webnovel

TITIK TERANG BEDA DARI AWAL YANG BARU

A/N : Cerita akan dibuat dari sudut pandang oleh ke 3 dimulai dari BAB 2 hingga tamat. Tolong support novel ini ya. Terimakasih.

Cerita oleh Zai

Art oleh Limaubars

***

Kekaisaran Esezar adalah setting tempat utama untuk kisah novel 'Freedom in Her Eyes'. De Jove adalah nama marga untuk keturunan para keluarga anggota kerajaan. Diberitakan pada masa Kaisar no 8 dahulu menjabat, para Dewa memberikan kutukan pada keturunan De Jove; yang mana keturunannya akan memiliki pupil runcing selayaknya monster dan warna mata hijau cerah. Ada desas-desus yang mengatakan kutukannya tidak sampai di situ. Kekuatan serta kekuasaan para De Jove-lah yang telah menyembunyikan isi kutukan lainnya.

De Mattias (nama marga) juga merupakan golongan penting di Kekaisaran Esezar, dikarenakan mereka secara turun-temurun menghasilkan para kesatria yang setia kepada keturunan De Jove. Tidak jarang anggota De Mattias akan menjadi kesatria pribadi kaisar. De Jove juga nampak menjunjung tinggi koneksinya dengan De Mattias, begitu juga sebaliknya.

De Hillary (nama marga) diketahui secara turun-temurun menghasilkan para penasehat istana dan/atau para penyihir hebat. Berbeda dengan De Mattias, didapati issue bahwa De Hillary tidak selalu tunduk pada De Jove; namun mereka terkenal dekat dengan De Mattias. Kedekatan De Hillary dengan De Mattias pernah menimbulkan issue besar dimana mereka diberitakan menginginkan De Mattias yang menduduki kursi kekaisaran. Namun issue tersebut disangkal kuat oleh De Hillary dan De Mattias, sedangkan De Jove tidak memberikan komentar apapun.

Sihir bukan hal tabu di dunia ini, namun tidak ada sekolah khusus sihir. Hal tersebut adalah kebijakan mutlak. Bila seseorang ingin belajar sihir, maka orang tersebut harus membuat koneksi dengan ahli sihir sebelumnya, kemudian meminta pendidikan tentang sihir kepada orang tersebut secara mandiri; dengan kata lain pendidikan sihir adalah pendidikan informal.

Untuk mengusai sihir, maka seseorang harus punya 'Mana' yang besar atau khusus. 'Mana' pada dasarnya adalah energi yang dimiliki setiap makhluk ketika makhluk itu terlahir di dunia ini, namun tidak semuanya mampu menggunakan 'Mana' mereka sebagai kekuatan sihir. Orang dengan 'Mana' yang besar tidak hanya mampu menggunakan sihir, tetapi juga bisa hidup panjang dan tidak bisa menua dengan mudah; bagai immortal. Bisa disimpulkan orang akan mati ketika 'Mana'-nya habis, oleh karena itu para penyihir harus hati-hati dalam menggunakan 'Mana' mereka. Ada golongan tertentu yang memiliki kemampuan 'memakan Mana' makhluk lain, namun mereka sangat jarang. Bila pun ada, mereka akan menyembunyikan kemampuan tersebut karena tidak ingin dikucilkan, utamanya karena tidak ingin diselidiki oleh pemerintah.

***

Luna, 9 tahun, masih sibuk membaca buku sejarah yang ia pinjam dari perpustakaan sang ayah. Ingatan-nya yang terpecah-pecah serta banyak lubang membuatnya butuh membaca ulang banyak hal. Mungkin takdir memang tidak menginginkan kecurangan makanya ingatannya tentang masa lalu hanya terbatas. Ia terus membaca buku sampai bagian ia membaca ketiga nama besar, yaitu De Jove, De Mattias dan De Hillary.

Hmm. Tiga nama marga besar. Setidaknya Luna berharap bisa mendapatkan dukungan dari salah satu nama besar tersebut demi kesejahteraan hidupnya. Luna merupakan bangsawan kelas rendah yang bahkan sudah sering dianggap sebagai rakyat biasa jadi ia cukup kesulitan untuk menjangkau nama-nama besar tersebut. Ah ya, dari ketiga nama besar; ia paling tidak ingin berurusan dengan De Jove. Setidaknya tidak untuk sekarang sebab ia masih berusia 9 tahun! Ia belum punya banyak pencapaian dan daya yang besar.

"Luna, jangan terlalu terfokus pada buku yang kadang penuh kebohongan. Kenapa tidak mendengarkan fakta-fakta menarik dari mama cantikmu ini saja?" Emma sang mama duduk di samping Luna tanpa butuh permisi, bahkan ia menyempatkan diri menguyel gemas pipi tembem anaknya tersebut.

Luna yang ingin menikmati masa-masa menjadi anak kecil pun cemberut dan pura-pura ngambek. Ia melipat kedua tangannya, "Gak mau! Cerita dari Mama rata-rata prank semua. Kemarin Mama bilang kalau Luna cium katak, maka kataknya akan jadi pangeran! Adanya kataknya lompatin muka Luna duluan sebelum Luna sempat cium katak kemarin itu!"

Emma sang mama malah tertawa keras tanpa ampun, mengabaikan cemberutan anaknya yang baginya menggemaskan. Hei, ia memang suka menjahili anaknya sendiri. Di sisi lain Luna sendiri sering berpura-pura 'bodoh' atau mendekati itu hanya untuk mendapatkan momen manis dengan dengan keluarganya sebagai anak kecil 'normal'.

"Ayo lah, Sayangku! Ah, sebelum itu-" Emma menarik badan mungil Luna ke dalam pangkuannya, memeluk Luna dari belakang untuk berbagi kehangatan dan menunjukkan rasa sayang yang ia punya untuk putri tunggalnya.

Emma melanjutkan ucapannya, yang mana makin lama nadanya berubah makin sendu, "Luna, Mama ingin kamu tetap menjadi anak kecil biasa saja. Jangan belajar hal berat-berat dulu. Maaf bila Mama egois, namun bila misal kita kelak harus terpisah, Mama ingin ingat setiap kenangan manis di mana Luna kecil tersenyum. Mama sangat sayang pada Luna, lebih sayang pada Luna melebihi siapapun. Jangan lupakan itu."

Ucapan sang mama membuat Luna terdiam, membuat ia teringat keyakinan-nya bahwa baru kali ini sang mama selamat dari kematian setelah melahirkannya. Bagai kebahagiaan utuh tidak bisa ia sepenuhnya dapat, sang papa Reagan sering jatuh sakit; bahkan sekarang berdiri pun sang papa tidak sanggup. Dalam diamnya, Luna teringat kalau ia selama ini selalu menolak ajakan mamanya untuk belajar menari. Hal tersebut ia lakukan karena original novel Luna adalah seorang artis orkesta yang bisa menyanyi dan menari. Luna yang sudah muak dengan segala nasib tragis pun makin menjauhi segala kegiatan tari dan nyanyi.

"Mama, Luna juga sayang Mama. Mau mengajari Luna menari?" tanya Luna, menoleh ke belakang untuk memberikan senyuman kepada sang mama; dikarenakan posisi sang mama memeluknya dari belakang sembari memangkunya.

Paras Emma sang mama nampak cerah seketika. Ia mengangguk. Persetujuan Luna serta anggukan Emma nyatanya akan membuka sebuah tabir kelam. Kengerian terlalu dalam hingga kewasaran pun bisa dipertanyakan. Luna hanya berharap bisa bertahan. Tidak, tidak hanya bertahan; tapi ia harus menang.

Luna mengikuti gerakan tari sang mama; pun tanpa ia duga sebuah kilatan bayangan masa lalu merasuki benak-nya. Ia bisa mendengar suara retakan-retakan bagai segel ingatan-nya dibuka; disusul setiap ingatan pahit memasuki pikirannya tanpa bisa ia halangi. Satu tarikan gerakan awal; ia melihat bagaimana sang papa Reagan bersujud ampun memohon agar Luna dibiarkan hidup, namun adanya sang papa dipenggal saat itu juga.

Katakan kenapa ia tidak bisa berhenti menari? Luna menari gerakan kedua. Waktu menjadi cepat atau lambat? Ia melihat Ares di salib dan dikata-katai kasar sebagai Pangeran Penuh Kutukan; yang mana memang di setiap jengkal kulit Ares terdapat tanda kutukan yang nampak menyakitkan. Ares menatap Luna, berucap kata-kata yang tidak bisa Luna dengar; sebab Luna hanya sebagai penonton dari jauh, menonton bagaimana Orang yang ia cintai dihabisi di hadapannya tanpa ia bisa melakukan apapun.

Gerakan tarian ketiga; Luna menari bagai ia sudah menjadi penari profesional. Kilatan putih kembali tertangkap di benaknya; dimana menunjukkan Ares yang baru saja menghembuskan napas terakhir di pelukannya. Tidak hanya ada Ares, di sana Reagan sang papa mati setengah membusuk di hadapannya, di dalam gelap ruangan; lalu pintu ruangan dibuka oleh Kaisar William yang juga sekarat sambil meneriakkan nama Ares. Ini hanya perasaannya atau sang Kaisar William juga nampak berduka melihat kematian Ares putranya? Ah, tidak mungkin.

Luna samar-samar mendengarkan namanya dipanggil-panggil. Tuhan, katakan kenapa ia masih bernapas setelah melihat bayangan masa lalu ini? Lebih baik ia tidak pernah ingat kenangan itu semua. Perlahan ia benar-benar kembali ke dunia nyata karena guncangan di pundak dari Emma sang mama. Tangan sang mama meraih pipi Luna, menyeka air mata yang Luna saja tidak sadar telah mengalir dari kedua matanya. Sesak sakit beban di dadanya tidak lagi bisa ia gambarkan.

"Luna! Luna! Kau sudah sadar? Apa kakimu sakit? Mana yang sakit? Luna capek menari?" tanya Emma yang nampak amat khawatir karena anaknya tiba-tiba jatuh saat menari.

Sakit pedih serta dendam yang mulai membara di dada membuat Luna tersenyum tipis, kemudian berdiri dari lantai. "Luna selalu baik-baik saja," jawab Luna dengan nada datar, lalu ia mulai menari tarian yang bahkan ia tidak paham bagaimana ia mengetahui tarian tersebut. Tubuhnya terasa menjadi hangat, ia merasakan energi yang tidak biasa berkembang dari tubuhnya.

"Mama tahu anak mama adalah anak yang berbakat," Emma tersenyum, lalu mulai menari tarian yang sama dengan Luna.

Detik itu cahaya putih mengelilingi tubuh Luna; kemudian muncul lima gagak putih kecil dari cahaya yang mengilingi Luna, ikut menari bersamanya. Luna terkejut dengan kejadian tersebut, namun ia tidak menghentikan tariannya. Ia menatap Emma sang mama. Mata keemas-an Luna membelalak sekilas, senyum tipisnya pudar; namun ia memaksakan diri untuk tetap tersenyum melihat aura kematian kental yang terpancar dari tubuh sang mama. Tidak ada cahaya yang mengelilingi tubuh sang mama meski mereka menarikan tarian yang sama. Bahkan sang mama nampaknya tidak melihat aura gelap kematian yang menyelimuti tubuhnya itu.

"Luna, my Beloved Angel," senyum Emma tetaplah senyum kebahagiaan, dimana ia meraih tangan Luna untuk berdansa bersama. "Hee~ Mama baru tahu kalau anak Mama punya bakat sihir dalam tarian. Nenek-mu pasti akan senang saat dia tahu," ucap Emma sang mama; kemudian mengangkat tubuh kecil Luna untuk menggendongnya.

Luna mengerjapkan mata beberapa kali, memiringkan kepalanya tanda bingung, "Luna punya nenek?" Selama ini ia mengira bahwa ia tidak punya keluarga selain papa dan mamanya saja; hanya Reagan dan Emma. Beginilah ia berusaha bertingkah tiap hari. Berusaha baik-baik saja, meski masa lalu sesekali menghantuinya seperti tadi.

"Benar. Esther adalah nama nenekmu. Ia berbahaya tetapi kita membutuhkannya, Luna. Bersikaplah baik bila ia berkunjung nanti," ucap Emma dengan paras penuh pertimbangan yang membuat Luna makin penasaran dengan sosok nenek-nya.

Luna mengingat-ingat trait kecil tentang kekuatannya tadi meski ada misteri yang belum ia bisa pecahkan. Pertama, apa kekuatan tadi hanya muncul saat ia menari? Ketika ia berhenti menari, maka cahaya putih lenyap, begiti pula ke lima gagak putih mungil yang terbuat dari cahaya tadi. Gagak-gagak itu ikut lenyap. Kedua, kenapa kekuatan tersebut baru muncul di kehidupan ini? Ia pernah sesekali menari di kehidupan sebelum-sebelumnya, namun ia yakin hal seperti ini tidak pernah terjadi. Ketiga, kenapa pandangan matanya berbeda ketika ia menggunakan kekuatannya? Apa itu inti dari kekuatannya?

***

Flashback 9 tahun yang lalu.

Di sebuah ruangan gelap dalam menara terasing, para penyihir sedang sibuk membantu Irene De Hillary melahirkan. Irene De Hillary adalah ibu kandung Ares di setiap kehidupan, begitu juga dengan kehidupan kali ini. Selama ini ia tercatat sebagai tragedi pertama dalam kehidupan Ares, namun berbeda dengan sebelum-sebelumnya; Irene menangis ketika mendengar tangisan Ares yang baru lahir.

Ares memang baru beberapa menit lahir, namun dianugerahi atau mungkin dikutuk karena ia segara bisa berpikir selayaknya orang dewasa. Ia tetap menangis, serta makin keras tangisnya karena lelah dengan kehidupannya di novel terkutuk ini! Ia ingin membuat telinga orang-orang sakit karena keras tangisnya, tidak mau menderita sendiri. Sayangnya rencana tersebut kandas karena dua hal. Pertama, kenapa Irene sang mama kali ini menangis saat ia lahir? Bukankah biasanya justru tertawa terbahak-bahak bagai menang perang? Kedua, karena ia mendengar tangisan bayi lain! Iya, bayi lain! Ia kembar?! Sejak kapan?

"Irene! Kenapa kau memiliki anak kembar, J*lang?!" teriak penyihir lain, nampak kesal dengan adanya kemunculan kembaran Ares. Penyihir-penyihir lain banyak yang merasa senang daripada murka, hingga yang nyeletuk seperti tadi segera mendapatkan jitakan dan omelan.

Ares menolehkan kepalanya sebisanya karena ia masih baru lahir, mendapati kembarannya yang memiliki rambut merah muda tua hingga mendekati merah. Tangan sang adik-kembar-nya menyentuh tangannya, membuat Ares ingat tugasnya sebagai bayi baru lahir; yaitu menangis! Ia kembali memangis lagi meski kali ini terasa lebih konyol.

Dalam batin-nya ia menyadari bahwa ingatannya tentang kehidupan masa lalu-nya tidaklah lengkap. Tidak lengkap bukan berarti wajar melupakan kalau ia punya kembaran. Tidak apa, rasanya akan lebih menyenangkan begini, benar? Entah kenapa ia berpikir seperti itu. Toh bukan hal baru kalau di setiap kehidupan selalu ada variable yang berganti. Beberapa ucapan Luna dari kehidupan sebelumnya kembali terngiang di benak, menumbuhkan tekad kuat dalam diri Ares.

Ketika ia dan sang adik berada di pelukan ibu mereka, Ares bertahap berhenti menangis, sedangkan adiknya malah menangis makin keras karena digendong sang ibu. Irene sang ibu kemudian berucap dengan nada parau serta senyuman sendu, "Selamat datang, Ares De Jove dan Logan De Jove."

Bukankah nama anak pertama dan kedua terlalu beda jauh untuk ukuran anak kembar? Ares tersadar kalau adiknya mulai berhenti menangis setelah mendengar mereka berdua telah diberi nama. Pandangan Ares dan Logan bertemu, dimana Ares melihat Logan mempunyai mata yang sama dengan dirinya. Mata khas keturunan De Jove. Normalnya anak haram dari keturunan De Jove akan memiliki mata yang sama namun mengalami kebutaan, kecuali dirinya yang kelak memiliki 'Mana' yang besar. Ares merasa lebih lega setelah bisa merasakan kalau Logan adiknya tidak tampak mengalami kebutaan; sama seperti dirinya.

Flashback usai.

***

Ares dan Logan kini sudah berumur 11 tahun. Hidup dan berkembangan di area menara terpencil dimana mereka belajar sihir sejak usia mereka 5 tahun; tempat di mana mereka sengaja disembunyikan keberadaannya mengingat mereka adalah anak haram antara Kaisar William dengan Irene. Sama seperti kehidupan sebelum-sebelumnya kekuatan sihir Ares amat menonjol, dimana Logan sang adik juga tidak bisa menyainginya. Kedekatan mereka serta obsesi aneh sang adik telah mampu membuat Logan nampak tidak iri dengan pencapaian Ares. Adanya justru Ares yang sering marah tiap orang membandingkan Logan dengan dirinya. Kembali ke topik obsesi aneh; itu adalah obsesi Logan sang adik untuk menganggap Ares adalah ayahnya. Ya, se-absurd itu. Logan beralasan mereka tidak punya sosok figure ayah, jadi ia ingin mengganggap Ares adalah ayahnya. Daripada Logan jadi rewel, maka Ares setuju-setuju saja.

"Papa, Kaisar jelek yang katanya adalah ayah kita itu tidak pernah mengunjungi kita. Tidak salah aku menganggapmu sebagai Papa-ku," ucap Logan sambil melatih sihir membuat api berbentuk naga.

"Apa yang kau harapkan dari baj*ngan sepertinya? Meski aneh tapi kau ada benarnya. Lebih baik kau menganggap aku sebagai ayahmu. Tidak ada gunanya berharap pada Kaisar," jawab Ares yang sukses menciptakan naga berkepala tiga dari api.

"Papa, malam ini bacakan aku dongeng lagi. Yang bagus, jangan dongeng yang menyebalkan. Harus happy ending. Tidak boleh lama-lama sedih," lanjut Logan yang kini duduk di lantai, ingin istirahat dari latihan.

"Banyak sekali mau-mu!" ucap Ares menatap kesal ke adiknya. Gara-gara permintaan aneh-aneh tersebut, maka Ares sering mengarang dongeng secara bebas.

Ares terkekeh pelan mendapati adik gemasnya cemberut karena protes Ares. Ares benar-benar tertawa setelahnya, lalu mengacak lembut rambut Logan. Memiliki adik tidaklah buruk kadang. Di antara latihan sihir dan fisik yang sering menyakitkan dan melelahkan, ia dan Logan sering saling menyemangati. Toh sebenarnya ia tidak masalah dengan tingkah unik adiknya, justru ada lucu dan warna-nya tersendiri.

***

Hutan terlarang diberi kategori terlarang karena hutan tersebut harusnya dihindari, hanya orang-orang tertentu yang boleh memasukinya. Ingat dengan semboyang unik seperi 'aturan untuk dilanggar'? Begitulah adanya, sebab nyatanya terdapat satu gubuk atau rumah kecil yang berdiri damai di dalam hutan terlarang tersebut. Pemiliknya bernama Esther, yaitu nenek Luna dari sisi Emma sang mama. Biasanya Esther suka hidup menyendiri selayaknya introvert tingkat kronis, namun kebiasaan tersebut terpaksa berubah beberapa tahun belakangan ini.

Esther Grace memiliki 'Mana' yang cukup banyak, membuatnya masih nampak bagai berumur 20 tahunan meski umur aslinya sudah amat banyak. Ia memiliki rambut merah panjang dengan iris mata berwarna merah muda. Bisa dikatakan orang awam rata-rata tidak akan menduga bahwa ia sudah menjadi seorang nenek-nenek yang bahkan sudah memiliki cucu.

Berusaha menahan segala emosi di dada, malam ini Esther tengah melakukan pembicaraan dengan Lizbeth.

"Lizbeth, bukankah sudah saatnya kau untuk pulang?" tanya Esther pada muridnya itu. Esther masih duduk di jendela di dalam rumah gubuk-nya, menolak menatap Lizbeth dan lebih fokus melihat bintang di langit.

Lizbeth yang ia panggil tadi adalah satu-satunya muridnya, itupun ia terpaksa menerika Lizbeth sebagai murid. Beruntung Lizbeth memiliki 'Mana' unik dan cukup besar, jadi Esther tidak terlalu terganggu dengan anak umur 9 tahun tersebut. Lizbeth memiliki rambut panjang hitam dengan mata biru cerah. Mata biru cerah yang membuat Esther merasa amat tergangguh. Ah, memang pada dasarnya Esther lebih suka hidup sendirian di gubuk tua-nya di dalam hutan terlarang ini.

"Aku punya cucu bernama Luna. Sebentar lagi aku akan melakukan perjalanan untuk menemuinya. Kau tidak perlu mencariku dalam se-mingguan ini," ucap Esther yang masih menolak menatap Lizbeth, namun berubah seketika langsung menatap murid-nya tersebut setelah mendengar jawaban sang murid.

"Kebetulan aku punya teman dekat bernama Luna Grace," jawab Lizbeth dengan senyuman ceria. Lizbeth berdiri dari kursinya, lalu tanpa pamit berjalan pergi meninggalkan Esther yang masih terdiam membisu. Hei, mana sopan santun pamit sebelum pergi?! Anak itu mirip sekali dengan ayah-nya! Sama-sama menyebalkan.

Serta- B*ngsat lah! Luna Grace itu nama cucu-nya! Kenapa cucu-nya harus berteman dekat setan cilik yang merupakan anak setan besar?! Bukan benar-benar setan, namun Esther punya alasan kuat kenapa ia sebal sekali pada Lizbeth dan ayah-nya Lizbeth. Mereka bedua sama-sama membuat hidup damainya menjadi susah.

Esther melempar gelas ke tembok dekat jendela dengan kesal hingga gelas itu pecah berkeping-keping. Sial-nya, bocah lain bernama Leon justru membuka pintu. Leon memiliki rambut serta kulit putih khas albino. Bocah lelaki itu juga memiliki iris mata warna merah khas albino. Leon memang nampak sebagai anak yang berumur 11 tahun, tapi sesungguhnya Esther yakin anak itu minimal berumur 19 tahun-an. Ia tidak butuh kunjungan bocah lain di saat seperti ini.

"Sejak kapan kau mengangkat Lizbeth sebagai muridmu, Nenek Penyihir Tua?" tanya Leon dengan nada tidak sopan, mengatai Esther tua; yang nyatanya Esther masih tampak seperti berumur 20 tahun-an, walau sesungguhnya ia memang sudah jauh lebih tua.

"Diam kau. Aku akan pergi menemui Luna sekarang. Makin muak melihatmu setelah sebelumnya sudah melihat Lizbeth yang mengaku-ngaku sebagai teman dekat Luna cucu-ku," ucap Esther, meninggalkan Leon yang tampak tertegun, seolah baru tahu kalau Lizbeth dan Luna memiliki koneksi.

Leon mengumpat dalam batin, merasa harus kembali ke portal secepatnya, takut dimarahi oleh ayahnya karena ada hal trivia-trivia 'bodoh' yang ia tidak ketahui, sedang ia harusnya sudah tahu hal tersebut. Ia tertawa hambar membayangkan dirinya harus dijewer sang mama karena mengikuti permainan licik sang ayah, serta ditatap sinis sang ayah karena melihat keteledorannya. Leon meninggalkan kediaman Esther secepatnya, tidak lupa membanting pintu untuk membuat Nenek Penyihir itu makin kesal. Hei- menjahili Esther yang emosian memang sangat menyenangkan.

***

bersambung