1 Babak pertama dari kerasnya hidup

"KELUAR KAMU DARI RUMAH INI!" teriak dari mulut seorang wanita tua yang selama ini dipanggil dadong (nenek dalam bahasa Bali).

"Buk, ampunilah kami. Made baru saja selesai acara ngaben dan upacara. Kenapa Ibuk mengusir kami dari rumah peninggalan suami saya?" ucap ibunya Amel sambil menangis, bersimpuh di tanah kotor depan gapura rumah mereka.

"Lalu apa hakmu mengambil semua milik anakku? Pergi kamu dari rumah kami! Semenjak Made menikah denganmu, dia sudah melupakan ibu kandungnya. Kalian saja tidak pernah datang dan membantu keluarga dan hal bermasyarakat. Jadi saya hanya ingin mengambil alih hak anak saya!" bentak ibu tua itu tanpa adanya belas kasihan di wajahnya.

"Buk, Bli Made meninggalkan rumah ini untuk Amelia. Lagi pula sertifikat tanahnya masih di bank untuk upacara ngaben Bli Made kemaren." Ibunya Amel masih memohon belas kasihan dari nenek. Namun dengan teganya, sang dadong tidak mengindahkan permohonan itu.

"Saya sudah tanya ke Made saat dia masih hidup. Dia menyuruh kalian pergi menjauh dari keluarga kami sebelum kecipratan kesialan darimu. Lagi pula, kamu itu cuma punya anak perempuan. Jadi dia tidak berhak atas warisan! Pergi sana!" hardik wanita tua itu mengusir sang ibu dan anaknya selayaknya mereka bukan bagian dari keluarga.

"Buk, yuk kita pergi ke daerah kota di Mengwi," kata Amel. "Ada kamar kos kecil di sebelah kos temen Amel. Ayuk, Buk."

Amel menaikkan ibunya ke atas motor buntut peninggalan bapaknya. Lalu ia dan ibunya menembus cuaca dingin dengan pakaian yang dibungkus tas seadanya, menuju ke kos sahabatnya, Indah. Dia juga mengadu nasib dari desanya di Karangasem.

Amel dan Indah bertemu ketika mereka sedang bekerja sambilan sebagai penjaga toko. Dari situlah awal mula persahabatan mereka.

Indah menawarkan mereka untuk tinggal di kamar kosnya yang seadanya. Sahabatnya itu mengetahui secara jelas kondisi keluarga dari bapaknya Amel yang memang sangatlah mata duitan. Kalau dadongnya Amel tidak mata duitan atau silau oleh harta, maka wanita tua itu tidak akan mengusir Amel dan ibunya dari rumah.

Indah dengan senang hati menerima Amel dan ibunya di kamar kosnya yang cukup sederhana. Ibunya Amel sudah lelah dengan rentetan acara dan kematian bapak. Dia terlihat pucat dan capek.

"Ndah, kamu beneran ga masalah kita tinggal numpang di kosanmu?" tanya Amel pada Indah yang menawarkan kamar kosnya kepada mereka.

"Memangnya kamu mau tinggal di mana lagi, Mel? Kamu punya uang untuk sewa kamar kos?" tanya Indah langsung pada sasaran.

"Aku?! Uang dari mana, Ndah? Kamu tau sendiri kalau aku harus ngundurin diri waktu izin liburku ga disetujui sama manager. Tapi seenggaknya aku bisa bantuin kamu untuk bayar separuh dari uang sewa bulanan, sambil bersihin kamar kos kamu setiap hari." Amel menawarkan hal tersebut pada sahabatnya.

"Tenang aja, itu bisa diatur. Kamu ga usah terlalu bingung soal itu. Oh ya, kamu istirahat dulu aja. Ibumu kelihatan capek banget. Aku ke depan beli bakso untuk lauk makan malam ya," ucap Indah memberitahu Amel sebelum dia pergi ke tukang bakso gerobak di depan rumah kos.

Amel segera membersihkan lantai kamar tempat tidur mereka dan menggelar alas tidur yang menyerupai tikar sebelum membuka kasur lipat untuk ibunya beristirahat. Lalu ia segera ke area dapur dan segera membantu Indah untuk mencuci piring dan membersihkan kamar kosnya.

Amel pun memasak nasi di magic com kecil milik Indah sebelum dia membuka teleponnya untuk mencari pekerjaan.

Indah datang dengan tas plastik di tangannya dan menaruh dua bungkus bakso ke dalam panci kecil sebelum menaruhnya ke atas kompor.

"Mel, kenapa ibuk kamu ga tidur di atas kasur aja? Kan beliau udah tua dan badannya ga sekuat kita yang masih muda," ujar Indah ketika melihat ibunya Amel tertidur di kasur lipat di lantai.

"Kami kan cuman numpang. Jadi, kami harus tahu diri lah. Indah, aku sangat berterima kasih sama kamu karena kamu udah izinkan kami untuk menumpang di rumah kontrakanmu ini. Aku janji akan mengingat semua kebaikan kamu," janji Amel kepadanya.

Indah menekan bahu Amel sambil tersenyum. "Itulah gunanya sahabat di saat susah seperti ini. Oh iya, besok kamu mulai bekerja lagi di rumah Tuan Shin?" tanya Indah pada Amel tentang pekerjaan paruh waktunya sebagai pembantu rumah tangga di salah satu pengusaha asal Korea tersebut.

"Aku harus datang dan mulai bekerja, Ndah," kata Amel. "Dari mana uang untuk menyokong kehidupanku kalau aku ga kembali bekerja? Lagi pula, Tuan Shin adalah salah satu orang penggila kebersihan dan ga ada orang lain yang sanggup untuk membersihkan villa tempat tinggalnya. Pak Eric udah kirim SMS tadi siang. Dia minta aku untuk kembali kerja sebelum Pak Shin marah-marah sama dia." Amelia menceritakan soal tempat bekerjanya.

"Emangnya kenapa kalo bosmu itu marah-marah?" tanya Indah dengan muka ingin tahuannya. "Kan itu masalahnya Pak Eric dan bukan urusan kamu."

"Jadi, Pak Eric itu kan asistennya Tuan Shin," jawab Amel. "Dia yang ngatur semua kebutuhan Tuan Shin. Kadang-kadang, Pak Eric yang menerima semua kemarahan dari Tuan Shin. Pasti Tuan Shin marah-marah waktu aku ngajuin cuti untuk acara ngaben bapak. Dia itu ga cocok sama pengurus rumahnya sekarang." Amel menceritakannya pada Indah secara itu adalah hal yang biasa bagi atasannya.

avataravatar
Next chapter