webnovel

Meet

Dedaunan terlihat segar karena basah. Jalanan juga ikut basah. Jendela kamar penuh dengan uap dan cipratan air. Hujan telah membasahi kota Seattle. Hujannya tidak terlalu deras tapi mampu membuat daerah tetangga ke banjiran.

Kuletakan kembali ponselku setelah membaca berita Banjir. Memang hujannya tidak deras tapi sejak pagi hingga malam hujan enggan berhenti. Beruntungnya daerahku tidak kebanjiran. Aku bisa gila kalau terkena banjir. Besok ada ujian yang menunggu, jika banjir bagaimana aku belajar?

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Aku belum mengantuk, lebih tepatnya kedua mataku terpaksa harus terbuka karena harus membaca materi yang tertinggal.

Sekali lagi kulirik ponselku. Tanpa sengaja kubuka kembali SMS dari Adam. Setelah malam itu, dia tidak membalas pesanku lagi.

Terbesit niat untuk mengirim pesan padanya tapi aku tahu itu akan percuma karena dia tidak sedang memegang ponsel. Oh sial. Lupakan.

Aku berdiri dari tempat belajarku, melangkah keluar kamar menuju dapur untuk membuat secangkir kopi agar aku bisa membuat mataku tetap terjaga.

DAK!!

Suara pintu utama.

Joe sudah pulang. Tapi dentuman pintu membuatku heran. Tak biasanya Joe membanting pintu ketika pulang larut begini. Apakah dia ada masalah?

Kutinggalkan kopiku dan bergegas ke depan menemui Joe. Ingin mengomelinya karena membanting pintu seenaknya di tengah malam begini.

"Joe tidak bisakah kau pelan membuka pintunya?!!" teriakku dari kejauhan sambil mencari sekring lampu dengan hati kesal. Seharusnya lampu selalu menyala, aku tidak hafal letak sekring lampunya.

Suara langkah kaki semakin mendekat. Saat aku berhasil menemukan sekring lampu dan menyalakan lampunya, aku melihat Joe berjalan menuju kamarnya. Bukan, bukan Joe yang berjalan melainkan ada seorang pria tinggi asing berjalan membantu Joe memasuki kamarnya. Joe tidak sendirian.

"Astaga, Joe apa yang terjadi?" tanyaku panik sambil membantu pria itu untuk meletakkan Joe diranjangnya.

"Aku menemukannya di klub. Dia terlalu banyak minum," jawab pria asing membantu mengurangi kepanikanku sambil membuka sepatu Joe.

"Mengapa kau menyusahkanku di saat besok hari penting bagiku!" cibirku pelan memandangi Joe yang tidak sadarkan diri. Kulepaskan dasinya lalu kutarik selimut sampai dada Joe. Setelah urusan Joe selesai kutatap wajah pria asing itu, ingin mengucapkan terimakasih karena telah membawanya pulang. Namun saat dia menatapku, aku merasa aneh. Dia menatapku dengan ekspresi terkejut.

"Ada apa?" tanyaku padanya sambil melirik kanan-kiri-belakangku. Aku khawatir ia melihat hantu.

"Tidak," jawabnya dingin. Kini ekspresinya datar namun masih menatapku intens. Aku diam bergidik ngeri melihatnya menatapku seperti itu.

Beberapa saat kemudian pria itu meninggalkan kamar Joe. Aku mengikuti langkahnya. Dia berhenti dan membalikan badannya menatapku kembali.

Mengapa ia menatapku seperti itu? Apakah ada yang aneh dengan penampilanku? Jika penampilanku aneh karena mengenakan piyama aku tak peduli, ini memang waktunya memakai piyama.

"Terima kasih telah mengantar Joe pulang," senyuman simpul muncul dari bibirku meskipun sebenarnya aku tak ingin tersenyum pada pria yang menatapku aneh ini.

"Sudah berapa lama kau tinggal disini?"

Pertanyaannya membuat mulutku menganga. Seharusnya dia mengatakan 'Ya sama-sama' atau 'Tidak masalah' bukan pertanyaan seperti itu.

"Maaf?" aku menatapnya heran.

"Sudah berapa lama kau tinggal disini? Setahuku Joe tinggal sendiri."

Ekspresinya berubah datar meski wajahnya masih tetap terkejut.

"Oh itu. Hampir setahun. Aku keponakannya."

Aku tak ingin dia mengira bahwa aku wanita simpanan Joe jika aku tak menjelaskan hubunganku dengan Joe yang sebenarnya. Sebelumnya ada beberapa teman Joe yang mengira aku simpanan Joe. Dan aku tak ingin perkiraan kotor itu mengecapku lagi.

"Kau kuliah disini?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk ya sambil memperhatikan ekspresinya yang sedikit melembut.

Tadi dia dingin, menatapku tidak sopan! Sekarang kenapa dia berubah jadi lembut?!, makiku.

"Apakah kau betah tinggal di sini?"

Mengapa dia malah menghajarku dengan beberapa pertanyaan?! Itu bukan urusanmu, stranger!

"Tidak terlalu. Aku lebih suka negaraku tapi tak ada pilihan lain. Lagi pula itu bukan urusanmu kan aku betah atau tidak di sini?" sindirku dengan nada humor yang berpura-pura

"Oh baiklah. Senang bertemu denganmu," dia tersenyum memarken gigi putihnya.

"Sekali lagi terima kasih," ujarku

"Sampai bertemu lagi," nadanya berjanji bahwa kita akan bertemu lagi.

Aku tersenyum padanya sambil memegang gagang pintu kemudian menutup pintunya setelah dia menghilang dari pandanganku.

Ada sesuatu yang aneh ketika aku bertemu pria itu. Cara dia memandangiku seperti sesuatu dan aku tak bisa mengartikan arti dari sesuatu itu.

Ah mungkin karena aku belum terbiasa dengan sikap orang berdarah Eropa, pikirku.

Lebih baik aku memikirkan Joe, tak biasanya Joe pulang dalam keadaan mabuk. Aku harus menanyakannya setelah ia sadar nanti.

********

Ujian berjalan lancar. Untuk beberapa saat aku bisa sedikit bersantai dan tidak perlu begadang lagi.

"Joe," ucapku memecah keheningan dalam mobil.

Sebelum ujian selesai, Joe mengirim pesan bahwa dia akan menjemputku. Aku tak ingin menolaknya karena di samping itu aku ingin menanyakan kejadian semalam. Tadi pagi aku tak sempat bertanya, saat kubuka kamarnya dia sudah pergi terlebih dahulu.

"Apakah ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanyaku dengan hati-hati.

"Tidak ada. Memangnya kenapa?"

"Kau masih bertanya kenapa? Kenapa kau semalam mabuk? Untung saja ada seseorang yang mengantarkanmu pulang dalam keadaan menjijikan!"

Joe memperlambat kemudinya lalu ia menghentikan mobilnya di bahu jalan.

"Seseorang mengantarku pulang? Semalam?" tanyanya ragu.

"Kau pikir kau pulang sendirian dalam keadaan tak sadarkan diri? Hah yang benar saja!" omelku, "kenapa kau bisa semabuk itu? Kau tahu kita dilarang meminum alkohol atau sejenisnya."

Aku tahu Joe mengetahui bahwa kaum seperti kami sangat dilarang meminum minuman keras tapi Joe terbawa oleh gaya hidup yang bebas ini. Bagaimana tidak? Dia dibesarkan di negara ini.

"Aku benar-benar tak ingat apa yang terjadi semalam," Joe mengangkat kedua bahunya, "omong-omong kau tahu siapa yang mengantarku pulang?"

"Seorang pria. Aku tak sempat menanyakan namanya."

Joe kembali melajukan mobilnya. Sebelum sempat kami pulang ke rumah, ia mengajakku makan siang di restoran yang tidak terlalu jauh dari kantornya sebagai permintaan maaf atas kejadian semalam.

Aku mengaduk-aduk sup hangat tanpa selera memakannya. Pikiranku tertuju pada ibu dan kakakku. Aku sangat merindukan mereka. Sudah lama aku tak berkomunikasi dengan mereka. Joe bilang bahwa ibuku sedang sibuk makanya ia tak bisa dihubungi, aku tak perlu mencemaskannya. Ibuku baik-baik saja setelah kejadian itu. Itulah yang Joe katakan.

Saat kami hendak bangkit dari kursi kami, tiba-tiba ada seorang wanita yang berpakaian minim, parasnya cantik, wanita itu terlihat seumuran Joe tapi lebih muda, ia mencium bibir Joe. Aku jelas tersontak melihat mereka. Joe pun sepertinya terkejut dengan keberadaan dia yang datang tiba-tiba.

"Aku sudah memenuhi nafsumu semalam, kau berhutang padaku," desis wanita itu sambil tersenyum sinis kearahku.

Dengan tatapannya yang merendahkanku, aku yakin wanita ini menganggapku wanita jalangnya Joe.

Dengan segera Joe mengeluarkan dompet dan memberi lembaran kertas yamg cukup tebal pada wanita itu. Setelah itu Joe menyuruhnya pergi dengan kasar.

Bukankah Joe bilang dia tak mengingat kejadian semalam? tapi apa yang baru aku lihat? Dia seolah-olah tak melupakan kejadian apapun ketika bertemu wanita itu.

Jujur saja aku tak menyukai Joe yang suka meniduri wanita berbeda-beda. Joe sering mengelak saat kutanya tentang wanita-wanita jalang yang ia tiduri. Ia bilang ia tak pernah meniduri wanita manapun. Tapi teman-teman Joe yang mengira aku wanita jalangnya, itu sudah cukup membuktikan. Ditambah lagi dengan kejadian hari ini.

"Hari ini sudah membuktikan dugaanku, Joe. Kau sudah tak bisa mengelaknya lagi. Mengapa kau tak cari saja satu wanita lalu kau menikahinya sehabis itu kau bisa sepuasnya menidurinya. Kau tak perlu keluar uang banyak lagi untuk menikmati tubuh seorang wanita. Di luar sana banyak orang yang kelaparan dan kau membuang uangmu hanya demi nafsu berengsekmu itu? Aku pikir kau pintar tapi kau bodoh."

Joe menatapku terkejut. Mungkin ia tidak bisa mempercayai ucapan yang keluar dari mulutku begitu saja.

"Kau masih seperti dulu. Ucapanmu tadi persis seperti dulu yang kau ucapkan pada...," bibir Joe langsung terkatup rapat lalu ia tersenyum lebar tanpa merasa bersalah.

"Maksudmu?" keningku mengerut tak paham dengan ucapannya.

"Ti..."

Tiba-tiba ponsel Joe berbunyi keras, membuatnya tidak melanjutkan ucapannya.

Telpon itu dari kantornya. Joe bilang ia harus kembali bekerja karena ada meeting mendadak.

Aku tak menyangka Joe bisa selamat dari percakapan ini. Urusan kita masih belum selesai, Paman.

*****************

AUTHOR POV

Joe bingung mengapa CEO perusahannya tiba-tiba memanggilnya. Setahunya, perusahaan tempat ia bekerja telah dibeli oleh orang yang sangat terpandang beberapa waktu lalu. Apakah ada pekerjaan yang fatal sehingga ia dipanggil oleh CEO yang baru?

Dengan berbagai perasaan bingung, Joe memasuki ruang CEO itu.

"Silakan duduk," ujar sang asisten CEO-nya lalu pergi setelah diberi aba-aba untuk meninggalkan mereka berdua.

Sekarang hanya ada dirinya dan CEO barunya.

Joe duduk dan menatap kursi besar yang membelakanginya. Penasaran dengan wajah CEO baru.

Kursi besar pemilik perusahaan itu berputar menghadap seseorang yang sudah datang menunggunya. Ketika menatap pria

umur setengah abad yang ia kenal sudah lama, ia tersenyum lebar namun mematikan.

"Hai Joe," sapanya sambil tersenyum.

Joe tergelonjak karena kaget ketika mengetahui siapa CEO barunya. Bukankah dia seharusnya berada di London? Jika dia pemilik baru perusahaan ini, itu artinya dia akan menetap di sini.

Berbagai kekhawatiran muncul di benak Joe. Mengapa bisa dia berada di sini? Apakah dia sudah mengetahui apa yang ia sembunyikan darinya selama ini? Joe mencoba membuang berbagai pikiran negatifnya.

"Mengapa kau terlihat terkejut saat melihatku?"

"Aku hanya tak menyangka anda adalah orang yang membeli perusahaan ini," jawab Joe setenang mungkin untuk menyembunyikan ketakutannya.

Cih, sekatang kau menggunakan bahasa formal padaku. Si pemilik kursi besar itu mencibir.

"Well, aku juga tak menyangka kau bekerja di sini. Bukankah 6 bulan yang lalu saat kita bertemu kau bekerja di perusahaan Australia?"

"Aku mengundurkan diri. Ingin mencari pekerjaan yang membuatku nyaman."

"Aku harap kau akan betah setelah mengetahui bahwa akulah pemilik barunya."

Joe mengangguk, tatapannya tak berhenti melihat pria di depannya, begitupun sebaliknya. Mereka saling menatap satu sama lain. Yang satu menatap dengan tatapan membunuh dan yang satu lagi menatap dengan tatapan tenang namun was-was.

"Joe, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, mungkin?" tanyanya datar. Senyumannya kini berubah menjadi dingin.

"Aku kira anda yang ingin mengatakan sesuatu padaku, Tuan. Karena anda yang memanggilku." Joe masih berharap pria di depannya tidak mengetahui apapun. Jika dia mengetahuinya, itu bukan pertanda baik, bencana akan mengancam hidupnya.

Joe memang mengenalnya dekat, sangat dekat. Dialah yang membuat Joe yang sekarang seperti ini, tanpanya dia mungin bukan apa-apa. Tapi tanpanya pula mungkin istri dan anaknya tak akan meninggal dunia. Dia adalah malaikat yang membantunya sekaligus tanpa sengaja mendatangkan bencana bagi hidupnya. Akan tetapi itu sudah menjadi resiko dirinya sendiri, ia dulu bersedia bekerja dengannya yang artinya siap menerima resiko apapun. Dan sebenarnya Joe masih bekerja padanya sampai detik ini hanya saja ia merasa harus jaga jarak.

Joe tidak membenci orang yang ada di hadapannya, dia menyanyanginya tapi Joe harus jaga jarak dengannya. Dia tak ingin lagi ada bahaya mengancamnya.

"Kemarin aku tak sengaja melihatmu di suatu tempat dan kau tahu apa yang aku temukan?" dia berusaha menahan nada amarahnya.

Joe diam tak bergeming. Ketakutannya menjadi kenyataan.

"BERANI-BERANINYA KAU MENGKHIANATIKU!!" teriaknya keras memukul meja. Suaranya menggema. "Aku memintamu untuk menemukankannya, tapi waktu itu kau malah berbohong!!" dia menatap Joe dengan tatapan nanar penuh amarah.

"Saya sungguh tak bermaksud mengkhianatimu. Tidak mungkin saya mengkhianati anda. Sungguh. Dia masih membutuhkan waktu," jelasnya hati-hati mencoba meyakinkan tuannya.

"Aku sudah memberikannya banyak waktu. Cukup sudah, aku tak ingin menunggu terlalu lama lagi. Kesabaranku sudah habis," gumamnya kesal.

"Tapi.."

"DIAM KAU JOE!!!"

Tampak kegusaran dari raut wajah pria yang duduk di kursi Bos. Ia ingin sekali meluapkan kemarahan karena kebohongan dari orang kepercayaannya. Tapi sebisa mungkin ia mengontrol emosinya, ia tak mau bertindak bodoh atau menyesali perbuatannya jika emosinya tidak terkontrol.

Dia menarik nafas dalam-dalam lalu kembali menatap orang kepercayaannya, "jika aku tak mengingat siapa kau, pasti sudah kubunuh kau hari ini." gumamnya.

Joe tak mampu berbicara lagi. Sekarang posisinya serba salah. Memang seharusnya Joe memberitahunya sejak awal karena itu memang wewenangnya bukan wewenang Joe. Tidak seharusnya dia berbohong terhadap orang yang telah memberinya kepercayaan selama bertahun-tahun.

Kau akan membayar kebohonganmu itu, Joe. Dia menatap Joe dengan tatapan penuh kemarahan. Tatapannya mampu membuat Joe beku.