webnovel

Real Beginning (1)

-Alangkah bahagianya seorang wanita jika ada pria yang melamarnya. Itu semua impian para wanita, dilamar oleh seorang pria, sorang pria yang kita cintai. Tapi bagaimana jika pria yang melamarmu bukan pria yang kau cintai, melainkan pria asing yang baru kau kenal.-

"Menikahlah denganku."

Kata-kata itu terus terngiang dalam pikiranku setiap saat. Tak malukah dia setelah kejadian itu esok harinya dia datang menemuiku dan memintaku untuk menikah dengannya?

Aku tak habis pikir apa yang ada dipikirannya. Secepat itu dia memintaku untuk menikah dengannya padahal kami baru bertemu dua kali. Kevin sudah gila. Otaknya sudah tidak waras lagi. Tapi dari suaranya, tersirat jelas bahwa ia bersungguh-sungguh. Ia tak sedang bermain-main ataupun bercanda. Raut wajahnya pun pada saat itu terlihat jelas ia sedang serius mengatakan hal itu. Tetapi, tetap saja aku menganggapnya pria gila.

Bayangan wajahnya terus mengelilingi otakku. Aku berdecak kesal. Aku tak akan sudi menikah dengan pria yang sudah melecehkan diriku. Ditambah lagi, Joe tak berkomentar apapun saat aku menceritakan hal itu. Ini semakin membuatku kesal.

Belum lagi tentang pria yang bernama Lucas melintas di benakku. Dia pernah mengatakan pada Joe bahwa dia menginginkanku. Sebenarnya ada apa dengan dua pria ini? Kejadian akhir-akhir ini cukup membuat benang kusut di otakku.

Hari sudah malam. Aku memang sengaja pulang malam, bayangan-bayangan itu membuatku gila dan aku membutuhkan udara segar untuk menghilangkan rasa pusingku.

"Nona, kita sudah sampai," ujar supir taksi membuyarkan lamunanku.

Ketika sampai di depan rumah, aku dibingungkan dengan beberapa mobil polisi yang terpakir di depan. Ada garis polisi yang melingkari pagar rumah. Kemudian mataku menelusuri pintu depan, ada sebuah tulisan yang cukup besar. Jantung dan otakku seperti tak dapat berfungsi ketika membaca tulisan itu. "RUMAH INI DISITA"

Astaga! Kedua kakiku langsung berlari mencari Joe. Tapi apa yang aku temukan. Aku menemukan polisi membawa Joe dengan kedua tangan di borgol ke depan.

"Mengapa anda membawa paman saya? Saya kira anda salah tangkap," ujarku pada polisi yang membawa Joe.

"Paman anda telah melakukan pembunuhan terhadap wanita beberapa hari lalu dan terbukti telah menggelapkan uang sebesar 1.2 Triliun."

Mendengar semua itu, tubuhku menjadi lemas seketika. Aku tak bisa merasakan apapun. Kakiku sudah tak kuat menopang berat badanku tapi kupaksakan untuk tetap berdiri tegak. Aku tak percaya jika Joe yang melakukan semua itu, tak mungkin. Rasanya tak mungkin. Joe bukanlah orang yang sejahat itu, aku mengenalnya dengan baik. Dan kini mereka hilang dari pandanganku.

Sekarang aku tidak tahu harus pergi kemana. Rumah telah disita. Dan ketika aku memesan kamar di Hotel dengan kartu kredit atas nama Joe, resepsionis bilang kartuku di blokir bahkan ATM atas namaku juga ikut di blokirnya.

Dingin mulai menusuk tulangku. Hujan datang tanpa permisi. Di mana aku akan tinggal? Aku bahkan tak punya uang sepeser pun.

Aku duduk di halte bus, berlindung dari hujan yang menerjang kota Seattle. Semua bayangan yang tak ingin kuingat berkali-kali muncul di pikiranku. Joe menyuruhku untuk menemui Kevin dan mempercayainya, itu yang ia katakan sebelum para polisi itu membawanya masuk ke jeruji besi.

Aku tak ingin bertemu dengan Kevin. Untuk apa aku harus mempercayai orang yang telah melecehkanku? Lagipula aku tak ingin menelan ludahku sendiri, meminta bantuannya setelah kumaki-maki dia.

Kutatap ke depan menatap hujan yang turun rombongan dengan pasukannya. Angin kencang membuat hujan menciprat diriku yang sedang berlindung. Halte ini tak berguna untuk berlindung dari hujan. Alhasil cipratan itu membasahi tubuhku.

Tiba-tiba ada mobil van hitam berhenti tepat di depanku. Beberapa lelaki keluar dari mobil menuju ke arahku lalu mereka menyeretku dengan paksa untuk ikut bersama mereka. Aku berusaha berontak melawan mereka. Ketika kumelawan mereka, ada tangan yang menggenggam sebuah sapu tangan membungkam mulutku.

Aroma di sapu tangan itu membuat seluruh tubuhku lemas dan padanganku menjadi kabur lambat laun. Sebelum mereka memasukiku ke dalam mobil, aku melihat ada mobil berbeda berhenti di belakangnya dan orang di dalam mobil itu keluar berlari kecil ke arah kami lalu aku tak bisa melihat apapun. Pandanganku menjadi gelap dan aku tak bisa merasakan tubuhku lagi.

*****

Aku membuka mataku perlahan. Dengan sangat pelan aku mulai mengedarkan pandanganku menyusuri sudut-sudut ruangan ini. Menerka-nerka di mana aku. Aku sama sekali tak mengenali ruangan ini. Ruangan ini sangat asing bagiku. Dan kenapa aku bisa ada di sini?

Sebentar...

Aku mengingatnya. Malam itu, mobil hitam dan orang-orang aneh itu.... Ah sial kepalaku berdenyut keras. Aku hanya mengingat sedikit.

"...Selidiki lebih lanjut.."

Terdengar suara samar-samar dari balik pintu yang sedikit terbuka. Aku mendengar pembicaraan di balik pintu itu tapi tak jelas. Aku harus berada lebih dekat agar aku bisa mendengarnya.

Suara langkah kaki masuk ke ruangan ini, "kau sudah sadar rupanya," ucapnya sambil membawa segelas air.

Aku hampir loncat dari kasur mengetahui siapa yang membawaku kemari. Dia? Jadi dia yang menculikku?

Aku berusaha bangkit untuk menghindarinya, dia bisa saja menyakitiku. Tapi Kevin lebih sigap, dia langsung duduk di sisi ranjang sebelahku, mencengkram tanganku kuat kemudian cengkraman itu di lepasnya perlahan.

"Tenanglah. Aku tidak berniat menyakitimu," katanya sambil menyodorkan segelas air.

"Kau menculikku," desisku menatapnya dengan kebencian.

"Kau seharusnya berterima kasih padaku sayang."

"Untuk apa aku berterima kasih kepada orang yang menculikku?!"

Matanya berkilat sedetik, dan kurasa aku membuatnya marah, tapi aku yang seharusnya marah bukan dia. Kemudian dia mendekatkan wajahnya, menyudutkanku di dinding kasur dengan tubuhnya.

"Apa tangan kau sedang terikat dengan mulutmu dibekap oleh lakban?" bisiknya parau di daguku. Tubuhku masih terlalu lemah untuk melawannya, "tidak kan? Jadi berhentilah berpikir aku menculikmu. Kau memang hampir diculik tapi aku menyelamatkanmu. Jika aku tak datang tepat waktu mungkin saja kau sudah diperkosa lalu dibunuh dan mayatmu dibuang di jalanan."

Aku diam tak bergeming. Merasa ketakutan.

Akhirnya Kevin memberi jarak antara kami. Aku hampir tidak bisa bernafas ketika wajahnya terlalu dekat denganku.

Aku mengernyit berusaha mengingat.. Dan aku mengingatnya. Malam itu hujan deras dan aku basah kuyup karena orang-orang itu terus memaksaku masuk. Kemudian aku tersadar sesuatu. Bajuku malam itu basah. Kulirik baju yang kukenakan. Seseorang telah menanggalkan pakaianku dan menggantinya dengan kemeja putih polos yang ukurannya kebesaran di tubuhku, kemeja ini menjuntai sampai setengah pahaku.

Astaga! Hanya kemeja ini yang kupakai tanpa dalaman sehelai pun. Aku tertegun lalu menatap Kevin yang sepertinya tahu apa yang sedang ada di pikiranku.

"Aku tak mungkin membiarkanmu tidur di ranjang dalam keadaan baju basah, kan?" ia menatap pakaianku dengan tidak sopan.

"Siapa yang mengganti bajuku?"

Aku langsung curiga padanya bahwa dia yang menanggalkan pakaianku. Oh, aku harap ia mempunyai seorang asisten rumah tangga agar kecurigaanku ini tak dapat di benarkan.

"Aku hanya tinggal sendiri di sini jadi kau pasti tahu siapa yang mengganti bajumu," Kevin beranjak dari ranjang.

Saat mendengarnya tanganku sangat gatal untuk menampar wajahnya bahkan rasanya aku ingin memotong tangan dan mencongkel matanya. Dia tanpa ragu mengatakan itu padaku bahwa dia yang menggantikan bajuku. Ada rasa malu karena dia pasti telah melihatku dalam keadaan telanjang tetapi rasa kesalku lebih besar dari rasa maluku.

Dan tunggu... Waktu itu dia berani menciumku, lalu dia mengganti pakaianku saat aku tidak sadar dan bisa saja dia telah mencuri kesempatan meniduriku saat aku pingsan. Aku menatap kasur berseprai sutra putih. Tak ada bercak darah. Aku sedikit bernafas lega mengetahui diriku masih perawan.

Melihat tingahku, aku merasakan Kevin sedang terkekeh.

"Aku akan menunggumu di dapur untuk makan siang tapi sebelum itu kau ganti pakaianmu," dia menunjuk pakaian beserta dalaman di ujung ranjang, "pakaianmu baru kupesan tadi. Well, tak masalah bagiku jika kau makan bersamaku dengan kemejaku," kini matanya menuduh menelusuri tubuhku, "Aku akan sangat senang melihatnya"

Meledak. Aku merasa seluruh organku meledak-ledak di dalam tubuh lalu hancur menjadi keping-keping seperti bangunan yang di bom. Caranya memandangiku seperti aku ini wanita jalangnya. Dan dengan semuanya yang telah terjadi, Joe yang di tangkap polisi, rumah di sita, orang yang hampir menculikku. Kepalaku sakit mengingat semua itu.

Aku sudah mengganti pakaianku. Gaun merah marun yang sangat pas di tubuhku dan aku agak bingung dengan dalaman yang juga pas di badanku, seolah-olah pakaian ini di jahit khusus hanya untukku.

"Aku harus pergi, aku tak mau tinggal disini," kataku setelah kami pergi meninggalkan dapur. Aku makan cukup lahap karena dari kemarin sore perutku belum sempat terisi apapun.

Kevin tak merespon. Dia terus melangkahkan kakinya dan aku mengekorinya dari belakang. Wajahnya sangat dingin memendamkan kegusarannya, dia tampak seperti setengah iblis.

"Apakah kau sudah memikirkan permintaanku?" tanyanya mencoba selembut mungkin.

Aku tak mengerti dengan ucapannya. Apa maksudnya?

"Menikah denganku," tambahnya, namun ia tak berhasil menunjukan kelembutannya. Yang terpampang di wajahnya adalah kemarahan yang ia tahan.

Ucapan itu tampak mengerikan bagiku. Aku merasa takut melihat ekspresi wajahnya. Ekspresinya seperti menusuk jantungku dengan bambu runcing secara tidak langsung. Kevin menyadari ketakutanku. Ia menarik nafasnya dalam-dalam membuang amarahnya lalu menatapku ramah meskipun aku masih bisa melihat kemarahan yang tak ia tunjukan padaku.

Akhirnya aku angkat bicara ketika ia menunjukkan wajah ramahnya yang palsu, "menikah apa? Jangan tambah buatku pusing. Aku sedang pusing memikirkan pamanku, orang yang berusaha menculikku dan sekarang kau bicara konyol?!" ya, aku memang pusing. Aku khawatir dengan kondisi Joe, Polisi-polisi itu bisa saja membuat wajah Joe babak belur saat mereka mengintrogasinya. Aku tidak percaya kalau Joe membunuh atau korupsi. Hidupnya tidaklah mewah hanya saja gaya hidup meniduri wanita-wanita jalang yang membuatnya menghambur-hamburkan uang. Walau bagaimanapun dia adalah satu-satunya keluarga di negara ini yang kupunyai, aku tak memiliki siapapun selain pamanku.

Sesaat ekspresinya kembali menahan amarah lalu ia berusaha setenang mungkin, "aku akan pergi ke kantor polisi, kau ingin ikut?"

Beruntung, dia tak memperpanjang soal menikah. Dia membelokkannya tentang hal yang kuinginkan sekarang ini. Bertemu Joe.

Aku menanyakan banyak hal pada Kevin dengan kemungkinan yang terjadi pada Joe dalam perjalanan, tapi dia meyakinkanku bahwa Joe akan baik-baik saja.

"Lalu bagaimana kau mengenal Joe? Ada hubungan apa kau dengannya?" mulut ini tak bisa berhenti meskipun aku tahu dia jengkel karena sejak dalam perjalanan aku tak bisa diam.

"Dulu dia bekerja padaku dan secara kebetulan kemarin-kemarin aku membeli perusahaan dimana Joe bekerja," terangnya.

Aku memang pernah mendengar bahwa perusahaan di tempat Joe bekerja telah di beli oleh orang terpandang di kalangan pembisnis dunia. Dan itu artinya Kevin. Kevin bukanlah orang sembarangan. Dia orang kelas atas yang tak di ragukan lagi tentang keahliannya dalam bisnis. Itulah yang aku ketahui dari berita-berita yang tak sengaja kudengar. Lalu bagaimana bisa orang terpandang sepertinya meminta orang sepertiku untuk menikah dengannya? Sementara pikiran itu kusingkirkan terlebih dahulu. Saat ini Joe yang harus kupikirkan.

*****

Aku sudah bertemu Joe. Kondisinya cukup baik, tak ada memar di wajahnya seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Kevin terlebih dahulu bicara dengannya sebelum aku, dan aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Saat bertemu dan bicara dengan Joe, tentu saja aku menanyakan apakah hal yang dituduhkan polisi itu benar atau tidak. Akan tetapi, Joe tak ingin berkomentar mengenai hal itu. Ia malah menyuruh sesuatu yang tak dapat kupercaya.

"Kau harus menikah dengan Kevin maka semuanya akan kembali seperti semula," ujar Joe.

Menikah? Kembali seperti semula? Tubuhku seperti tersambar petir begitu mendengarnya. Aku sudah tahu Kevin adalah pria yang memiliki segalanya. Berbagai pikiran negatifpun bermunculan. Apa dia yang membuat Joe seperti ini agar aku mau menikahinya?

"Kembali seperti semula? Hidupku sejak lahir sudah kacau. Apanya yang seperti semula? Aku tak ingin menikah dengannya," ada kekecewaan di wajah Joe saat ia mendengar responku.

"Jika kau tak ingin melihatku tersiksa di sini atau tak ingin melihat keluargamu dalam bahaya, menikahlah dengannya. Dia akan menjamin kehidupan kita semua, terutama kehidupanmu."

Dugaanku tentang Kevin semakin kuat. Semua ini pasti karena Kevin.

"Apakah Kevin yang menjebakmu lalu mengancammu agar aku menikah dengannya?! Menjamin apa hah?!" aku berteriak kesal, "kenapa harus aku? Di luar sana pasti banyak wanita yang menginginkannya!"

"Bukan dia."

Aku tahu dia sedang berbohong.

"Karena kau miliknya, Luna."

"Aku bukan milik siapapun!"

Pembicaraan kami belum usai saat itu, tapi pak penjaga memperingati kami kalau waktu menjenguk sudah habis. Terakhir kupandang Joe, tatapannya seakan memohon padaku agar aku mau menyetujuinya.

Kevin memarkirkan mobilnya. Kami sampai di apartemennya, tinggal naik lift ke lantai 18. Dia dari tadi tidak bicara sepatah kata pun begitu pun aku. Aku terlalu sibuk dengan ucapan Joe tadi. Karena kau miliknya, Luna. Karena kau miliknya. Aku terus mengulang-ulang ucapan Joe dalam hatiku. Kata-kata itu seperti kutukan bagiku. Aku miliknya? Tidak ada yang boleh memilikiku sampai aku mengizinkannya. Aku adalah milikku sendiri, bukan miliknya atau milik siapa pun. Aku belum menyerahkan diriku pada siapa pun. Tidak ada yang bisa memaksaku sekalipun Joe bilang keluargaku dalam bahaya atau apapun. Aku punya jalanku sendiri dan Tuhan yang akan menuntunku. Bukannya aku tak peduli dengan keluargaku, aku percaya Tuhan yang menentukan bukan manusia.

"Apa yang kau pikirkan?"

Aku mengalihkan pandanganku padanya saat mendengar suara yang tak ingin kudengar. Tak bisakah dia mengetuk pintu terlebih dahulu? Aku tahu ini apartemennya dan aku meminjam kamar kosong ini, tapi setidaknya dia mengerti tata krama. Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya.