webnovel

2. Cia dan Zeno

Cia membelalakkan mata. Entah lah, dia seperti tidak bisa berkata-kata dengan kenyataan yang didengarnya. Cia seperti pernah mendengar nama itu. Ya, Zeno. Seperti tidak asing di pendengarannya.

"Kau mau bawa aku ke mana? Aku mengikutimu saja, ya." Cia terlihat pasrah. Dia mendapati bahwa sosok laki-laki di hadapannya langsung mengangguk dan mengiyakan apa yang Cia katakan.

"Ikut aku! Kita masuk ke dalam dan mencari tempat untuk beristirahat dahulu." Cia menggeleng dengan ekspresi wajah kaku.

"Maaf, aku tidak bisa."

"Kenapa? Kau takut aku apa-apakan?" Zeno menarik sebelah alisnya dengan senyum yang terukir di sudut bibir.

"Bukan, Zeno. Aku berterima kasih, tetapi aku hanya merasa tidak ngantuk. Aku masih sanggup melanjutkan perjalanan."

"Ayolah, kau butuh tidur sebentar. Lihat wajahmu, pucat sekali."

"Hanya sekali? Itu artinya tidak berkali-kali." Cia melontarkan candaan yang membuat lawan bicara langsung melebarkan senyumnya juga. Mereka saling berpandangan hingga pada akhirnya Cia harus mengikuti ajakan Zeno.

"Mari masuk, aku tiba-tiba lelah." Cia mengembuskan napas kasar, lalu berjalan lebih dulu membela jalanan setapak yang digunakan untuk masuk ke rumah itu. Anehnya, sekeliling rumah-rumah di sini terlihat dipenuhi semak belukar.

"Rumahnya semak, jadi ada kesan menakutkan. Kau merasakan hal yang sama?" Cia masih terus-menerus berjalan tanpa henti. Dia tidak menatap ke arah belakang sekalipun, dan seolah-olah yakin bahwa Zeno masih ada di belakangnya, mengikuti jengkal kaki Cia.

"Tolong kau masuk lebih dulu, aku takut. Bagaimana ini?" Cia sudah cukup was-was. Dia menahan napasnya dan mendengarkan lamat-lamat suara yang ada di sekitar sini.

"Zeno?"

Saat merasa bahwa tak ada lagi jawaban, perasaan Cia sudah mulai tidak enak. Dia berbalik arah dan menatap ke belakang dengan ekspresi wajah yang penuh tatapan tajam. "Zeno? Kau di mana?" tanya Cia dengan dahi yang berkerut.

Cia berjalan pelan. Dia bingung hendak mundur atau terus maju dan mencari celah untuk bisa lebih memperlebar langkahnya. Dari arah yang berlawanan, terlihat jelas jika ternyata Cia memang sudah kehilangan sosok Zeno yang baru saja ditemuinya, tadi.

"Aneh. Baru saja mau ajak istirahat, eh udah pergi lebih dulu. Mengherankan!" ucapnya yang sedikit menggerutu kesal.

Satu persatu langkah Cia terlihat makin gesit menapak. Dia menjejakkan pergerakan dan masuk ke dalam areal rumah itu melalui pintu utama. Sebenarnya ada perasaan takut di benak Cia, karena wanita tersebut merasa bahwa dia memang sedang tersesat di tempat yang banyak membuat pertanyaan dalam diri.

"Aku takut. Tapi, sudahlah!" batinnya yang terus menapak kaki meninggalkan pemikiran buruk itu. Harapan Cia saat ini adalah fokus pada diri sendiri dan bisa bangkit dari yang namanya suatu keterpurukan rasa takut. Cia tak memedulikan rasa itu. Namun, yang dia pikirkan adalah Zeno yang tiba-tiba menghilang dari hadapan.

Cia sampai di dalam rumah tersebut. Pandangannya langsung beradu dengan gelap yang menelan pandangan netranya. Dalam situasi seperti ini, Cia langsung terkejut dan merasa tak biasa.

"Kenapa bisa gelap gulita? Aku pusing," cecarnya yang seketika ikut lemas lesu.

Beberapa jengkal pergerakannya, Cia sampai di ruangan yang berbeda lagi. Dia menarik napas dalam-dalam dan merasa bahwa kali ini lebih remang-remang terlihat. "Ada sedikit cahaya yang bisa membuatku hidup. Benar-benar lemah jika tidak ada setitik penerangan yang kuterima."

Cia mengelus dadanya. Dia mendapati kursi dari rotan yang membentang di dekat sudut ruang tamu. Dengan cepat, Cia berjalan menghampiri dan berniat mendudukkan dirinya di sana.

"Istirahat dulu, walaupun aku juga waspada di sini. Suasananya berbeda, aku takut!" ujarnya lagi yang mungkin itu hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

Saat hendak memejamkan mata dan cukup yakin bahwa tidak ada hal yang pantas untuk dipikirkan ataupun menjadi permasalahan, tiba-tiba tatapan Cia melebar. Bukan tanpa alasan, pasalnya saat ini Cia sempat menangkap suara langkah seseorang.

"Siapa itu? Suaranya makin dekat kemari," ucap Cia yang diikuti pergerakan untuk menelan saliva dengan susah payah.

"Apa ada serangan lagi? Itu artinya, aku dalam bahaya!" lanjut Cia lagi untuk beberapa kali pengulangan ucapan dalam hati.

Cia menghindar satu persatu dari tempatnya duduk. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah dengan ekspresi wajah yang begitu kaku. Tidak ada harapan untuk Cia bisa mencari tahu siapa yang menghampirinya ini.

"Jangan ganggu aku! Aku hanya ingin istirahat, sebentar saja."

Cia mendengar ada suara yang membuat dia takut. Kedengaran seperti orang yang sedang berteriak, tatapi ada bait-bait bahwa tawanya makin melebar dan membuatnya terheran-heran. Dengan begitu, perasaan takut Cia juga mendadak hilang.

"Ah, siapa kira-kira? Aku jadi sudah tidak sabar untuk membuka identitas ataupun jati dirinya dengan pemaksaan."

Beberapa detik berlalu, akhirnya ada suara teriakan yang terdengar keras. Ini membuat Cia memegangi dadanya dan melihat ke arah yang berlawanan, bahwa itu adalah sosok Zeno, sang penolong baginya, tadi.

"Kenapa kau masih ada di sini? Bukannya kau sudah pergi?" tanya Cia yang cukup heran.

"Mana mungkin aku meninggalkanmu. Aku, kan, ingin membantumu bertemu dengan teman-teman yang lain."

Cia melipat bibirnya ke bawah dengan embusan napas panjang. Dia merasa bersyukur, tetapi mendadak di satu sisi, ada perasaan takut pada sosok Zeno.