1 Gerhana Bulan Purnama

"Auuuuuuuu...."

Lolongan serigala terdengar begitu memilukan di telinga. Malam ini sangat gelap dan hening. Semua orang sedang menunggu terjadinya gerhana bulan total yang telah diramalkan berita-berita di televisi.

Sementara Noah, pria paruh baya itu sedari tadi mondar mandir penuh cemas sembari mengusap janggut tipis di dagu. Louisa, istrinya sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka. Entah lelaki atau perempuan. Sepasang suami istri itu tak pernah memeriksakan kandungan ke rumah sakit setempat.

"Well, Mr. Noah. Selamat istri anda melahirkan bayi perempuan." Bidan tua yang telah pensiun itu melepaskan sarung tangannya tanpa menatap ke arah Noah. Ia malah berjalan cepat menuju wastafel.

Noah dengan wajah semringah mendekati Bu Bidan yang masih tersungut kesal ketika menatap pria itu. Kedatangannya karena keterpaksaan.

"Jangan senang dulu," kata Bidan itu menatap tajam pada Noah.

"Pardon me? Apa maksudmu Nanny Maria? Bagaimana keadaan bayiku? Ia lahir dengan selamat bukan? Kudengar barusan tangisannya memecah keheningan," seru Noah. Dia tak tak peduli kekesalan Bidan Maria. Bayinya adalah yang terpenting.

Bidan Maria menghela nafasnya dengan kasar. "Bayimu memang terlahir sehat. Namun ibunya... ia seharusnya dirawat intensif di rumah sakit. Seperti yang kusarankan sebelum kau membawaku kesini. Kondisi tubuhnya sangat lemah, ditambah pendarahan yang terjadi setelah melahirkan. Sementara aku sudah tidak punya peralatan memadai lagi untuk mencoba yang terbaik untuknya," terangnya dengan tatapan tajam.

Lengkung bibir yang semula tampak di wajah Noah memudar seketika. Ia tertunduk lesu. Hal ini sudah ia duga sebelumnya. Karena Louisa memang sakit-sakitan saat mengandung bayi mereka.

"Aku permisi. Kau tak perlu membayarku. Sebagai gantinya, jangan pernah sebut namaku jika kau berniat membawanya ke rumah sakit," seru Bidan Maria lagi.

"Nanny Maria, tidak bisakah kau membantuku? Kumohon...." Noah memelas sembari meraih lengan tua yang sudah terasa lemah jika disentuh itu.

Bidan Maria menatap datar. Meski ia tak bisa menyembunyikan rasa iba di hatinya. Selama ini dia mengenal Noah sebagai pria lajang sederhana yang hanya disibukkan dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Ia tak menyangka ada seorang wanita yang diakuinya sebagai istri telah membersamainya hidup tanpa sepengetahuan tetangga di sini.

"Please... Nanny Maria, please do something for my wife," pekik Noah sesunggukan.

"Sorry, Noah. Pertolonganku hanya cukup ketika membawa kehidupan baru itu ke pangkuanmu. Jika hal terburuk terjadi... katakan pada para tetangga jika bayi itu adalah anak angkatmu. Jangan sembunyikan lagi seperti ini. Maka suatu saat jika kau dalam keadaan sulit, bukan hanya aku, seluruh orang di lingkungan ini pasti akan membantumu."

"I'm leaven."

Bidan Maria berjalan cepat meninggalkan Noah. Di bawah kegelapan gerhana bulan total yang masih berlangsung, menyelamatkan dirinya dari pertanyaan ramah para tetangga hendak darimana ia pergi.

Sementara itu, Noah yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lantas segera beringsut menemui sang istri dan bayi perempuannya.

Darah menetes dari atas ranjang. Bau amis memenuhi ruangan ini. Namun pemandangan haru dan membahagiakan melenyapkan semua itu. Louisa sedang mendekap erat bayi perempuan yang berkulit merah seperti mawar itu.

"Sayang... mendekatlah," seru Louisa dengan suara lemah.

Noah mendekat. Kemudian mengecup ubun-ubun Lousia begitu lama. Lantas beralih mengecup punggung tangan wanita yang paling ia cintai itu.

"Waktuku tidak akan lama, Noah...." Louisa memandang suaminya dengan mata berkaca.

Noah menggeleng begitu dramatis. Ia tak pernah menyangka akan mengalami adegan seperti ini dalam hidupnya. Setelah kehadiran Louisa. Wanita serigala ini telah berhasil menjadikannya pria yang percaya akan cinta.

"Jaga putri kita."

Lousia memindahkan tangan Noah yang semula menggenggamnya menuju punggung mahluk mungil yang sedang terlelap dalam dekapan ibunya. Setelah sebentar tadi menangis keras.

Tangan Noah bergetar hebat. Tubuh mahluk mungil ini terasa sangat hangat. Sangat berbeda dengan tangan Louisa yang begitu dingin dan pucat. Noah sadar, Louisanya sedang mengalami fase sekarat. Ia pernah bercerita akan hal itu. Suhu tubuhnya yang hangat perlahan akan berkurang, seiring kekuatannya untuk hidup juga berkurang. Dan malam ini tangan Lousia terasa jauh lebih dingin dari salju pertama yang turun dari langit.

"Don't leave me alone. I love you so much, Loui...." Air mata Noah tak terbendung lagi. Louisa satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.

"No, darling. Aku tidak meninggalkanmu sendiri. Our baby... she is will always be with you." Louisa berusaha tersenyum, meskipun air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.

Sadar dirinya menitikkan air mata, Louisa segera menghapusnya sekuat tenaga. Ada sebuah pesan teramat besar yang harus ia sampaikan pada Noah mengenai putri mereka yang baru saja lahir.

"Noah, lihat aku. Hey, bersikaplah seperti seorang pria keren. Jangan menangis."

"Putri kita... kau harus menjaganya sepenuh hatimu. Jangan biarkan ia sendirian. Jika tidak... maka ia akan berada dalam bahaya," ucap Louisa yang membuat Noah berusaha menghentikan sesenggukannya perlahan.

"Ada apa Loui? Apakah putri kita terlahir cacat? Tidak, bagaimana pun rupa dan keadaannya, aku akan tetap mencintainya. Kau tidak perlu khawatir akan hal itu."

"Bukan, Noah. Ia sangat sempurna. Bahkan jauh lebih sempurna dari bulan purnama malam ini," bantah Louisa lembut.

"Akan tetapi...." Louisa menjeda kalimatnya.

Noah yang semula tersenyum barusan, kembali terlihat cemas. "Ada apa sayang?" ucapnya.

Louisa mencoba tersenyum. Ia harus memberi tahu Noah. Bagaimana pun juga waktunya tidak lama lagi. Ia tahu itu. Kelahiran bayinya ke dunia benar-benar menguras seluruh tenaga yang tersisa dari dalam dirinya.

"Boleh aku menamainya Eve?" tanya Louisa. Menatap bergantian pada Noah dan bayi Eve.

Sebelum ia benar-benar tak bisa menatap Noah lagi... setidaknya ia ingin meninggalkan kesan dirinya dengan menamai sang putri.

Mendengar tanya Louisa membuat Noah tersenyum haru. Eve adalah nama yang sangat cantik. Secantik Louisa yang telah mengorbankan nyawanya untuk kelahiran sang putri.

"Kau tahu?"

"What, baby?" Meski tahu apa yang akan terjadi, Noah berusaha meyakinkan diri jika Louisa masih bisa bertahan. Walau keyakinan itu sendiri tak benar-benar dapat menguatkannya.

"Putri kita lahir tepat ketika bayangan matahari menutupi cahaya bulan purnama yang sempurna. Bagi bangsaku... hal itu bisa jadi pertanda baik. Namun juga bisa jadi pertanda buruk."

"Karena itu... I beg you to save her... setelah aku tidak ada lagi di dunia ini...." Louisa tercekat. Seperti ada sebuah duri besar yang dipaksa keluar tenggorokannya. Saat itu, malaikat maut baru saja menunaikan tugas.

"Tidak!!!"

"No! Jangan ucapkan hal itu, Loui...." Noah mencengkram kedua sisi bahu Louisa dengan sesunggukan. Kemudian beralih memeluk erat tubuh lemah Louisa bersama bayi mereka yang masih saja terlelap.

"Jaga dia, sayang. J-jangan biarkan... k-kaumku menyakitinya," ucap Louisa terbata. Serasa sebuah duri besar baru saja berhasil keluar dari kerongkongannya.

"Louisa... tidak mungkin! Kau tidak mungkin akan meninggalkanku secepat ini!"

"Louisaaaaa....!"

Tubuh Louisa menegang lantas beberapa detik kemudian melemas seketika. Isak tangis bayi mungil dalam dekapannya tiba-tiba terdengar. Sebelum dekapan itu lepas, Noah dengan hati-hati dan tangan bergetar mengambil bayi Eve dan meletakkannya di tempat bayi yang sebelumnya telah mereka sediakan.

Noah tak dapat melakukan apapun kecuali meraung penuh kesedihan dan mendekap tubuh Louisa yang terasa sangat dingin. Tubuh itu sudah tak bernyawa. Meninggalkan Noah dan bayi Eve sendirian.

***

Bersambung.

avataravatar
Next chapter