webnovel

The Bullying

Bruk!

Remaja pria berkaca mata itu tidak sengaja menabrak bahu seorang gadis. Gerbang yang akan segera ditutup membuatnya berlari tanpa melihat kanan-kiri.

"Kau!" suara melengking itu membuat si remaja berhenti berlari.

Aruna yang sedang berjalan menuju gerbang mendapat pagi yang kurang menyenangkan. Sebelah bahunya ditabrak oleh seseorang, walaupun pelan ia tidak bisa menerima hal tersebut. Kekesalannya pada sang Ibu akan terlampiaskan pada orang lain.

Remaja yang baru saja menabrak bahu Aruna berbalik ke belakang. Ekspresi wajahnya menampakkan rasa bersalah. Penampilannya mirip kutu buku, tapi dengan wajah yang lebih tampan. Kepalanya tertunduk ke bawah.

"Apa kau tidak bisa lebih hati-hati saat berlari?" Aruna bertanya seraya melangkah mendekat.

"Ma-maafkan aku, Aruna, aku tadi buru—"

"Kau tahu namaku?" Aruna memotong kalimat remaja itu.

Remaja itu mengangkat kepalanya. "Kita satu kelas."

"Benarkah? Rasanya aku tidak pernah melihatmu. Apa kau siswa pindahan itu?"

Pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya membenarakan kaca matanya sambil mengangguk.

"Siapa namamu?"

"Nathan. Nathan Nicholas."

Aruna terdiam sejenak. Nafas beratnya terhempas ke hadapan Nathan yang ternyata adalah teman kelasnya sendiri.

Nathan Nicholas. Penerima beasiswa yang baru satu bulan bersekolah di SMA Westtown. Ia seorang yatim piatu sejak umurnya sepuluh tahun. Nathan tinggal di sebuah panti asuhan. Program beasiswa itu ia peroleh dari kompetisi kimia tingkat nasional. Setelah menjurai kompetisi itu, kepala sekolah SMA Westtown menawarkannya beasiswa untuk melanjutkan sekolah di tempatnya menjabat. Siapa yang tidak mau bersekolah di SMA dengan gelar sekolah terbaik? Nathan menerimanya.

"Nama yang bagus." Puji Aruna. Ucapan itu membuat Nathan mengangkat pandangannya, ia mencoba melihat langsung wajah manis itu. "Baiklah, kalau begitu! Aku memaafkanmu, kau boleh pergi." Lanjut Aruna.

Nathan nampak kikuk setelah mendengar ucapan Aruna. Ekspresi wajah gadis itu mendadak berubah, yang semula nampak kesal kini terlihat ramah tanpa masalah. Nathan akhirnya memaksa kakinya untuk beranjak dari sana.

"Oh, tunggu sebentar!" ucapan Aruna berhasil membuat Nathan gagal melangkah. Gadis itu membuka paper bag di tangan, mengambil salah satu yogurtnya. "Ambil ini!" ia menyodorkan sebotol yogurt rasa strawberry kepada Nathan.

Ada keraguan, tapi Nathan tetap menerima yogurt pemberian Aruna.

"Ini bukan hadiah, tapi sogokan."

"Hah?" tanya Nathan dengan dahi terkerut.

"Kau harus pilih Ayahku sebagai wali kota baru."

Nathan mengangkat kembali pandangannya. Ucapan Aruna nampak tidak serius karena wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Terpaksa.

Prittt!

Suara peluit Pak Heri memanggil semua siswa. Nathan yang mendengarnya langsung di serang kepanikan. Ia berbalik dan langusng berlari menuju gerbang. Bahkan pemuda itu lupa untuk mengucapkan terima kasih atas yogurt yang telah diberikan oleh Aruna. Nathan pergi begitu saja.

"Ckkk, kenapa dia meninggalkanku?" bisik Aruna.

Gadis itu akhirnya kembali berjalan. Berjalan tenang meski teman-temannya berlarian cepat seperti zombie dalam film train to busan.

***

Dilan baru saja tiba di parkiran sekolah. Ia turun dari sepedahnya dan menuntun sepedah itu ke parkiran khusus sepedah. Sudah ada satu sepedah yang lebih dulu terparkir di sana.

Pemuda itu berjongkok setelah menyandarkan sepedahnya. Seperti biasa, sebuah rantai kecil ia keluarkan dari dalam tas. Rantai itu ia masukkan pada salah satu celah di jeruji ban belakang sepedahnya, kemudian mengaitkannya pada besi pembatas parkiran. Berlebihan memang, tapi begitulah cara Dilan menjaga harta bersejarahnya. Sepedah itu menjadi satu-satunya harta peninggalan sang Ayah untuk Dilan.

Ia kembali bangkit berdiri. Kakinya pun mulai melangkah menuju kelas. Karena parkiran sepedah yang berada di halaman belakang sekolah, membuat Dilan harus melewati koridor sepi yang biasa dilalu oleh para petugas kebersihan. Rumput liar terlihat mulai meninggi, mulai naik pada tiang-tiang kayu penyangga atap koridor. Tidak ada yang lewat. Hanya Dilan seorang.

Dari kejauhan, beberapa siswa sedang berada di ujung koridor. Jalan buntu. Perbatasan antara koridor dan pagar beton yang mengelilingi sekolah. Para berandal sekolah ada di sana.

Pemandangan biasa. Terjadi setiap pagi. Dilan menghentikan langkahnya sejenak. Meperhatikan para berandal itu dari kejauhan.

"Maafkan aku, pemilik toserba itu memotong gajiku untuk bulan ini." Ucap seorang siswa yang diapit oleh dua siswa lainnya.

Wajah pucat. Rambut berantakan dengan poni yang hampir menutupi matanya. Kaca mata membuat siswa itu nampak semakin tak berdaya. Korban buli.

Siswa lain berdiri di hadapannya. Seragam lengan panjang yang ia kenakan dibiarkannya terbuka. Tidak terkancing. Membuat t-shirt hitamnya terlihat dengan jelas. Nama siswa itu Martinus Carta, tapi lebih dikenal dengan sebutan Martin. Ayahnya adalah seorang tentara.

"Nol!" Martin tiba-tiba berteriak di hadapan wajah siswa malang itu. "Bahkan namamu sama kosongnya dengan otak yang kau punya." Ucapnya dengan mata melotot.

Martin melanjutkan, "Nolan …, Nolan …," ia mengambil kaca mata itu dari wajah korbannya. Ia mengelap kacanya dengan ujung seragam milik sang pemilik kaca mata.

Nolan Julian. Tinggal tanpa ayah dan ibu di sebuah rusun pemberian pemerintah. Nolan merupakan salah satu penerima beasiswa non prestasi. Latar belakang ekonomi menjadi alasan mengapa beasiswa itu bisa ia peroleh.

Martin memasangkan kembali kaca mata itu pada Nolan. "Apa kau sudah bisa melihatku dengan jelas sekarang?"

Nolan tidak menjawab. Kepalanya tertunduk ke bawah.

"Apa kau tidak punya sopan santun? Lihat mata lawan bicaramu!" Martin tiba-tiba berteriak. Kedua temannya yang mengapit Nolan mengangkat paksa kepala pemuda itu agar tengadah melihat sang bos.

Kedua teman Martin bernama Gio dan Deon. Mereka berada di kelas yang sama. Kedua pemuda itu selalu berjalan di belakang Martin. Semua murid SMA Westtown sadar bahwa Gio dan Deoa hanyalah dua orang pengecut yang dimanfaatkan oleh Martin, walau mereka selalu berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk persahabatan. Big No!

"Apa wajahku terlihat main-main?! Apa kau sedang main-main denganku?! Cepat berikan uangmu sekarang!"

"Hanya itu yang aku punya … sungguh ...," ucap Nolan dengan suara yang gemetar. Rasa takut membuat pemuda lemah itu manangis.

"Pengecut!" geram Martin dengan sebuah tinjuan yang melayang tepat ke perut Nolan. Sangat keras.

Tinjuan itu sampai ke ulu hatinya. Rasa sakit seakan meremukan semua isi perutnya. Nafasnya tercekat hingga membuatnya terbatuk kepayahan. Gio dan Deon melepaskan jepitannya. Membiarkan Nolan tersungkur dengan pipi yang menabrak tanah. Pemuda itu langsung meringkuk dan menahan perutnya dengan tangan. Cairan bening terdorong keluar dari mulutnya bersama batuk yang menyiksa.

Tanpa sengaja. Gio menyadari kehadiran Dilan yang sedang menyaksikan keberutalan mereka. Gio memberi isyarat pada Martin bahwa ada yang sedang mengawasinya. Martin pun spontan melihat pada Dilan yang masih berdiri di koridor.

Martin tersenyum dari kejauhan. "Ingin bergabung?" tanya pemuda itu.

Mendengar pertanyaan itu membuat Dilan merasa kesal. Ia menghempas nafas berat, lalu melangkahkan kakinya menuju para pembuli itu. Mereka sudah keterlaluan. Tangan Dilan terkepal di bawah sana.

Bersambung …

***