1 One

Malam itu, cuaca yang buruk hampir menghambat rencananya untuk melarikan diri dari neraka. Tidak peduli angin kencang atau bahkan hujan badai akan datang, ia terus berlari sejauh yang dia bisa, agar tidak ada yang bisa mengejarnya. Sejujurnya ia juga bingung, harus tinggal di mana setelah ini, karena satu–satunya rumah yang ia tahu hanyalah neraka itu. Neraka untuk anak–anak jalanan yang hidup sebatang kara.

Dari jauh, dia melihat rumah besar, namun terasa kosong. Seolah tidak ada orang yang menempati rumah itu. Karena sudah terlalu malam, ia tidak bisa berpikir harus kemana lagi selain masuk ke dalam rumah itu. Dia mencari jalan lain untuk masuk, agar tidak ada orang yang melihatnya masuk ke dalam rumah itu. Perasaannya sedikit aneh, secara tiba–tiba, tubuhnya bergetar, seolah ada sesuatu yang membuatnya takut.

Ia mengambil langkah perlahan, memastikan jika di rumah yang besar ini hanya ada dia, dan rekannya. Satu langkah, dua langkah, dan langkah berikutnya yang membuatnya ia sampai ke jendela besar yang ada di depannya.

'Dor!'

'Dor!'

'Dor!'

'Dagh!'

Matanya melebar sempurna, di depan sana, ia melihat genangan darah yang melebar. Ada sekitar 5 tubuh manusia yang terkapar di lantai, dengan darah yang terus mengalir dari bagian tubuh mereka. Sedangkan di sisi mereka, ada tiga orang yang memakai baju serba hitam, dengan senjata api yang besar. Tubuhnya bergetar hebat, sampai membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Kenapa? Malam ini ia harus menyaksikan kejadian yang sama seperti dulu? Yang membuatnya trauma dan kehilangan kehidupannya.

"Kau tidak apa–apa?" Tanya rekannya. Anak itu menggeleng, sembari tangannya terulur untuk memegang telapak tangan temannya itu. Namun, takdir tuhan berkata lain. "Hei! Kenapa kau lari?!" Belum sempat mengejar, satu peluru mendarat tepat di sebelahnya. Ia menoleh kearah belakang, dan melihat orang–orang yang tadi ada di dalam, kini sedang menatapnya tajam.

Tidak. Ini bukan waktunya untuk diam, dan menerima semua peluru yang akan mereka tembakkan padanya. "Aku harus lari!" Ucapnya dalam hati. Tanpa banyak berpikir lagi, ia bangkit, dan berlari ke arah tembok tempatnya masuk tadi. Masa bodoh dengan temannya yang pergi meninggalkannya begitu saja, ia hanya ingin selamat, selamat untuk kedua kalinya dari kematian.

"Berhenti mengejar anak itu, sekarang kita harus membereskan semua ini." Salah satu dari mereka berhenti, senapan yang awalnya ia arahkan pada anak kecil itu, kini mulai di turunkan. "Tidak ada gunanya juga kita membunuh anak itu," ucapnya lagi, sembari menggerakkan tangannya, memberitahu temannya untuk kembali sebelum ada yang datang. Pekerjaan meraka akan sia–sia jika ada orang lain yang datang, padahal sudah selarut ini, seharusnya tidak ada lagi manusia yang berkeliaran di luar rumah.

Mereka kembali lagi ke rumah itu, mengecek keadaan sekitar agar mereka bisa tenang membereskan semua kekacauan yang mereka perbuat. Dari membersihkan darah, membuang jenazah, dan mengambil aset perusahaan keluarga yang mereka bantai habis ini. "Kau yakin tidak ada yang tertinggal?" tanya salah satunya. "Iya, aku yakin," jawab pria yang tadi.

Karena merasa pekerjaan mereka sudah selesai, mereka langsung bergegas untuk pergi. Membawa lima tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa. Akhir dari mereka bukan sekedar kematian ini, ketika sampai di markas nanti, ada akhir yang sesungguhnya, dan itu sudah menanti. Terkadang, mereka berharap pekerjaan ini berakhir, tapi di sisi lain, mereka tidak mau kehidupan mereka berakhir, dan kejayaan ini hilang begitu saja. Yeah, siapa yang mau menjadi pembunuh bayaran? Setiap hari harus melihat darah di mana–mana, mendengar suara tangisan yang berpadu dengan teriakan kesakitan? Sejahat–jahatnya manusia, tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi setiap hari, setiap detik, menit, dan lama putaran waktu di dunia ini.

"Apa kau sudah menyiapkan semua data yang harus di serahkan pada boss, V?" Pria yang di tanya menoleh kearah kursi kemudi, dan menganggukkan kepalanya kecil. "T, bagaimana jika pembunuhan kali ini tercium pihak berwajib? Dan publik mengetahuinya?" Tanya yang satunya. Entah lah, dia bodoh atau apa itu semacamnya. "Kau tahu J? Jika pembunuhan yang kita lakukan sampai ketahuan, kita mati." Dengan wajahnya dinginnya, V menjawab. Membuat suasana yang tadinya tenang, menjadi lebih mencekam.

Sebuah kompensasi? Apresiasi? Atau sebuah konsekuensi? Mereka sendiri yang tahu jawabannya. Pernah ada orang yang bilang, jangan pernah bermain–main dengan takdir Tuhan, jika tidak ingin terjebak di dalam neraka dunia. Apakah ini sebuah neraka? Entahlah, tapi tidak ada tempat nyaman yang menukar hidup dengan kematian.

Tidak terasa, sekarang ketiganya sudah sampai di markas mereka, tempat yang sudah mereka tempati dari mereka kecil. "Kalian! Bawa semua mayat ini ke dalam ruangan pembekuan!" Teriak J, pada para penjaga. Yah, enaknya memiliki jabatan adalah, kau bisa menyuruh–nyuruh siapapun tanpa rasa tidak enak.

"Masuk lah lebih dulu, ada yang harus aku ambil di bagasi," ucap F, yang di balas anggukan kepala oleh V dan J. "Kapan aku bisa berada di posisi boss? Aku muak melihat darah–darah itu setiap hari!" kesalnya.

F membuka bagasi mobilnya secara perlahan, dari celah yang kecil, F melinat sepasang kaki yang putih pucat. "Tidak, sebelumnya juga kau tidak pernah dihantui oleh arwah orang–orang yang kau bunuh, F!" lirihnya. F memberanikan diri untuk membuka bagasi mobilnya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat anak kecil dengan tampang poloa, kini tersenyum manis di depannya. "Tenang paman, aku bukan hantu!" ucapnya ramah.

Tanpa pikir panjang, F mengambil pistol dari saku celananya, dan menodongkan ujung pistol itu ke kening anak itu. "Paman, kau mau membunuh anak yang sudah membantu mu?" F menahan pelatuk pistolnya, dan menaikkan sebelah alisnya seolah ia bertanya. "Kalian meninggalkan beberapa barang bukti, dan aku membawanya kemari," ucap anak itu percaya diri, sembari memberikan plastik hitam yang berisi barang bukti itu.

"Kau? Bagaimana bisa kau masuk dan memungut semua ini?" tanya F penasaran, dan anak hanya tertawa kecil. "Masa bodoh soal itu. Sekarang, apa kau mau ikut dengan ku?" Anak itu kembali mengangguk, seolah itu lah pertanyaan yang ia ingin dengar sedari tadi. "Membunuh orang–orang seperti yang paman lakukan?!!" tanyanya antusias. Ah, F rasa, bukan, anak ini memang mengerikan. Dari dirinya yang memungut barang bukti, dan masuk ke dalam bagasi mobil saja sudah sangat mengerikan. Seperti penguntit.

Tapi, jika melihat anak ini, F jadi seperti melihat dirinya dan V di masa lalu. "Apa kau suka membunuh orang?" tanya F lagi. Anak itu diam sejenak, kemudian ia mengangguk. Sedikit ragu, tapi terlihat keyakinan di matanya. Haish. Apakah F harus membuat anak sekecil ini terlibat dalam pekerjaan yang keji? "Paman jangan khawatir, aku akan melakukan apapun yang pama perintahkan!" F tersenyum miris, ia berharap, beberapa tahun ke depan, anak ini menyadari apa yang ia lalukan hari ini, dan yang ia lakukan di masa depan nanti.

"Setidaknya, jalan ini yang bisa aku ambil untuk melakukan sesuatu yang lebih keji nantinya."

avataravatar
Next chapter