1 Begin

Aku berdiri diam di keramaian. Tatapanku hanya terpaku pada ibu dan kakakku di hadapanku. Katakan ini hanya mimpi. Apalagi yang akan merenggut kehidupanku. Aku sudah cukup tersiksa dan kini ibu menyuruhku pergi setelah semua yang terjadi.

"Jangan bercanda bu. Aku akan tinggal bersama siapa? Aku bahkan belum pernah bertemu dengan orang yang ibu sebut adalah pamanku itu," aku ingin sekali menangis tapi aku harus menahannya. Aku tak mau melihat air matanya lagi, itu sudah sangat menyakitkan.

"Jika kau ingin bahagiakan ibu, buat ibu bangga dengan kau hidup di negeri orang. Pamanmu pasti akan membiayai kehidupanmu di sana. Ingat jangan pernah menghubungi ibu sebelum ibu yang menghubungimu atau situasi akan menjadi lebih buruk. Kau mengerti? Sekarang pergilah!"

Aku menggelengkan kepala beberapa kali menolak keinginan ibuku. Tidak, tidak seperti ini. Aku tak ingin meninggalkan mereka. Bukan seperti ini yang aku inginkan.

"Turuti katanya. Kau tidak perlu khawatir, aku akan menjaga ibu kita. Yang perlu kau khawatirkan adalah dirimu, masa depanmu. Jangan mengecewakan kami. Kami sudah beli tiket pesawat mahal-mahal untukmu, mau tak mau kau harus pergi," kakakku tersenyum sambil mendorongku masuk ke pintu pemberangkatan.

Menjauh, semakin menjauh dan bayangan mereka pun hilang di mataku.

*****

Dua hari yang lalu.....

Malam datang menghampiri dan hari semakin gelap tapi hatiku tak semakin gelap. Hari yang ditunggu-tunggu sudah tiba, hanya tinggal menghitung waktu. Perasaan antara gugup dan penasaran menyelimuti hatiku. Dan akhirnya waktu yang kunantikan tiba. Cepat-cepat aku membuka laptop dan membuka website yang aku tuju.

'SELAMAT ANDA DINYATAKAN LULUS, SILAKAN DAFTAR ULANG PADA 9 JUNI'

Tidak ada yang lebih bahagia dari pada melihat pengumuman di website. Akhirnya aku bisa melanjutkan kuliah tahun ini setelah satu tahun menunda kuliah S2-ku. Ditambah lagi kali ini aku diterima di universitas favorit! Tahun lalu aku mendaftar di universitas yang sama tapi nasibku belum beruntung. Kemudian aku mendaftar di universitas lain dan aku bersyukur dinyatakan lolos seleksi tapi Tuhan berkehendak lain, ekonomi keluargaku semakin memburuk dan mau tidak mau aku harus melepaskan mimpiku tahun itu.

Akhirnya semua rasa kecewaku terbayar hari ini. Kerja keras memang tak akan membohongi hasil. Kebahagiaan yang aku rasakan sulit untuk diceritakan, yang bisa kukatakan adalah aku seperti dibawa terbang.

"Ibuuu!" aku berlari menghampirinya, kedua lenganku terbuka lebar bersiap untuk memuluk tubuh hangat ibu. Sementara Ibu menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat, bingung melihat tingkahku, "aku diterima!" ucapku bersemangat sambil memeluknya erat.

"Alhamdulillah." ibuku membalas pelukanku sambil mengusap rambut hitam pekatku, "ibu senang. Kapan daftar ulang?"

"Besok lusa bu."

Tapi semua kebahagian yang aku rasakan musnah. Apa yang aku lihat di depanku benar-benar membuatku tercengang. Ada 3 polisi datang membawa surat panggilan dan polisi tersebut membawa sang pelapor. Aku hanya bisa tertawa mengetahui si pelapor itu yang tak lain adalah keponakan ibuku sendiri.

Dunia ini memang sudah gila. Dia, ponakan ibuku menjebak bibinya sendiri. Aku tahu ini jebakan yang ia buat.

"Sudah mengaku saja bahwa kau itu pencuri! Kau menyuruh pembantuku untuk mengambil hartaku, kan?" bibirnya tersenyum lebar, tertawa dalam sirat matanya, menertawakan kemenangannya itu.

*********

-Tak ada cara lain, hidup di negeri orang tanpa keluarga yang tidak kau kenal, satu-satunya pilihan yang buruk-

Interior klasik. Wallpaper dinding yang indah. Aku tahu kamar ini pasti baru disiapkan. Aku bisa mencium bau kamar ini. Tidak cukup besar tapi aku merasa cukup nyaman dengan kamar baru ini.

"Bagaimana? Kau menyukainya?" tanya pria paruh baya itu menatapku di ujung pintu kamar.

Aku hanya mengangguk. Enggan untuk mengeluarkan suaraku. Aku masih tidak percaya wajah asing itu adalah pamanku. Mengapa ibu tidak pernah mengatakan bahwa aku punya paman sebelumnya, kenapa baru sekarang.

"Kau tidak perlu malu ataupun takut. Aku murni pamanmu, jangan menganggapku orang asing. Ya meskipun ini pertemuan pertama kita," ujarnya sambil mengangkat bahunya, "istirahatlah. Sehabis kau istirahat, kau harus makan."

Lagi, aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Tak lama dia menjauh dari kamarku, meninggalkanku dengan beribu pertanyaan dengan apa yang telah terjadi. Dia pasti mengetahuinya.

Hari ini memang sangat membuat diriku lelah terutama pikiranku. Otakku sudah lelah memikirkan apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi selanjutnya. Tidak bisakah hidup ini sedikit adil untukku?

3 jam tertidur pulas di kamar ini. Aku masih mengantuk tapi ada aroma sedap yang membuatku enggan untuk melanjutkan tidur. Akhirnya aku memutuskan keluar kamar dan menuju aroma sedap itu berada. Ah, meja makan. Aroma sedap itu berasal dari meja makan.

"Selamat malam, Nak," ujar pria paruh baya itu yang tak lain adalah pamanku, "mari kita makan, kau pasti sudah sangat lapar," ia menata makanan yang ia siapkan sebelumnya.

Entah siapa yang memasak. Rasanya nikmat sekali di lidah. Aku tak tahu nikmat karena rasanya atau memang karena aku lapar. Usai makan, dia melarangku pergi meninggalkan meja makan. lagi pula, siapa yang ingin pergi? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya.

Untuk beberapa saat suasana hening. Tak ada yang mau memulai percakapan terlebih dahulu. Aku bukannya tak mau, aku menunggu penjelasannya. Ia pasti mengetahuinya, pasti.

"Well, bagaimana kabarmu?" tanyanya tenang seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Aku tersenyum sinis, "kau tahu bagaimana kabarku. Aku tahu ini tidak sopan tapi..," aku sedikit takut menanyakannya tapi mau tidak mau aku harus menanyakan hal ini, "mengapa aku harus tinggal bersamamu? Aku bahkan tidak pernah mengenalmu sebagai pamanku. Mengapa ibuku mengirimku kesini? Padahal masih banyak saudara yang ibuku miliki."

"Kau terlalu cepat untuk bertanya," ujarnya, kedua tangannya saling menyatu mengunci jari-jarinya, "karena aku adalah satu-satunya saudara yang bisa dipercaya dan aku bisa menjamin kehidupan ponakanku. Kau tak perlu takut padaku, aku bukan penjahat seperti saudara-saudara ibumu," jawabnya dengan senyuman tipis, "dan kurasa ini pembicaraan yang berat untuk pertemuan pertama kita. Mengapa kita tidak berkenalan saja, Luna?" kali ini ia tersenyum sedikit lebar.

Senyumannya seperti menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang tak boleh kuketahui, "penjahat seperti saudara-saudara ibuku? Apa maksudmu? Tidak semua dari mereka jahat dan mengapa paman mengira aku takut padamu? Padahal bisa jadi kau sama seperti Danni yang berusaha memenjarakan ibuku."

"Danni akan menghubungi saudaramu yang lainnya mengatakan hal yang buruk dan berusaha meyakinkan mereka bahwa ibumu bersalah, mereka pasti akan percaya itu. Jika memang mereka saudaramu, kemana mereka saat ibumu sedang kesulitan mencari makan? Mereka hanya ada saat ibumu mempunyai banyak harta, persis sebelum kau lahir. Dulu ibumu mempunyai segalanya, ibumu menyekolahkan saudara-saudaramu sampai tamat. Tapi apa balasannya? Mereka manusia hina yang gila akan harta. Mereka membalasnya dengan air tuba, terutama Danni, dia malah berusaha memenjarakan ibumu dan dia berencana setelah ibumu di penjara, dia akan menjualmu sebagai pelacur," emosinya terlihat jelas di mataku meskipun ia berusaha menahannya.

Jantungku serasa ditusuk, mulutku tak sanggup mengeluarkan kata-kata, terlebih lagi saat mendengar kalimat terakhir. Sebegitu piciknya kah Danni? Apakah dia sepupuku tak mempunyai hati nurani? Bagaimana bisa dia berencana akan menjualku?

"Itu sebabnya kau disini. Itu sebabnya ibumu menyuruhmu tinggal bersamaku. Maafkan aku, kau seharusnya tidak tahu mengenai ini tapi kau memancingku untuk mengatakan hal ini. Yang perlu kau tahu, aku tidak akan menyakitimu atau berbuat jahat padamu. Tugasku adalah menjamin keselamatan dan masa depan anak dari adikku," lanjutnya.

"Aku mengerti sekarang. Tapi yang kukhawatirkan bukanlah diriku, tetapi...."

"Pengacara yang kukirim untuk menangani kasus itu akan menyelamatkan ibumu dalam beberapa minggu. Kau tak perlu khawatirkan itu. Aku tak mungkin membiarkan adikku mendekam dalam jeruji besi," selanya cepat.

Benar katanya. Pembicaraan ini terlalu berat, berat tuk diterima dan dicerna bagiku tapi setidaknya aku sudah mengetahui kehidupan pahit ini. Semoga Tuhan membalas perbuatan mereka semua.

Minggu pagi, matahari enggan mengeluarkan cahayanya. Ia bersembunyi di balik awan kelabu yang sedang menurunkan hujannya, membuat orang-orang semakin malas beraktivitas di hari Minggu.

Jendela rumah penuh dengan embun hujan. Ingin melihat melalui jendela tapi embun itu menghalanginya, membuat kabur pandangan di luar.

"Aku dengar kau tertarik dengan Hubungan Internasional?" suaranya memecahkan lamunanku. Dia membawakan dua cangkir teh hangat kemudian duduk di sampingku, lumayan untuk menghangatkan suasana dingin ini.

"Sebenarnya hukum."

"Hukum? Memperjuangkan keadilan?" suaranya sangat meremehkan, "Luna sayang, hukum di dunia ini sangat kejam, tidak adil. Banyak orang menyingkirkan keadilan di dunia ini."

"Itu sebabnya aku tertarik dengan dunia hukum. Aku ingin menyingkirkan orang-orang seperti itu. Toh aku sudah mengambil jurusan hukum sebelumnya."

"Orang-orang seperti itu sulit untuk disingkirkan. Jika kau berpikir untuk menyingkirkannya, maka kau akan mati terlebih dahulu sebelum sempat kau melakukan sesuatu," ujarnya lalu menghisap aroma teh dari cangkir yang ada di tangannya, diminumnya seteguk dan meletakkannya kembali.

Ucapannya sangat tajam seperti pisau dan tanpa di sengaja ia mengisaratkanku bahwa aku harus menjauh dari hukum.

"Sepertinya kau sangat mengenal dunia itu, paman," sindirku pelan.

"Joe. Panggil aku Joe, jangan ada embel-embel paman. Joe saja."

Aku mengangguk pelan kemudian mengambil secangkir teh yang dibuatkannya. Kuminum teguk demi tegukan. Aroma teh yang khas yang belum pernah kuhirup, nikmat dan membuat tubuhku lebih hangat.

Sekilas kutatap Joe yang sedang bersandar di sofa memejamkan matanya. Tak sedikit pun keriput yang menempel pada wajahnya. Hidungnya yang lancip, serta bibirnya yang tipis membuat umurnya terlihat lebih muda, dan tubuhnya yang tinggi ideal, menyempurnakan ketampanannya. Aku baru menyadarinya bahwa aku mempunyai paman yang tampan tapi aku heran akan ketampanannya itu, ia tidak mempunyai pendamping hidup setelah kematian istrinya 8 tahun yang lalu.

Beberapa minggu yang lalu setelah kami minum teh bersama, Joe bercerita bahwa istri dan kedua anak perempuannya meninggal dunia karena kecelakaan maut yang menimpa mereka, hanya Joe yang selamat.

8 tahun sudah berlalu baginya, tapi dia tak ingin menemukan wanita lain untuk menemaninya di masa hidupnya, lebih tepatnya dia tidak pernah mau serius dengan wanita padahal aku tahu tidak sedikit wanita yang menyukainya.

University of Seattle, Sastra Inggris. Jauh dari yang kubayangkan. Aku senang bisa melanjutkan pendidikanku tetapi di sisi lain aku tak senang karena Joe memasukanku pada Jurusan 'Sastra Inggris', itu di luar dari apa yang kuinginkan. Bukankah sebelumnya aku sudah memberitahu Joe bahwa aku tertarik pada dunia hukum? Mengapa dia menjerumuskanku di dunia Sastra?

Seharian aku menahan rasa kesal terhadapnya karena ia sama sekali tak menyetujui ketertarikanku dengan dunia hukum dia malah berkata 'aku yang membiayai kuliahmu, jadi semestinya kau berterimakasih'.

10 Bulan kemudian...

"Kau sudah bisa beradaptasi dengan teman-teman barumu dan juga dengan.. sastramu?"

Sialan. Dia benar-benar sengaja menekankan kata 'sastra' padaku. "Sudah 10 bulan aku berkuliah, tentu saja aku sudah bisa beradaptasi dengan semua itu!"

Joe terkekeh.

"Bagaimana denganmu? apakah kau sudah bisa beradaptasi?" sindirku.

"Beradaptasi denganmu?"

"Bukan," tukasku cepat, "bukan dengan diriku tapi dengan hidupmu."

Hanya ada suara mesin mobil dan suara musik di radio. Joe bungkam. Dia malah berpura-pura memfokuskan dirinya menyetir, menghindari ucapanku. Ini sudah sekian kalinya, setiap aku membahas kehidupannya dia pasti bungkam atau mengalihkan pembicaraan. Tak berapa lama kemudian ia menghentikan kemudinya. Kami sampai di rumah.

"Kau mau kemana lagi?" tanyaku setelah keluar dari mobilnya tetapi Joe tidak.

"Ada sedikit urusan," ia mengedipkan matanya lalu melaju gasnya.

avataravatar
Next chapter