua itu didalam benaknya. Wanita itu sangat mencintainya. Tapi, rasa cinta itu disia-siakan akibat kelakuannya yang bukan seperti seorang manusia.

"Perempuan itu mencintaiku. Tapi, aku malah menyia-nyiakan kasih sayangnya. Perempuan itu bersabar menghadapi aku yang seperti ini. Tapi aku malah menganggap remeh kasih sayang itu. Jika orang bilang sepanjang jalan cinta yang dia beri, maka aku mengatakan dia mencintaiku dengan kasih sayang yang abadi. Tapi aku yang membuat hatinya hancur. Aku membuatnya terluka. Dia mencintaiku Ris, mencintai orang yang tak tau diri ini. Dan sekarang dia penyesalan itu hadir, cinta nya ternyata sangat berarti dan tidak dikalahkan oleh apapun. Bahkan hujan ini pun mungkin bisa melunturkan apapun, namun tidak dengan cinta yang dia beri. Cintanya tak akan luntur dan tak akan lapuk oleh hujan"

Risu penasaran, siapa yang dimaksud Iqra sampai dia mengeluarkan untaian penuh makna tapi dia menderita ketika ia mengucapkannya.

"Siapa yang kamu maksud?"

"Mande (Ibu)"

Risu kemudian terdiam saat Iqra menyebut ibu dalam bahasa Minang. Iqra menangis mengeluarkan air matanya. Matanya berkaca-kaca setelah melontarkan kalimat itu. Kejadian ini disaksikan juga oleh teman-teman yang lain. Iqra kembali menangis. Sebenarnya ia malu tapi apa boleh buat. Dia tak bisa menahannya.

"Aku ini pria yang jauh lebih jahat dibandinv dengan pria jalang.

Jika banyak pria saat ini berdosa mengajak tidur perempuan yang tak sah jadi miliknya, maka dosaku 2kali lipat dari itu.

Aku membuat rasa cinta yang dia beri

hancur.

Dia menyayangiku tak kenal dengan musim apapun.

Dia mencintaiku dimana aku banyak tingkah karena sering marah tak dapat ini dan itu.

Seharusnya dia membuangku karena aku yang tidak tau diri ini.

Aku tak boleh menuntut apapun.

Aku harus balas semua itu.

Tapi dia tetap mencintaiku"

Wajah Iqra basah karena linangan airmata. Orang terkejut karena dia menyampaikan itu seperti orang yang menghayati puisi. Dia menyampaikan itu dengan lantang seperti orang terkesima akan keindahan kata-katanya, yang dapat menyihir kaula muda dimana mereka sedang dimabuk cinta. Bahkan ketika Iqra melontarkan untaian kalimat penyesalannya, sempat-sempatnya salah satu temannya yang menyaksikan kejadian ini lewat jendela memutar lagu sedih.

TUHAN KEMBALIKAN, SEGALANYA TENTANG DIA SEPERTI SEDIA KALA. IZINKAN AKU TUK MEMELUKNYA UNTUK TERAKHIR KALI. AGAR AKU DAPAT MERASAKAN, CINTA INI SELAMANYA.

Rifki memutar lagu itu waktu insiden ini disaksikan disaat ia dan kawan seganknya terkurung hujan. Samson, diujung jalan. Malah hati Iqra tambah tersayat. Yanda yang melihat Risu berduaan dengan Iqra si anak baru itu mencoba ikut keluar. Dia penasaran.

"Kamu melontarkan kalimat itu untuk siapa?"

"Mande ( Ibu)"

Ternyata dia melontarkan hal tersebut untuk ibunya. Yanda yang ikut keluar, mendadak hatinya ikut terkoyak kala kalimat tentang rasa cinta itu ternyata untuk ibunya.

"Bagaimana aku bisa mencintai orang lain? Aku pernah membuang rasa itu dengan percuma. Kamu taukan? Betapa jahatnya aku dikala itu. Dan kalian bakal membenciku"

Dia pikir awalnya Iqra itu terlalu lebay. Tapi sepertinya dia ikut teriris mendengar semuanya. Anak zaman sekarang jarang yang menyesal seperti ini.

"Kenapa kamu tidak mencoba meminta maaf sama ibu kamu?"

Iqra tambah sedih tapi dia tidak histeris.

"Aku belum bisa bertemu dengan ibuku. Aku dan dia sekarang berada didua alam yang berbeda" kata Iqra. Dia menunduk menyesal. Yanda, Risu dan yang lain ikut terkejut. Dua alam yang berbeda. Berarti ibunya sudah meninggal.

"Iqra." Sapa Yanda dengan lembut sebagai kawan.

"Kamu tak perlu sedih dengan semuanya. Aku tau, kamu menyesal akan semuanya.

Jika kamu menyesal seperti ini, maka kamu tidak bisa membalas rasa cinta itu.

Aku tau semuanya terlambat. Jalan satu-satunya adalah kamu harus berdoa. Agar cinta beda alam yang terpisah, tak akan putus. " Ujar Yanda mencoba menghibur Iqra. Benar, jalan satu-satunya adalah doa.