1 Chapter 1

Part 1

"Aku mencintaimu. Kali ini kau tidak akan lagi sendiri dan menderita," ucap gadis yang kucintai padaku berkali-kali sampai membelai rambutku tengan tangan lemah serta gemetarannya.

Aku diam saja. Aku terus diam sebab makin lama ucapan dia yang awalnya seperti keajaiban berasa jadi bualan semata. Aneh saja. Kenapa pula berucap hal tersebut padaku berkali-kali? Apa dia pikir aku tipe yang mudah lupa? Lagi pula selama ini ia tidak pernah menatap ke arah pecundang sepertiku.

Kali ini ia kembali membaca buku diary-ku, yang banyak bercerita betapa aku mencintai dan mengaguminya. Lagi-lagi dia berusaha bicara padaku, berucap terimakasih karena aku mau mencintainya sejauh ini.

"Dulu kupikir aku tidak akan pernah dicintai, " ucapnya, meraih dan menarik pisau yang tertancap di tenggorokanku.

"Maaf, aku mengusirmu duluan. Kau menculikku sih. Setelah ini kita akan bersama, " ucapnya yang memang sudah terlihat ripuh karena satu kaki terantai yang membuat dia terjebak di ruangan ini berhari-hari; bersama dengan mayatku yang makin membusuk.

"Dasar menyebalkan. Membunuhku tanpa ijin. Jadi kau membalas perasaanku sekarang? " ucapku padanya dengan senyuman, walau aku tidak yakin dia mendengarnya.

Di hadapanku dia pun menggorok lehernya sendiri hingga mati kehabisan darah. Itulah awal kisah cinta kami dan pertama kalinya ia menerima cintaku.

***

Part 2

Hampir tiap hari aku melihat ayahku membentur-benturkan dahinya ke dinding di ruang tamu. Satu hingga enam belas benturan dengan pola hantaman yang sama. Berujung dengan ayah yang menatapku lalu tersenyum. Aku selalu membalas senyumannya sejak aku kecil.

Kini aku sudah berumur 9 tahun, ibuku bertanya kenapa aku tersenyum, aku pun bertanya balik padanya, "Kenapa ibu membenturkan kepala ayah sampai kepalanya pecah saat aku kecil?"

***

Part 3

Aku punya teman yang sangat aneh. Dia kaya raya dan punya anak dua tapi setiap aku diminta ke rumahnya untuk urusan kerja, para pembantunya selalu memberitahu kalau temanku ini sedang berada di rumah utama yang ada di belakang rumah. Kali itu aku benar benar harus cepat bertemu dengannya. Jadi aku bohong ke para pelayan kalau aku mau ke kamar mandi, tapi aku menyelinap ke belakang rumahnya.

Aku kaget di belakang rumah adanya gubuk tua jelek rapuh yang nampak menyeramkan. Aku hendak kabur, tapi ternyata temanku memang keluar dari gubuk tersebut. Dia kaget melihatku, namun hanya sekilas. Ia tersenyum ramah dan menyuruhku masuk ke rumah tersebut karena katanya istrinya ingin bertemu denganku.

Aku antara takut ngeri dan juga marah kok bisa istrinya yang katanya lumpuh tapi ia sayang malah di bawa masuk ke rumah yang nampak kotor tidak sehat. Terpaksa aku masuk karena temanku juga merupakan atasanku. Kakiku mendadak lemas saat melihat kerangka manusia berbalutkan gaun pengantin wanita di atas sofa ruang tamu.

"Aku bingung. Kadang istriku jadi pendiam seperti ini. Dia aslinya ramah dan baik kok. Dia juga berbakat. Kami cocok bersama selamanya, " itulah ucapan temanku sebelum aku pingsan karena kengerian di tempat itu

***

Part 4

Aku berkata aku selalu ingin menatap parasnya, menjaganya. Mau bagaimana? Kekasihku itu lelaki yang sulit stabil dan kadang bisa melukai diri sendiri. Selalu menatapnya memang permintaanku.

Meski kini aku harus menatapnya menikahi wanita lain, berkeluarga dengan orang lain; pun tetap kulakukan. Aku kukuh pada pendiriinku ini sampai akhir, itulah alasan dia mencongkel kedua mataku setelah aku berhenti bernapas.

Agar ia bisa selalu menempatkan mata ini di posisi untuk menatapnya.

***

Part 5

Pacaran mulu. Cewe mulu. Bucin mulu. Itulah beberapa ucapan yang sering diucapkan kepadaku dan pacarku. Ya, ngebucin emang enak. TAPI di detik ini aku juga bosan pegangan tangan terus dengan ceweku. Dia kenapa sih? Tanganku sampai pegal.

"Hei- tanganku pegal dan gerah. Ayo pulang saja, " gerutuku padanya.

Di posisi ini aku sedang duduk di rerumputan, sedangkan pacarku tetap berdiri di sampingku. Bayangkan dia berdiri sudah berapa jam? Tangannya juga apa engga gerah menggenggam tanganku terus?

Pacarku menjawabku dengan nada tidak kalah ketus, "Kau bodoh atau pikun? Mana bisa pulang kalau leherku masih terkalung kuat ke tali? Lihat kondisimu sendiri. Kakimu sudah dipotong juga."

Ah. Detik itu aku melihat kakiku yang ternyata sudah terpotong di pertengahan paha. Saat aku mendongakkan kepala sedikit, aku melihat tangan kami dijahit paksa jadi satu. Aku tersenyum tipis miris setelah ingat semuanya.

"Maaf ya, aku tidak terlahir di tubuh wanita," ucapku pada kekasihku, menyesal akan kematian tragis kami karena dihakimi masyarakat.

avataravatar