1 Sadness

Cuaca dingin di kota New york benar-benar membuat para warga terjerembap, tak kuasa menahan dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang. Tidak ada salju lebat memang, tetapi udara dingin yang diperparah dengan angin kencang, cukup membuat banyak orang yang melakukan aktivitas di luar rumah memakai pakaian tebal bahkan berlapis-lapis.

Namun, berbeda dengan seorang wanita yang tengah berjalan di tengah udara dingin itu. Dia hanya berbalutkan sehelai kemeja, jaket tebal dan rok hitam selutut yang melekat sempurna di tubuh mungilnya. Udara dingin yang menghantam betis telanjangnya tidak membuat dirinya untuk berhenti, ia masih tetap berjalan melewati blok demi blok dengan derap langkah yang pelan dan santai, membelah udara dingin yang membuat mulutnya berasap setiap embusan napas. Sesekali wanita itu berusaha mempererat sweater rajut yang dia kenakan.

Langkahnya terhenti ketika dia sudah sampai di depan sebuah kedai bunga. Sekali lagi, wanita itu melepas napas dengan pelan, lalu berderap memasuki kedai sederhana tersebut. 

"Hai, Rachel. Kali ini masih seperti biasanya?" sapa sang pemilik kedai bunga setelah menyambut kedatangannya dengan senyuman hangat.

Wanita yang bernama Rachel itu tersenyum manis seraya mengangguk ringan. Dia memang sudah sangat sering ke kedai bunga itu, sehingga ia tak perlu repot-repot lagi memesan bunga apa yang ia inginkan. Karena pemilik toko bunga ini sudah tahu betul apa keinginannya.

"Kau terlambat kali ini?"

Sang pemilik toko bunga bertanya sembari menyiapkan buket bunga untuk pelanggan setia yang sudah satu bulan ini hampir setiap hari berturut-turut mendatangi toko bunganya itu.

Rachelia mendesah pelan dan mengangguk singkat seraya menjawab, "Ya, aku baru pulang kerja."

Gadis pemilik toko mengedarkan pandangan, layaknya tengah mencari seseorang, membuat Rachelia mengernyit ketika melihat iris hijau itu bergerak.

 

"Di mana kekasihmu? Tidak biasanya dia tidak menemanimu ke sini?"

Kernyitan di dahi Rachelia semakin dalam saat mendengar pertanyaan yang gadis itu ajukan.

Kekasih?

Di detik kemudian, akhirnya Rachelia mengerti maksud gadis itu mengenai tentang kekasihnya.

"Oh itu, aku yang memintanya untuk tidak menemaniku hari ini. Dia cukup sibuk di kantor, dan aku tidak ingin mengganggunya," jelasnya kemudian pada gadis muda pemilik toko bunga tersebut. "Ah iya ... pria itu atasanku, bukan kekasih," lanjutnya kemudian membuat gadis tersebut hanya mengangguk, mengerti.

Rachelia sedikit tersenyum kikuk ketika bibirnya menyebutkan kata 'kekasih' tadi.

Sambil merangkai pesanan bunga Rachelia, gadis itu kembali bersuara. "Di luar sangat dingin. Kenapa kau malah berpakaian seperti itu?"

 

Rachelia terkekeh. "Aku bahkan tidak memikirkan dinginnya udara di luar sana, yang aku pikirkan hanya segera mengunjungi mereka."

Jawaban itu sukses membuat gadis pemilik toko bunga tercengang, senyum yang sejak tadi terulas di bibirnya perlahan menghilang ketika pandangannya jatuh tepat pada wajah lelah Rachelia. Sorot mata gadis itu selalu memancarkan kesedihan, membuat ekspresinya tampak seperti seseorang yang kehilangan semangat hidup. Semenjak satu bulan yang lalu, saat pertama melihat kedatangan wanita itu untuk pertama kalinya. Sorot mata yang dimilikinya selalu memancarkan kekosongan, benar-benar terlihat seperti menanggung sebuah beban hidup yang sangat besar.

"Yap! Dua buket bunga mawar putih sudah siap."

Suara gadis cantik pemilik toko bunga itu membuyarkan lamunan Rachelia. Dia lalu menoleh ke arah gadis yang entah sudah sejak kapan berdiri di sampingnya itu.

"Ah ya. Thank you, Mia," ucapnya dengan lirih sambil menerima buket buka yang telah diserahkan oleh Mia. Senyum tulusnya tak pernah lepas setiap kali dia berbicara.

Mia lalu memeluknya. "Sampaikan salamku pada mereka."

Rachelia mengangguk. "Pasti, akan aku sampaikan kepada mereka. Terima kasih sekali lagi, Mia," katanya, yang membuat Mia mengangguk ringan, kemudian melepas pelukannya.

Rachelia kemudian melanjutkan perjalanan. Raut wajah yang terlihat lelah sama sekali tidak membuatnya mundur. Ia tetap melangkah mantap dengan dua buket bunga di kedua rengkuhan tangannya. Menembus udara dingin yang sangat mencekam.

Setelah hampir lima belas menit menempuh perjalanan, menyusuri trotoar yang sudah dilapisi salju yang tipis. Wanita yang bernama Rachelia itu akhirnya tiba di tempat tujuan utama. Dia berjalan menyusuri gundukan-gundukan tanah yang berwarna hijau bahkan masih ada yang terlihat baru dengan taburan bunga di atasnya. Sampai kemudian dia sampai di tempat yang sangat dia rindukan, Rachelia berdiri tegak di antara dua gundukan rumput nyaris hijau dan batu nisan yang nyaris rata dengan gundukan tersebut.

Rachelia menarik napas perlahan. "Maaf, aku datang terlambat kali ini!"

"Bagaimana kabar kalian?" lirihnya dan melirik kedua batu nisan itu secara bergantian.

"Keponakanku? Apa dia baik-baik saja?"

Hening.

Dengan perlahan, wanita cantik itu berjongkok lalu meletakkan buket bunga di atas makam dengan nama Mike Stanley di batu nisannya. Penglihatannya buram akibat air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Mike, kau menjaga mereka dengan baik, bukan?" tanya Rachelia dengan suara bergetar. 

Lalu setetes air mata itu mengalir membasahi kedua pipinya. Dengan bibir yang bergetar menahan isakan, Rachelia kembali berujar dengan suara parau. "Apa kau tahu, Mike? Aku sangat merindukanmu. Aku merindukan kalian. Sangat-sangat merindukan kalian semua."

Hening.

Rachelia menyeka air matanya, lalu menoleh ke arah sebuah makam yang serupa dengan milik Mike.  "Hai, Valerie," sapanya lembut. Bibirnya mengulum senyum ketika ia melihat sebuket bunga di atas makam itu. "Apa dia baru saja mengunjungimu? Bunganya terlihat jauh lebih segar dan besar. Kau pasti suka, bukan?"

"Ah iya, ini juga untukmu, dariku. Mawar putih seperti biasanya."

Rachelia lalu meletakkan buket bunga yang tadi dibeli—tepat di samping buket bunga yang besar itu.

"Aku merindukanmu, Vale. Kau tahu, aku tidak bisa menemukan sahabat seperti dirimu lagi. Aku tidak punya tempat lagi untuk berkeluh kesah, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini."

Rachelia tergugu di atas gundukan tanah itu. Air matanya semakin deras berjatuhan. "Kau tahu bahwa aku menyayanginya. Aku ingin kau menjaga Mike untukku. Bisakah?"

Hening.

Terdiam cukup lama dan hanya air mata yang tak pernah berhenti mengalir, Rachelia kembali membuka suara. "Aku merindukan kalian. Apa kalian mendengarku?"

"Aku merindukan kalian. Aku butuh kalian. Aku kesepian sendiri di sini."

"Aku merindukan kalian semua!"

Wanita cantik itu kembali mengulang ucapannya ketika keheningan tersebut masih terus mengerubungi sekitarnya. Berharap bahwa mereka yang sebenarnya sudah tidak ada, dapat mendengar lirihan pedih yang baru saja dia lontarkan.

Mungkin, siapa pun yang mendengar atau melihat Rachelia seperti saat ini, mereka mungkin saja akan beranggapan bahwa dia adalah wanita gila yang berbicara tanpa henti di depan sebuah makam. Akan tetapi, sungguh, pernyataan yang barusan dia lontarkan itu benar-benar berasal dari relung hatinya.

 

Sejak kematian Mike sekitar satu bulan yang lalu, wanita itu memang setiap hari mengunjungi makam, tak pernah sehari pun dia tidak hadir. Namun, entah mengapa, tangisan dan kesedihan yang Rachelia rasakan itu benar-benar tidak bisa menghilang. 

Rachelia sangat terpukul atas kematian Mike, kakaknya, keluarga satu-satunya yang dia miliki di dunia ini. 

 

avataravatar
Next chapter