webnovel

The Fleeing Chaos Demon

Asheel Doom, iblis yang lahir dari kekacauan, dan orang yang terlahir sebagai raja, kabur karena takut dengan mimpi yang dia alami. Dia pergi sambil mengajak rekan-rekannya yang ia temui di masa lalu, dan mereka tiba di sebuah dunia modern yang terdapat iblis, malaikat, malaikat jatuh, dan dewa. Ini hanyalah kehidupan sepasang Dewa yang dibuang ke Alam Fana.

Nobbu · Anime & Comics
Not enough ratings
289 Chs

Cahaya dalam keputusasaan

"Ahh, aku baru saja memungut seekor anjing. Lucu, kan?"

Zora masih mencerna kata-katanya saat dia melihat Asheel bangkit dari punggung kakaknya dan menginjak kepala Flora hingga dahinya menyentuh lantai.

"Eh?" Zora memiliki wajah linglung yang kemudian berubah menjadi keterkejutan dan ketidakpercayaan. Dia segera membentak dengan marah, "Apa yang kamu lakukan pada Onee-sama ?!"

"Apa yang kulakukan?" Asheel memiringkan kepalanya dan menjawab dengan nada merendahkan. "Tentu saja aku baru saja memberi tugas anjingku untuk menjadi kursi untukku, kan? Apakah kamu tidak mendengarnya sebelumnya?"

"Kamu...!" Zora melototi Asheel dan kemarahan bisa terlihat di wajahnya.

Flora, sosok kakak perempuannya tercinta, memiliki citra yang baik, tenang, bermatabat, serta seorang pemimpin hebat di matanya yang dia sendiri hanya bisa melihat punggungnya dari belakang saat Flora dihujani oleh kemuliaan dan pujian. Dia sangat mengidolakan kakaknya, tapi apa yang dilihatnya saat ini membuatnya sulit dipercaya hingga dia berharap jika ini adalah mimpi.

Tapi mau berapa kalipun dia pastikan, itu bukanlah mimpi karena keputusasaan dan kegelisahan yang dia rasakan di dalam hatinya benar-benar nyata. Sosok kakaknya yang anggun dan mulia bertingkah seperti jalang rendahan di depan matanya.

Flora terlihat sangat senang saat dilecehkan dan bahkan memanggilnya Tuhan pada orang yang merendahkannya.

Tapi yang membuatnya lebih tidak percaya adalah pelakunya, itu sebenarnya adalah Asheel, bocah kecil lucu yang bertingkah tidak jauh berbeda dari bocah lainnya saat dia bertemu dengannya sebelumnya.

Bocah ini benar-benar pandai menyembunyikan warna aslinya dan memiliki skill aktor yang sangat luar biasa. Dia menggertakkan giginya dengan marah, "Apa yang kamu lakukan Onee-sama !?"

"Pertanyaan yang sama lagi," Asheel menggelengkan kepalanya dengan bosan. Dia lalu menarik rambut Flora dan meremas payudaranya dari belakang. "Saat ini Onee-sama-mu hanyalah mainanku yang bisa kubuang kapan saja. Lihat, dia sangat menikmatimya saat aku meremas payudaranya. Kakak perempuanmu hanyalah orang mesum, tidak, dia adalah jalang rendahan yang bisa kau temukan di mana saja."

"Onee-sama...!" Matanya membelalak tak percaya saat dia melihat kakak perempuannya benar-benar terangsang dengan sentuhan tangannya.

Wajahnya menjadi gelap selama beberapa saat sementara Flora masih mengeluarkan erangan mesumnya, dia terdiam dengan sosoknya yang tegak. Namun tangannya yang jatuh menggantung tak bertenaga menunjukkan keputusasaannya saat ini.

Dia menatap belati ke mata Asheel, "Nak, sebaiknya kamu lepaskan kakakku sekarang juga, kalau tidak..."

"Kalau tidak?" Asheel mengejeknya dengan mengulang perkataannya.

"Kalau tidak, aku akan menghunus pedangku untuk menyingkirkanmu. Jangan kira kamu sebagai anak-anak, akan mendapat rasa belas kasihan dariku. Aku akan tetap melukaimu tidak peduli apapun itu selama Onee-sama selamat." Zora berkata dengan nada yang berat saat tangannya sudah mengenggam erat gagang pedangnya.

"Oh, menyeramkan~" kata Asheel main-main.

"Nak! Aku sudah memperingatkanmu! Jika kamu tidak segera melepaskan Onee-sama, aku benar-benar akan memaksamu bahkan jika aku harus memaksamu!" teriak Zora membentak.

"Kalau kamu bisa memaksaku, maka silahkan."

"Nak!" Tanpa ragu-ragu lagi, Zora mencabut pedangnya dan segera melesat ke depan untuk segera muncul tepat di depan Asheel.

Asheel masih tenang, bahkan seringai di wajahnya masih bisa dilihat. Tangannya menyandarkan kepalanya dan sikunya bertumpu di kursinya. Dia seperti sedang menonton pertunjukan saat melihat pergerakan Zora yang sangat cepat tepat di depan matanya.

Saat bilah pedang akan menebas Asheel, Zora tiba-tiba merasakan sentakan di pipinya sebelum tubuhnya terbang mundur beberapa meter hingga membentur tembok.

BAM!

"Beraninya...! Beraninya kamu mengangkat pedangmu pada Tuhan-ku. Beraninya kamu !!!" Suara raungan menggelegar di ruangan ini.

Zora bangkit dengan kesusahan dan mengelus pipinya yang sakit. Saat dia mendengar raungan itu, dia sekali lagi menatap bodoh dengan tidak percaya saat melihat sosok kakaknya melotot sangat marah pada dirinya.

"Apa... Apa ini..?!" Mulutnya bergumam dengan tidak percaya saat air mata jatuh mengalir ke pipinya. Flora, Onee-sama-nya yang baik hati dan penuh kasih padanya, telah menamparnya dengan aura kebencian yang nyata. Pikirannya terguncang oleh fakta itu hingga dia meragukan dirinya dan dunia ini. "Hei, katakan sesuatu. Ini pasti mimpi, kan?! Hei, ini mimpi, kan?!"

Wajahnya menunjukkan keputusasaan dan matanya terlihat kosong.

"Hmph, kenapa kau tidak coba memastikannya sendiri?" Asheel mendengus dengan sinis.

"Onee-sama... Onee-sama tidak akan pernah bersikap seperti itu padaku!!!" Zora berteriak dengan suaranya yang tersisa.

Pa!

"Diamlah, dasar jalang!" Flora segera menamparnya dan membentak tepat di depan wajahnya. "Apakah kau tahu apa yang telah kau lakukan? Kau tahu, kan? Kau baru saja melawan Tuhan kami! Dasar adik bodoh, apa yang telah kulakukan untuk mendukungmu dengan sia-sia di masa lalu ?! Jalang sialan, lebih baik kau segera menikahi Zekiel bajingan itu!"

"....." Perkataan itu terus menerus berputar di benaknya. Dia menatap kakaknya dengan tidak percaya. Air mata sudah tidak bisa berhenti mengalir saat ini, sosoknya jatuh ke lantai seolah-olah semua tenaga di dalam tubuhnya telah menghilang.

Matanya kosong dan gelap, lubang keputusasaan bisa dilihat hanya dengan menatap pupil matanya.

"Onee-sama...."

"Jangan sebut aku Onee-sama lagi! Aku bukan kakakmu lagi, kita memutuskan hubungan ini mulai sekarang!"

Flora melototinya sejenak sebelum berjalan ke sisi Asheel. Ekspresinya berubah 180° segera setelah dia berada di dekatnya. Seolah semua kemarahan itu telah menghilang, wajahnya digantikan dengan senyuman penuh kasih saat dia terus menyanjung Asheel.

Zora ditinggalkan putus asa begitu saja.

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Ini tidak nyata!

Zora terus bergumam dalam hatinya dan berharap kepada segala Tuhan yang ada untuk membangunkannya dalam realitas palsu ini. Bersamaan dengan itu, sosok kakaknya yang melototinya dengan marah masih terus bermain di kepalanya.

Apa yang telah kulakukan?

Apakah aku pernah berdosa sebelumnya?

Kenapa aku mendapat perlakuan seperti ini?

Apakah ini takdirku?

Kenapa aku begitu putus asa?

Kenapa aku begitu lemah?

Bahkan aku tidak bisa melindungi satu-satunya keluargaku. Lalu untuk apa aku hidup selama ini?

Bagaimana dengan semua kerja keras yang telah kulakukan sebelumnya?

Apakah semuanya sia-sia?

Apakah takdirku benar-benar sudah ditentukan?

Kenapa aku begitu menderita saat ini?

Jika memang benar jika nasibku sudah tidak bisa dihindari lagi, maka...

Maka...

"Apa yang kamu lakukan, Zora?"

Lamunannya terputus oleh suara yang sangat akrab baginya. Suara itu begitu lembut dan penuh kekhawatiran.

Dengan mata yang sudah tidak bernyawa lagi, dia mendongak. Dia bisa melihat sosok kakaknya pada pandangannya yang kabur karena air mata.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis, Zora? Dan mata itu..."

'Suara ini ... ahh, aku begitu merindukannya...' Dia tersenyum dengan bodoh walaupun matanya masih menunjukkan lubang keputusasaan.

"Setidaknya, aku diberi mimpi yang aku inginkan sebelum aku benar-benar menjadi gila..." Dia bergumam dengan penuh kerinduan.

"Apa yang kau katakan? Apa kau baik-baik saja, Zora? Hei, hei, kenapa wajahmu menunjukkan ekspresi mati rasa seperti itu? Apa yang terjadi padamu dalam tiga hari terakhir kamu menghilang?"

Suara itu terdengar sekali lagi dalam dunianya yang kabur. Hanya dengan suara lembut itu, bahkan sudah cukup untuk membuat titik cahaya harapan pada visi berkabutnya. Setelah jatuh dalam jurang keputusasaan yang begitu dalam, dia tidak menyangka sosok kakaknya yang dia kenal sebelumnya akan menjadi cahaya yang akan mengangkatnya dari jurang terkutuk ini.

Tidak, sebenarnya itulah yang sebenarnya diharapkan darinya. Dia ingin sosok Onee-sama-nya akan membantunya untuk hidup tegar sekali lagi.

Tapi, dia terjebak dalam kenyataan dalam jurang gelap ini. Benar-benar tidak ada gunanya lagi.

Pada akhirnya, itu semua hanyalah sebuah harapan.

Itulah yang dia pikirkan.

Sampai...

Sosoknya yang bercahaya dan mampu memberi kehangatan serta harapan yang dia anggap palsu untuk dirinya, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Semua keputusasaan yang dia alami sebelumnya perlahan-lahan surut dengan sendirinya hanya karena perasaan yang dia alami saat ini.

Melihat sosok kakaknya yang secara nyata memeluknya, membuat cahaya yang mengangkatnya dari keputusasaan. Dia memastikannya berulang kali, tapi perasaan ini benar-benar tidak palsu.

Keputusasaan dan harapan.

Dia merasakan dua hal itu secara nyata dan berturut-turut.

"Onee-sama..... Waaaaaaa!" Dia menangis dalam kebahagiaan. Air mata yang telah habis seperti telah diisi ulang saat itu membanjiri wajahnya dibarengi dengan ingusnya.

"Ya, Onee-sama ada disini, jangan khawatir lagi. Apapun yang akan kamu hadapi, Onee-sama akan tetap berada di sisimu. Kali ini aku berjanji karena...

Kami-sama berada di sisiku..."

"Eh?"

Saya senang mendapat review baru, tapi...

Ini sangat menyedihkan dan sangat memukul saya.

Apakah fanfic ini akan baik-baik saja?

Nah, aku tidak melihat harapan lagi pada cerita ini.

Saya tidak memikirkan kalian pembaca karena saya hanya menganggap fanfic ini sebagai semacam tanggung jawab, setiap hari saya menulis setidaknya menghasilkan 1k kata, dan jika saya tidak menulis saya merasa seperti kehidupan sehari-hari saya tidak lengkap. Tapi serius, mencari topik untuk cerita itu tidak mudah+saya juga harus menulis setiap hari, jadi ya ceritanya menjadi seperti ini, penuh dengan dialog dan hanya sedikit action.

Walaupun saya menulis fanfic ini untuk diri saya sendiri pada masa sekolah online saat ini, dan agak tidak peduli pada bagaimana pembaca menganggapinya (bohong, saya peduli), tapi kenyataannya fanfic ini benar-benar sepi.

Yah, kurasa ini tidak ada hubungannya karena kalian menanggapi bagaimana MC memiliki lubang di otaknya, tapi karena terbawa oleh kesedihan ini, saya malah menyalahkan fanfic ini.

Disini, saya hanya curhat, tidak lebih.

Thx

(kuharap tidak ada yang membaca Author'Thought ini, saya malu)

Nobbucreators' thoughts