6 Another Death

Mark mengetuk-ngetukkan jarinya diatas pantry, menunggu tetes demi tetes ekstrak kopi hingga penuh melalui kertas filter menuju sebuah receiver bermerk HARIO itu. Entah apa yang menjadi motivasinya untuk membuat kopi untuk Doyoung—dan Wendy. Oh, tentu saja Mark sedang di posisi yang sangat awkward karena —ekhm, wanita yang berdasarkan penuturan Doyoung adalah mantan calon istrinya itu akan muncul dihadapannya setelah tujuh tahun mereka tidak bertemu. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mengingat mereka berdua mengakhiri hubungan itu secara baik-baik, bahkan selama 3 tahun mereka berpacaran, bertunangan, dan berencana menikah, jarang sekali pasangan itu bertengkar. Mereka sangat dewasa, namun mereka sepakat untuk mengakhirinya karena satu alasan klasik, serius, dan logis, yaitu fokus pada karir. Wendy yang akan pelatihan militer setelah menerima sertifikat keahlian sebagai psikater forensik, begitu juga dengan Mark yang harus menempuh pelatihan militer dan kuliah keprofesiannya di bidang kriminologi.

Memori akan kebersamaannya dengan Wendy beberapa tahun lalu seketika melebur dengan aroma kopi varietas Ethiopia yang menguar kedalam indra penciumannya. Itu adalah kopi manual brew favorit Wendy. Dulu ketika mereka sama-sama tinggal di Amerika, Ia sering membuatkan Wendy kopi itu di apartemennya pada hari minggu pagi setelah mereka berolahraga. Mark tersenyum tipis, sebelum ponselnya bergetar, menampilkan nama Kim Doyoung disana. Mark segera menuntaskan kegiatan membuat kopi dan nostalgianya tanpa menjawab panggilan dari juniornya itu. Mark sudah bisa menebak bahwa hari ini Ia akan kembali di roasting oleh Doyoung karena kedatangan Wendy.

Ruang Interogasi

22 April 2016

08.00 KST

Mark mengetuk pintu ruang interogasi itu perlahan. Tumben sekali, padahal biasanya Ia akan langsung menerobos masuk, mengabaikan Doyoung yang selalu mengomel karena terkejut akan kedatangannya. Maklum, Ia gugup hari ini, dan kegugupan selalu membuatnya tampak seperti orang aneh.

"Masuk saja!" jawab Doyoung dari dalam ruangan. Mark membuka pintu perlahan.

"Selamat Pagi" sapa Mark dengan wajah datarnya. Ia menatap lurus kearah wanita berkacamata dengan celana kulot coklat, dan kemeja putih kebesaran disamping Doyoung. Ia sedang mencondongkan tubuhnya ke arah monitor yang menampilkan deret kolom dan baris data disertai beberapa grafik. Ia tersenyum ramah ke arah Mark, satu tangannya melambai untuk menyapa. Seperti dugaan Mark, Wendy masih sama, dia tidak pernah mengenal jenis kecanggungan dalam hidupnya.

"Hi Mark, long time no see. How are you?" sapa Wendy. Ia menghampiri Mark dan mengajaknya bersalaman dan tos ala teman lama. Mark dengan sigap sekaligus canggung menerima ajakan Wendy itu.

"Just fine, Wen. Glad to see you—again, thank you for willing to help us." jawab Mark setelah melakukan tos dengan Wendy. Tampak wajahnya yang menghangat, lega karena sepertinya pertemuan itu tidak terlalu kaku seperti yang dibayangkannya.

"No problem. Apakah Kau membuat kopi?" tanya Wendy begitu pandangannya tertuju pada tiga hot paper cup yang dibawa Mark.

"Ah ya, ini silakan diminum." Mark memberikan satu paper cup itu kepada Wendy, kemudian menaruh sisanya di meja samping kirinya. Wendy menerimanya dengan senyum merekah. Dalam hatinya, Wendy sedang memutar sebuah film sejarah yang sangat manis. Paradoks dengan kopi tanpa gula yang diteguknya beberapa saat kemudian.

"Ekhem. Apakah kalian butuh 10 menit untuk nostalgia?" sindir Doyoung yang sedari tadi hanya diam di depan monitor menyaksikan kegiatan reuni dua orang dihadapannya. Mark dan Wendy yang saat itu sedang tersenyum satu sama lain akhirnya kembali tersadar dan memasang raut wajah seriusnya kembali.

"Apakah Kau sudah menjelaskan kepada Wendy terkait Kelvin Seo?"

"Sudah, Aku sudah mendengarnya dari Doyoung bahkan ketika Ia menghubungiku kemarin malam. Aku akan melakukan medical examination apakah Kelvin Seo memiliki indikasi gangguan psikis yang mempengaruhi pengakuannya atau tidak." Jawab Wendy

"Baiklah. Aku sendiri tidak yakin bahwa dia baik-baik saja." Timpal Mark

"Setelah Aku mendiagnosisnya, akan kita putuskan apakah penjelasannya dapat kita gunakan atau tidak."

"Aku menyerahkannya padamu."

"Aku akan menemuinya, tapi tidak di ruangan ini. Bisakah kalian memberikan ruangan yang sepi, dan santai untuk kami?"

"Kau bisa menggunakan ruangan rapat umum di lantai 3. Ruangan itu tidak akan dipakai hari ini, dan didesain homey. Bagaimana?" tanya Mark.

"Sepertinya bagus."

Ruang Rapat Lantai 3

22 April

09.00 KST

"Hi, Kelvin Seo. Saya Wendy Son. Bagaimana kabarmu?" sapa Wendy ramah dan ceria ketika dirinya dan Kelvin sudah duduk pada posisi nyaman diatas sofa ruang rapat itu. Tak lupa dua cangkir camomile tea terhidang diatas meja kayu dihadapan mereka.

"Baik." Jawab Kelvin singkat dengan ekspresi datarnya. Netranya menatap penuh selidik pada Wendy yang menurutnya sangat sok akrab itu. Tak lama dari itu, Ia menyimpulkan, Wendy adalah seorang psikolog atau psikiater forensik. Pria cerdas.

"Sepertinya Kau bukan keturunan asli Korea, dari mana asalmu?" tanya Wendy lagi.

"Kanada."

"Oh, Aku belajar disana selama SMA." Komentar Wendy dengan mata berbinar, membuat Kelvin sedikit mengukir senyum.

"Bagaimana tidurmu semalam?" Wendy menatap Kelvin intens.

"Cukup baik, tapi tentu saja tidak bisa dikatakan nyenyak." jawab Kelvin, kali ini dengan pandangan yang cukup hangat dimata Wendy. Wendy menghela nafas lega, gunung es diantara mereka sepertinya sudah mencair perlahan.

"Apakah ada yang mengganggumu belakangan ini, Kelvin?" tanya Wendy, kemudian Ia menyesap camomile tea nya.

"Seperti?" Kelvin balik bertanya. Kali ini Ia tampak santai. Ia menyesap camomile tea nya, kemudian menumpukan kaki kiri diatas kaki kanannya.

"Leader behavior. CEO material. Confidence, independent." batin Wendy menganalisis gestur Kelvin.

"Hmm, katakanlah terkait kasus DIS di area kerjamu. Apakah Kau merasa terganggu akan tragedi itu?" tanya Wendy dengan nada yang dibuat hati-hati.

"Tentu saja, perusahaanku adalah tersangka utamanya." jawab Kelvin tegas. Kemudian matanya tampak menerawang ke langit-langit ruangan.

"Kenapa dia sangat percaya diri? Apakah dia seorang narsistik? Tapi arah pandangnya, dia tidak menatap lawan bicaranya. Indikasi kebohongan, kegugupan!"

"Kelvin, Kau adalah seorang pengusaha sekaligus saintis bukan? Bisa kau ceritakan padaku, apa motivasimu di awal, kemudian ambisimu belakangan ini?"

"Motivasi? Tentu saja untuk bertahan hidup. Ambisi? Hanya satu, Aku ingin semua orang dalam lingkaranku hidup dengan layak dan aman." lagi-lagi Kelvin menjawab pertanyaan Kelvin dengan nada tegas dan percaya diri. Namun kali ini matanya tepat berhenti pada bola mata Wendy, tidak seperti sebelumnya.

"Altruist. Tulus"

"Lalu apakah Kau sudah mewujudkannya?"

"Aku rasa sudah, dan Aku mempertahankannya." Ia tampak sedikit menunduk.

"Fear of lose"

"Ah, apakah riset tentang GMO adalah bagian dari ambisimu?" tanya Wendy dengan nada yang dibuat sangat santai agar tidak menarik emosi.

"Ya…salah satunya."

"Ketidakyakinan"

"Well, He's imaginative, altruistic, pure."

"Apa yang Kau rasakan ketika dipanggil kesini karena insiden ini? Penelitian berhargamu menyebabkan sesuatu terduga toksin mematikan. Apakah Kau merasa disalahkan, bersalah?"

"Hhhh. Detektif itu, dia pasti memanggilmu kesini karena tidak mempercayaiku." jawaban Kelvin membuat Wendy sedikit terkejut. Ternyata pria dihadapannya ini cukup cerdas dan peka.

"Aku sudah mengatakannya, Aku merasa bersalah sebagai seorang ilmuan dan Aku akan patuh terhadap hukum Tuhan dan hukum negara ini!" tegas Kelvin. Tepatnya dengan nada sedikit membentak. Baru saja Wendy akan menimpalinya, ponselnya bergetar.

Mark Tuan is calling….

"Aku akan keluar sebentar." Ucap Wendy lalu bergegas keluar ruangan untuk menjawab panggilan dari Mark.

Lima menit kemudian, Wendy kembali ke ruangan dengan deru nafas yang cukup tidak teratur. Ia kemudian duduk kembali dan menyesap camomile tea yang sudah hampir dingin itu.

"Apakah Kau mengenal Professor Eric Sohn?"

"Dia ditemukan tewas pagi ini di apartemennya."

avataravatar
Next chapter