webnovel

The Dark Slayer

Leon terbangun di sebuah hutan belantara tanpa mengingat apa-apa selain namanya. Dari sini perjalanannya untuk bertahan hidup dilingkungan yang sangat baru baginya dimulai

Mark_Wijya · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

Chapter 2 : Kebimbangan

Kami bertiga berjalan menyusuri hutan sampai akhirnya menemukan sebuah pemukiman yang dikelilingi oleh pagar kayu. Diantara deretan pagar kayu itu terdapat sebuah jalan masuk yang dijaga oleh 2 orang penjaga. Salah satu dari penjaga itu adalah seorang pemuda tinggi dengan kulit hitam dan rambut kriting. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang pemuda yang lebih pendek dengan kulit hitam dan rambut pendek yang acak-acakan.

Wolf menuntun kami mendekati mereka. Dia dengan santai hendak masuk ke dalam pemukiman. Namun kedua penjaga tadi menghentikannya.

"Siapa kalian?" tanya penjaga berambut kriting sambil menghentikan Wolf.

"Hei, hei, hei. Tenang dong! Kami baru saja terkapar disini. Jadi secara otomatis kami adalah rekan kalian. Bukankah begitu?" kata Wolf mencoba meyakinkan mereka.

Kedua penjaga itu saling pandang selama beberapa saat, lalu penjaga berambut kriting melanjutkan, "Baiklah kalian boleh masuk. Tapi jika kalian adalah mata-mata, maka bersiaplah untuk mati."

"Ya, terserah kalian saja." jawab Wolf sembari menerobos masuk ke dalam pemukiman.

Pemukiman yang kami masuki ini adalah sebuah pemukiman sederhana. Rumah-rumah yang dibangun disini masihlah berbahan kayu dan berbentuk gubuk ala orang-orang primitif.

Masuk lebih jauh ke dalam pemukiman, kami menemukan sebuah gubuk yang ukurannya lebih besar dari yang lainnya. Langsung saja Wolf masuk ke dalam gubuk tersebut tanpa permisi terlebih dahulu.

Aku dan Ellise bertukar pandang sambil berdiri mematung didepan gubuk itu. Beberapa saat kemudian terjadi keributan dari dalam gubuk yang dimasuki oleh Wolf tadi. Dan disaat yang bersamaan Wolf melayang keluar dari gubuk.

Dari dalam tenda keluar seorang pria paruh baya berbadan kekar dengan raut wajah kesal. Pria itu berjalan mendekati Wolf yang terbaring dengan wajah pucat. Dia memandangi Wolf sambil membunyikan jari-jari tangannya yang mengepal.

Wolf menegakkan tubuhnya sambil mengangkat kedua tangannya. Dia bergerak mundur perlahan-lahan. Namun pria paruh baya itu tidak mempedulikan tanda menyerah dari Wolf.

Saat pria itu semakin dekat dengan Wolf, tiba-tiba Ellise berdiri didepan pria itu sambil membentangkan kedua tangannya.

Pria itu memasang raut wajah ganas lalu berkata, "Minggir!"

Ellise menggelengkan kepalanya menanggapi perkataan pria itu lalu berkata, "Tidak bisa. Anda tidak boleh menyakiti teman saya."

Pria itu tidak mempedulikan kata-kata Ellise. Dia lantas terus berjalan sampai hampir menabrak Ellise. Namun sebelum itu terjadi, seorang pria bertubuh tinggi memegangi bahu pria paruh baya itu untuk meredakan kemarahannya. Pria paruh baya itu lantas melirik kebelakang dan melihat orang yang hendak menghentikannya.

Suasana menjadi hening, pria paruh baya tadi menghela nafasnya lalu dengan berat hati membiarkan masalah yang dibuat Wolf berlalu begitu saja.

"Baiklah Roman, aku akan membiarkannya kali ini." kata pria itu pada orang yang menghentikannya sembari kembali masuk ke dalam gubuk.

"Haih, lain kali jangan diulangi lagi ya, Eric." Jawab pria yang disebut Roman itu sambil tersenyum.

Roman mengulurkan tangannya pada Wolf untuk membantunya berdiri. Uluran tangan itu disambut baik oleh Wolf. Tetapi Wolf masih terlihat pucat karena kejadian tadi.

"Tolong maafkan perbuatan Eric tadi." Kata Roman kepada Wolf.

Menanggapi perkataan itu, Wolf mengangguk beberapa kali lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Roman. Melihat itu, aku dengan cepat mendekati mereka.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku pada Wolf.

Wolf mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu mengatur nafasnya perlahan-lahan untuk menenangkan dirinya.

"Ya, aku sudah tidak apa-apa." Jawab Wolf dengan nada datar.

Aku mengalihkan pandanganku pada Ellise lalu bertanya padanya, "Bagaimana denganmu Ellise?"

"Aku baik-baik saja." Jawabnya sembari tersenyum hangat kepadaku.

Sebenarnya aku merasa sedikit malu karena disaat mereka sedang dalam masalah, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi sebisa mungkin aku mengabaikan rasa malu itu.

"Sebaiknya kalian ikuti aku agar dapat beristirahat dengan tenang. Meskipun hanya didalam gubuk sederhana." Ajak Roman sembari menuntun kami menuju ke sebuah gubuk yang berada tidak jauh dari gubuk yang tadinya dimasuki Wolf.

Sesampainya disana, Roman langsung mempersilahkan kami untuk masuk. Gubuk yang kami masuki ini memiliki lantai yang dialasi oleh tikar berbahan daun pandan yang keringkan dan dianyam sedemikian rupa.

Bagian dalam gubuk itu juga sederhana dan tidak memiliki banyak barang. Dibagian pojok ruangan, aku dapat melihat perlatan berburu seperti tombak, busur dan tas besar yang kelihatannya sudah sedikit rusak. Sedangkan bagian lainnya tidak berisikan apa-apa.

"Silahkan tunggu disini dulu." Kata Roman sembari pergi menuju pintu belakang gubuk.

Aku, Wolf, dan Ellise duduk membentuk setengah lingkaran. Suasana sangat sunyi karena tidak ada yang memulai pembicaraan. Kesunyian itu berlangsung selama beberapa saat sampai akhirnya aku memutuskan untuk memulai pembicaraan.

Kulirik Wolf yang sejak tadi hanya duduk diam sambil menundukkan kepalanya.

"Kenapa kau sangat ceroboh tadi?" tanyaku padanya.

Aku bertanya seperti itu karena aku tidak mengerti kenapa dia dapat dengan santai masuk ke dalam gubuk orang lain tanpa permisi. Selain itu, aku juga penasaran kenapa aku bisa hilang ingatan tetapi dia bisa mengetahui namaku. Apa mungkin dia adalah penyebab aku hilang ingatan?

Ah, nampaknya itu tidak mungkin.

Sesegera mungkin aku menepis kecurigaanku itu, karena aku masih belum bisa memastikan kebenarannya.

Wolf mengangkat kepalanya dan menatap langit-langit sembari menghela nafas lalu berkata, "Sebenarnya awalnya kupikir gubuk itu adalah gubuk yang digunakan oleh semua orang disini."

"Dengan kata lain, kau pikir gubuk besar itu digunakan untuk melakukan perkumpulan atau semacamnya."

"Karena memang seharusnya begitu."

Astaga, kenapa dia bisa sesuka hatinya mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang. Tidakkah dia tahu kalau bangunan yang besar tidak selalu dijadikan sebagai tempat perkumpulan.

Tak beberapa lama kemudian, pintu belakang gubuk terbuka dan seorang pria yang tidak lain adalah Roman masuk ke dalam gubuk melalui pintu itu. Tangannya membawa sebuah karung kecil yang terbuat dari kain. Dan tentu saja karung itu berisikan sesuatu.

Roman duduk bersela didepan kami bertiga lalu ia mengeluarkan beberapa potong roti dan beberapa botol air minum. Kemudian dia meletakkannya ditengah-tengah kami.

"Silahkan dinikmati! Semoga saja kalian tidak bosan memakan makanan seperti ini." Kata Roman pada kami.

"Ini saja sudah lebih dari cukup kok." Sahutku sambil tersenyum lebar.

"Ya itu benar. Justru kami yang harus berterimakasih karena anda telah menyelamatkan kami." Sambung Ellise.

"Haha, jangan terlalu sungkan padaku." Jawab Roman sambil tertawa kecil. "Oh iya, namaku Roman, salam kenal." Lanjutnya.

Sebenarnya aku sudah tahu namanya, tetapi aku tidak ingin mengakuinya.

"Aku Leonal, salam kenal." Jawabku lalu diikuti oleh Ellise dan Wolf.

"Aku Ellise."

"Aku Wolf."

"Salam kenal kalian bertiga." Kata Roman sambil tersenyum dengan ramah ke arah kami.

Aku sangat senang karena ada orang yang sangat baik sepertinya disini. Namun aku juga tidak boleh lengah sedikitpun dilingkungan yang masih sangat baru bagiku.

***

Tidak terasa hari sudah gelap ketika kami selesai bercakap-cakap. Tetapi kuakui kalau hal itu tidaklah buruk untuk membuang waktu sembari mengakrabkan diri dengan orang-orang baru.

Aku duduk didepan gubuk milik Roman sambil memandangi bintang-bintang sambil diterangi oleh cahaya bulan. Beberapa saat kemudian Ellise datang dan duduk disebelah kananku. Aku memalingkan pandanganku dan melirik wajahnya yang manis itu. Dan entah bagaimana aku tidak bisa memalingkan pandanganku darinya.

Semakin lama aku memandanginya, semakin sejuk juga hatiku melihat rambutnya yang terurai dan lesung pipinya yang manis. Karena hal itu, sejanak aku terpikir untuk dapat lebih dekat dengannya. Namun sesegera mungkin aku menepis pikiran itu dari kepalaku.

"Ekhm..," Ellise berdeham sambil memalingkan wajahnya ke arah lain lalu berkata dengan nada yang terdengar sedikit gugup. "Apa ada yang aneh dengan wajahku." Katanya.

Sesaat setelah dia mengatakan itu aku jadi tersadar kalau ternyata aku memandanginya terlalu lama.

Aku dengan cepat memalingkan wajahku ke arah lain lalu menjawab, "Ng.., maaf.., aku tidak bermaksud..., itu.., anu.., maksudku.."

Ah, sialan. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? dan kenapa juga aku tidak bisa berkata dengan jelas?

Sebuah tawa kecil dengan nada lembut terdengar oleh telingaku. Mendengarnya membuatku semakin malu untuk menunjukkan wajahku pada Ellise yang berada tepat disampingku saat ini.

"Aku tidak menyangka kalau kamu adalah orang yang pemalu."

Astaga tolong hentikan itu!

Meskipun aku tidak dapat melihat raut wajah Ellise saat mengatakan kalau aku ini pemalu. Tetapi dari caranya mengatakannya sambil sedikit tertawa, aku dapat tahu kalau dia sedang mengejekku.

Namun sudahlah, tidak ada gunanya jika aku harus memperdebatkan hal ini dengannya.

Aku menghela nafasku sembari menenangkan diri. Setelah itu aku memalingkan wajahku ke arah Ellise, dan tanpaknya dia masih tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan serta memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Hm.., ngomong-ngomong, Wolf ada dimana?" tanyaku untuk mengubah topik pembicaraan.

Mendengar itu, Ellise mencoba untuk berhenti tertawa namun tubuhnya masih bergetar karena menahan tawanya.

"Hm, sepertinya dia pergi ke arah sana." Jawab Ellise yang sudah berhenti tertawa sambil menunjuk ke arah kanannya.

Aku berdiri lalu berkata, "Hm, nampaknya aku harus memeriksa keadaannya."

Aku mengatakan itu karena merasa sedikit khawatir pada keadaan Wolf sekarang ini. Karena takutnya nanti dia malah tersesat jika terus menyusuri hutan yang luas ini seorang diri.

"Ya, baiklah. Aku akan menunggu didalam tenda." Sahut Ellise sembari berdiri dan berjalan menuju tenda.

"Tunggu ya, aku tidak akan lama."

Setelah mengatakan itu, aku berjalan menuju ke arah yang ditunjuk oleh Ellise tadi tanpa membawa penerangan karena bulan sedang bersinar terang.

***

(Ellise PoV)

Aku masuk ke dalam tenda setelah berpisah dengan Leon. Jika aku boleh jujur, aku masih ingin mengobrol lebih lama dengannya. Tetapi tampaknya dia sedang khawatir pada Wolf. Hm, apa mungkin mereka ada pasangan?

Ah, mana mungkin itu benar.

Aku segera menepis pemikiran itu dari kepalaku. Karena kurasa tidak mungkin kalau hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Dan jauh dilubuk hatiku, aku tidak ingin itu terjadi.

Kenapa bisa begitu?

Jika ada yang bertanya seperti itu, aku dengan tegas akan menjawab kalau aku juga tidak tahu.

Sembari tenggelam didalam pikiranku, aku pun duduk bersela diatas tikar, meskipun duduk diatas tikar ini tidak terlalu nyaman untukku.

Beberapa saat kemudian aku mendengar suara langkah kaki. Karena itu aku segera menoleh ke arah suaru itu berasal.

Tiba-tiba aku disekap oleh seseorang dari belakangku. Tangan kiri orang itu menutup mulut dan hidungku hingga aku susah bernafas. Sedangkan tangan kanannya mengarahkan sebuah pisau yang panjangnya sekitar 1 jengkal, tepat didepan mataku.

Eh, Siapa orang ini?

Aku mencoba untuk memberontak dengan mengerakkan tubuhku sekuat tenaga. Tetapi semakin aku berusaha memberontak, pisau yang diarahkan padaku semakin mendekat.

Gawat, jika terus begini aku bisa mati.

Keringat dingin keluar dari tubuhku, detak jantungku semakin kencang, dan dadaku menjadi sesak karena tidak dapat bernafas.

Ah, matilah aku.

Rasa takut menghantui benakku. Lama-kelamaan tubuhku semakin terasa lemas dan tak bertenaga. Tubuhku yang tadinya kering menjadi basah kuyup oleh keringat.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku sudah ditakdirkan untuk mati hari ini?

Saat aku diombang-ambingkan oleh perasaan yang tak menentu, orang yang menyekapku berbisik dengan pelan ditelingaku.

"Berhenti bergerak! Atau pisau ini akan menancap dikepalamu."

Mentalku menjadi ciut setelah dia mengatakan itu, dan dengan pasrah aku melemaskan tubuhku dan berhenti berhenti memberontak.

Leon.., tolong ak_

Kepalaku menjadi pusing karena kehabisan oksigen. Lalu tak lama kemudian pengelihatanku menjadi gelap dan tidak ingat apa-apa lagi.