1 Hidup Di Dunia Bagaikan Mimpi Buruk

Kasuragi Sakamoto, itulah nama seorang pemuda berumur 19 tahun yang sekolah di sebuah SMA negeri di Jepang.

"Oi Sakamoto!"

Baru saja, Sakamoto tiba di dalam ruangan loker untuk mengambil perlengkapan sebelum pulang. Seseorang telah memanggil namanya. Jika bisa Sakamoto ingin mengabaikan suara itu, karena suara itu berasal dari sesuatu hal yang tidak ingin dia temui.

Seorang anak laki-laki berwajah menyeringai telah berdiri di belakang tubuh Sakamoto, ketika Sakamoto menoleh, sorotan mata anak laki-laki itu mengagetkan dirinya. Akibat hal itu Sakamoto sedikit terdorong hingga tubuhnya tersandar di dinding loker.

"Oi… Sakamoto apakah kau ingin, menghindari diriku? Haah?"

"T-Tidak!" Lirikan bola mata Sakamoto mengarah ke arah lain, karena dia takut untuk melihat sorotan mata laki-laki itu.

"Oi… oi… oi…! Apa yang kau lakukan? Apakah kau mengacuhkan diriku?" Sikap Sakamoto itu telah membuat anak laki-laki tersebut sangat marah.

"Plak!"

Satu tangan anak laki-laki itu sengaja diarahkan untuk memukul loker, supaya menghasilkan efek intimidasi yang lebih besar. Dan itu memang berhasil, Sakamoto semakin ketakutan akibat hal tersebut. Kaki Sakamoto tidak berhenti bergetar, keringat dari keningnya mengucur deras hingga membasahi pipinya.

Sakamoto tidak bisa berkata apa-apa, dia sudah terlalu takut bahkan dirinya ingin sekali kencing di sana, namun dia tetap berusaha untuk menahannya supaya tidak ada cerita di hari esok yang akan menambah dirinya menjadi malu.

"Sakamoto! Besok adalah ulangan, aku harap kau sudah belajar karena aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk mendapatkan nilai bagus."

"B-Baik!" Terpaksa Sakamoto menuruti keinginan anak laki-laki itu jika dia menolak maka, yang terjadi adalah sebuah peristiwa yang akan membuat dirinya menjadi malu seumur hidup.

"Kalau begitu, aku akan menantikan besok, asal kau tahu, jika aku mendapatkan nilai jelek atau kurang memasuki standar yang aku inginkan. Akan aku buat kau menyesal!"

Setelah memberikan ancaman anak laki-laki itu pergi meninggalkan Sakamoto.

Perjalanan menuju rumah, wajah Sakamoto hanya dipenuhi oleh rasa sedih. Rasa takut akan menghadapi hari esok terus menghantui pikirannya, sudah bagaikan penyakit berbahaya yang akan membunuhnya dalam hitungan jam.

"Bagaimana ini… aku ingin sekali bebas dari hidup yang sangat menyedihkan ini."

Sudah lama Sakamoto mendapatkan penindasan dalam kehidupannya, setiap sekolah dirinya hanya menjadi bahan tertawa dari teman-teman kelasnya.

Tidak memiliki keahlian apa-apa, membuat dirinya selalu menjadi incaran bagi anak laki-laki lain. Bahkan anak perempuan di sekolahnya, merasa enggan untuk mengenal dirinya. Mereka takut akan terkena imbas dari cacian dan hinaan yang selalu menjadi hal yang selalu berkaitan dengan Sakamoto.

Sudah sejak lama Sakamoto, kehilangan harapan. Senyuman tidak lagi bisa terukir di wajahnya, hanya ada kisah pilu yang setiap hari menemani harinya.

Sakamoto selalu berharap kalau takdir akan memberikan keadilan, namun sampai saat ini keadilan itu tidak pernah ada. Sakamoto lelah, Sakamoto sedih, Sakamoto sudah hilang sebuah cahaya kehidupan untuk menatap masa depan yang cerah.

"Aku pulang!" Kata-kata itu dilontarkan Sakamoto, meski dia tahu tidak akan ada yang menjawabnya.

Hanya rumah yang menjadi tempat Sakamoto bisa melupakan hari-hari yang menyakitkan itu. Sakamoto tidak memiliki keluarga, dirinya hanya tinggal sendirian. Sejak kecil dia dirawat oleh kakek dan neneknya, untuk sekolah di kota dirinya harus meninggalkan desa. Dua tahun lalu kakeknya meninggal disusul dua bulan neneknya juga meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Sudah tidak ada lagi yang menemani hari Sakamoto. Hanya tersimpan kenangan manis di dalam sebuah foto usang di atas meja belajar.

"Huh…!" Sakamoto menghela napas panjang, saat menyadari kalau dirinya tidak akan bisa kembali ke waktu masa lalu di mana dirinya bisa tertawa dan menangis tanpa ada yang memarahinya.

Ketika Sakamoto mau belajar, air matanya selalu mengucur sedih. Kenangan indah yang selalu hadir di benaknya itu menjadi obat penawar untuk dirinya melangkah. Meski hatinya sudah menangis darah. Tidak ada obat untuk meredam hati yang luka, tidak akan ada yang mampu bisa menghilangkan bekas robekan dari kisah pilu yang sedang terjadi saat ini kepada dirinya.

Demi memenuhi keinginan dari teman bajingan yang selalu saja membuat kisah pilu kepada dirinya, Sakamoto belajar tanpa memikirkan kesehatan tubuhnya. Matanya sakit, itu adalah reaksi yang wajar, tubuhnya memiliki batas, dia bukanlah robot yang bisa 24 jam selalu membuka mata hanya untuk melihat sesuatu.

Meskipun sudah mengantuk, Sakamoto terus belajar tidak kenal waktu. Dirinya sudah biasa melakukan hal itu, di dalam kelas memang Sakamoto memiliki keunggulan di dalam otaknya, namun tidak dengan fisik.

Sejak pulang sekolah hingga larut malam, tubuh terus dipaksa untuk belajar demi membanggakan orang lain. Itu bukan yang diinginkan Sakamoto, dirinya tidak ingin berjuang untuk orang lain tapi mau bagaimana lagi, takdir tidak pernah memihak kepada orang seperti dirinya.

"Teeet!"

"Huh!" Mata Sakamoto terbuka setelah mendengar alarm berbunyi. Dalam keadaan setengah mengantuk dia memeriksa jam sekarang.

Waktu menunjukkan pukul 7:00 am. Sakamoto sontak langsung kaget, mata yang awalnya masih mengantuk kini terbuka dengan lebar.

Sakamoto lalu buru-buru pergi ke sekolah, untuk mengejar sisa waktu supaya tidak terlambat.

***

Langkah kakinya langsung terpaku, tubuhnya seakan menyarankan untuk lari setelah berada di depan pintu gerbang sekolah.

Sakamoto merenung, dengan kepala yang tertunduk. Waktu masih tersisa 10 menit sebelum bell sekolah dibunyikan.

Tangan Sakamoto mengepal dengan kuat. "Apakah hari ini, akan sama seperti hari kemarin dan sebelumnya?" Alisnya mengkerut dengan kelopak mata yang menutup.

Rasa takut itu, menjadi beban pikiran yang menghantui Sakamoto. Jika bisa lari dia ingin lari, jika bisa dia melawan dia ingin melawan, namun sekali lagi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Tidak beberapa lama, akibat terlalu lama merenung bell sekolah berbunyi. Kepala Sakamoto langsung terangkat, begitu dia menyadari kalau sudah tidak ada waktu lagi, dengan cepat dia memacu kakinya untuk masuk ke dalam lapangan sekolah.

Sakamoto tidak bisa berlari cepat, dia payah dalam bidang olahraga hal ini juga yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan dirinya harus menerima hinaan sebagai anak lemah.

"Huh! Huh! Huh! Aku harap aku masih sempat!"

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk Sakamoto berlari, sebelum dirinya melihat ruangan kelas. Tapi ruangan itu sudah sangat senyap karena dari kejauhan sosok seorang guru sedang duduk.

"Plak!"

Suasana menjadi hening, setelah Sakamoto masuk ke dalam ruangan kelas dengan tangan yang tidak sengaja menghantam pintu. Semua mata langsung tertuju ke arahnya.

Sakamoto melirik ke arah semua wajah, dan terakhir wajah guru yang mengajar dalam ruangan. Tampak tatapan sinis dari guru tersebut.

Pandangan Sakamoto langsung jatuh ke lantai, bibirnya menurun dengan alis yang juga ikut menurun.

__To Be Continued__

avataravatar
Next chapter